Penyesuaian Iuran Kelas Mandiri Picu Peningkatan Peserta Nonaktif
Peserta JKN-KIS masih banyak menemukan masalah dalam mengakses layanan kesehatan, seperti sulitnya mencari kamar perawatan, menanti jadwal operasi yang lama, serta tidak semua obat dapat ditanggung BPJS Kesehatan.
Oleh
Deonisia Arlinta/Fajar Ramadhan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah telah menetapkan besaran penyesuaian iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat. Penyesuaian ini merupakan keniscayaan untuk mengatasi beban pemanfaatan yang lebih besar dibanding pembiayaan yang diterima. Meski begitu, besaran penyesuaian yang diterapkan pada kelas mandiri perlu dipertimbangkan karena dinilai terlalu besar sehingga dapat memicu peningkatan tunggakan dan peserta nonaktif.
Penyesuaian iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres tersebut mengatur iuran untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) atau peserta mandiri kelas III naik dari Rp 25.500 per orang per bulan menjadi Rp 42.000. Sementara, iuran PBPU kelas II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000 dan peserta mandiri kelas I naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000.
“Kenaikan ini sangat memberatkan peserta mandiri yang akan berakibat pada keinginan membayar (willingness to pay) dan kemampuan membayar (ability to pay) yang menurun. Potensi kepesertaan menjadi non aktif akan semakin besar. Belum lagi kenaikan ini diberlakukan di tengah kualitas pelayanan kesehatan yang belum optimal,” ujar Koordinator Bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar saat dihubungi di Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Menurut dia, peserta JKN-KIS masih banyak menemukan masalah dalam mengakses layanan kesehatan, seperti sulitnya mencari kamar perawatan, menanti jadwal operasi yang lama, serta tidak semua obat dapat ditanggung BPJS Kesehatan. Kenaikan iuran yang terlalu besar akan menyebabkan keinginan membayar iuran menurun. Adanya keinginan untuk turun kelas perawatan dari kelas 1 dan kelas 2 menjadi kelas 3 kian besar.
“Akibat turun kelas dan peserta nonaktif yang meningkat justru membuat pendapatan iuran dari peserta mandiri akan menurun,” kata Timboel.
Secara terpisah, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan, penyesuaian iuran yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2020 untuk peserta mandiri dan Pekerja Penerima Upah (PPU) serta 1 Agustus 2019 untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) ini akan diiringi dengan pembenahan fasilitas layanan kesehatan. Melalui penyesuaian ini masalah defisit yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bisa diatasi sehingga pembayaran klaim ke pusat pelayanan kesehatan bisa lebih baik.
“Selama keuangan rumah sakit itu baik, otomatis rumah sakit akan melakukan perbaikan. (Pembenahan) otomatis disesuaikan dengan kemampuan setiap rumah sakit. Kalau iklim investasi bisa jalan dengan pola-pola BPJS Kesehatan yang baik tanpa defisit, ya pasti akan terjadi pembangunan-pembangunan sarana lagi. Kalau pembangunan sarana itu ditambah pasti antreannya akan berkurang, akan terurai sendiri,” ucapnya.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf menambahkan, pemerintah memberikan andil yang besar sebagai pembayar iuran peserta JKN-KIS. Pemerintah menanggung sekitar 73 persen dari total besaran penyesuaian iuran yang berlaku, yakni melalui peserta PBI APBN, PBI APBD, pegawai pemerintah pusat/daerah, TNI, dan Polri.
“Melalui penyesuaian iuran, program JKN-KIS akan mengalami perbaikan secara sistemik. Pekerjaan rumah lain untuk perbaikan program ini akan terus dilakukan, misalnya perbaikan dari aspek pemanfaatan dan kualitas layanan kesehatan serta manajemen kepesertaan,” tuturnya.
Ditanggapi beragam
Respons masyarakat pun cukup beragam dalam menanggapi kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat. Namun, satu hal yang mereka sepakati, perbaikan layanan jaminan kesehatan mesti dibenahi.
Fildaz Raeditya (28), wiraswasta asal Semarang, Jawa Tengah, yang selama ini terdaftar sebagai peserta JKN-KIS golongan III, mengaku tidak keberatan. Menurutnya, kenaikan iuran dari Rp 25.500 per orang per bulan menjadi Rp 42.000 masih masuk akal.
“Buat saya, kenaikan segitu masih terjangkau, asalkan pelayanannya diperbaiki juga,” ujar Fildaz, yang mengaku usahanya beromzet Rp 3 juta perbulan.
Fildaz menilai, layanan JKN-KIS selama ini belum memuaskan. Ia berharap, kenaikan iuran ini juga diiringi dengan perbaikan fasilitas kesehatan. Selain sistem rujukan berjenjang yang menurutnya berbelit, pasien JKN-KIS juga sering menerima perlakuan diskriminatif.
“Saya pernah mengantar kerabat berobat di Solo, dokter yang melayani JKN-KIS ternyata hanya praktik tiga hari dalam seminggu. Padahal, pasien umum dilayani setiap hari,” katanya.
Tukang ojek daring, Lehan (42), malah mengeluhkan kenaikan iuran JKN-KIS tersebut. Kini dia harus menyiapkan Rp 168.000 setiap bulan, dari sebelumnya Rp 102.000 per bulan, untuk membayar iuran JKN-KIS dirinya bersama istri dan dua anaknya.
"Berat untuk orang seperti saya. Tapi kalau sudah diputuskan, saya bisa apa?” ujar Lehan.
Adapun tukang ojek daring lainnya, Syarif (42), berharap agar pelayanan pasien JKN-KIS disamakan dengan pelayanan pasien umum. Selama ini, antrean pasien JKN-KIS di rumah sakit seringkali mengular.
“Sekarang iuran sudah dinaikkan, jadi samakan, dong, pelayanannya,” kata Syarif.