Beragam cuitan mengkritisi mata anggaran janggal bernilai miliaran rupiah, seperti pengadaan lem Aibon senilai Rp 82,8 miliar dan pulpen sebesar Rp 123,8 miliar.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
Sejumlah mata anggaran janggal bernilai miliaran rupiah muncul dalam Rancangan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta 2020. Ironisnya, anggaran sebesar itu dibuat tanpa penyesuaian kebutuhan terlebih dahulu. Hal ini tentu sangat kontras jika disandingkan dengan situasi DKI Jakarta yang saat ini dibayangi defisit anggaran.
Polemik mata anggaran DKI Jakarta nyatanya tak hanya ramai dalam Rapat Rancangan KUA-PPAS 2020 antara satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan anggota DPRD, tetapi juga di media sosial. Warganet mengkritisi sejumlah mata anggaran DKI yang dinilai tidak berdampak langsung kepada masyarakat.
Berdasarkan catatan trends24.in, pembahasan mengenai APBD DKI Jakarta memasuki trending topic Indonesia di Twitter selama beberapa jam pada Rabu (30/10/2019). Beragam cuitan mengkritisi mata anggaran janggal bernilai miliaran rupiah, seperti pengadaan lem Aibon senilai Rp 82,8 miliar dan pulpen sebesar Rp 123,8 miliar.
Setelah ditelusuri, cuitan pertama kali muncul dari akun anggota Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPRD DKI Jakarta, William Aditya Sarana, @willsarana. Lewat akun media sosialnya, William mengunggah sejumlah kejanggalan dalam Rancangan KUA-PPAS 2020.
”Kami sudah ikuti rapat komisi (DPRD DKI Jakarta) beberapa hari ini dan tiap kali kami meminta agar dibuka detail anggaran, Pemprov selalu mengelak. Apa yang perlu disembunyikan? Saya mau tahu yang mengusulkan siapa dan alasannya apa nilai-nilai yang diajukan fantastis sekali,” ujar William.
Kejanggalan masalah anggaran ini sebenarnya bukanlah yang pertama. Sebelumnya, warganet juga heboh dengan rencana anggaran Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta sebesar Rp 5 miliar untuk membayar lima figur berpengaruh (influencer marketing).
Tak lama setelah kabar itu mencuat, Sekretaris Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Asiantoro menyatakan, usulan anggaran tersebut sudah dicoret. Penghapusan anggaran disebut untuk efisiensi anggaran.
Diberitakan sebelumnya, pembenahan APBD DKI Jakarta 2020 harus dilakukan untuk menyesuaikan dengan penerimaan daerah tahun ini yang masih kurang Rp 6,39 triliun.
Direvisi
Kembali ke permasalahan lem Aibon dan pulpen yang dianggarkan total Rp 206,6 miliar, Dinas Pendidikan DKI Jakarta pun langsung memberikan klarifikasi. Bahkan, klarifikasi dilakukan secara terbuka kepada wartawan di Ruang Balairung, ruang tengah Kantor Gubernur DKI Jakarta.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Syaefuloh Hidayat menyampaikan, usulan anggaran pengadaan lem Aibon telah dihapus. Sementara pengadaan pulpen akan disesuaikan kembali dengan usulan kebutuhan sekolah.
Syaefuloh menampik anggapan bahwa pihaknya tak teliti dalam pengisian komponen e-budgeting. Menurut dia, permasalahan munculnya komponen yang janggal di Rancangan KUA-PPAS terjadi karena belum ada sinkronisasi dengan proses penyusunan anggaran yang dilakukan oleh sekolah-sekolah.
”Jadi, bukan salah input, tetapi memang yang ada di dalam komponen e-budgeting adalah komponen sementara yang akan kami sesuaikan berdasarkan hasil input komponen dari setiap sekolah,” ucap Syaefuloh.
Kesalahan sistem
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan beralasan, kemunculan komponen anggaran yang aneh disebabkan sistem e-budgeting yang ada belum pintar memverifikasi detail anggaran. Sistem yang dibuat pada masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama itu, menurut dia, masih perlu dibenahi agar tidak lagi ada pengecekan secara manual oleh tangan manusia.
”Kalau mengeceknya manual, akan selalu berulang seperti ini. Sekarang, dengan melihat situasi ini, kami perhatikan sistemnya harus diubah supaya begitu mengisi komponen, dia (sistem e-budgeting) harus mengisi komponen yang relevan, dia harus mengisi dengan isian yang nyambung. Kalau tidak, akan ditolak oleh sistem,” tutur Anies.
Oleh karena sistem yang belum optimal itu, lanjut Anies, keteledoran pun terjadi. Ia tak menampik bahwa ada SKPD yang asal-asalan mengisi detail komponen anggaran.
”Teledor itu artinya asal ada dulu (anggaran untuk rencana kegiatannya). Toh, nanti diverifikasi dan dibahas (bersama DPRD). Di ujung nanti tidak akan begitu. Tetapi, yang penting anggarannya, misal Rp 100 juta, itu sudah terpenuhi,” kata Anies.
Anies pun menargetkan pembenahan sistem e-budgeting pada tahun 2020. Dengan demikian, tidak akan terjadi lagi permasalahan anggaran di tahun-tahun berikutnya.
”Saya menerima warisan sistem ini. Saya tidak ingin meninggalkan sistem ini untuk gubernur berikutnya. Agar gubernur berikutnya tidak menemukan masalah yang sama dengan yang saya alami karena sistemnya sudah ada dari dulu,” ucap Anies.
Terkait tak diunggahnya Rancangan KUA-PPAS 2020 di situs apbd.jakarta.go.id, menurut Anies, data tersebut baru bisa dibuka untuk publik sesudah pembahasan bersama DPRD selesai. Dia menilai, pembukaan akses kepada publik malah menimbulkan polemik yang tidak perlu.
”Justru karena ada masalah-masalah yang harus dikoreksi seperti ini, yang hanya menimbulkan keramaian, padahal (anggaran itu) tidak akan dieksekusi,” kata Anies.
Lemah pengendalian
Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan menilai, kebocoran anggaran yang aneh tak bisa serta-merta disalahkan pada sistem. Sebab, seharusnya kepala SKPD bisa lebih detail mengawasi bawahannya saat pengisian komponen anggaran.
Lebih dari itu, seharusnya gubernur sebagai kepala daerah juga ikut mengendalikan anggaran. Apalagi di DKI Jakarta, gubernur memiliki Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) serta Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).
”Kalau di Pemda DKI Jakarta, ada TAPD, belum lagi TGUPP yang digaji besar, seharusnya bisa memberi masukan terhadap dokumen yang sedang dirancang. Kalau alasannya salah ketik, itu mengada-ada. Pasti ada faktor kesengajaan dimasukkan komponen-komponen yang tidak berhubungan,” tutur Misbah.
Menurut Misbah, jika proses itu terus dibiarkan, akan muncul banyak anggaran siluman dalam APBD 2020. Apalagi, hingga saat ini, Pemerintah DKI Jakarta belum mau mengunggah Rancangan KUA-PPAS ke situs apbd.jakarta.go.id.
”Ini kemunduran dari aspek transparansi anggaran, partisipasi, dan akuntabilitas dari prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik,” ujar Misbah.