Penguatan Diplomasi Ekonomi Pacu Ekspor dan Investasi
Penguatan diplomasi ekonomi merupakan salah satu langkah penting yang mesti dikerjakan pemerintah untuk memacu sumber pertumbuhan ekonomi dari investasi dan perdagangan.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penguatan diplomasi ekonomi merupakan salah satu langkah penting yang mesti dikerjakan pemerintah untuk memacu sumber pertumbuhan ekonomi dari investasi dan perdagangan. Pada saat yang sama, diplomasi ekonomi harus disokong reformasi struktural untuk memperbaiki daya saing.
Komponen pertumbuhan ekonomi mencakup konsumsi rumah tangga, investasi, belanja pemerintah, dan perdagangan (ekspor dikurangi impor). Namun, saat ini, basis pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang konsumsi masyarakat yang konsisten menyumbang 55-56 persen terhadap produk domestik bruto.
Di tengah pelambatan pertumbuhan ekonomi global, investasi dan perdagangan melalui kemitraan bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru. Salah satu caranya dengan penguatan diplomasi ekonomi untuk memperkokoh pasar ekspor dan menjalin perjanjian internasional, baik dalam skala regional maupun bilateral.
”Dalam lima tahun ke depan, sesuai visi dan misi presiden, salah satu prioritas politik luar negeri Indonesia adalah penguatan diplomasi ekonomi,” ujar Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi seusai rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Retno mengatakan, diplomasi ekonomi difokuskan pada tiga rencana kerja yang intinya mengatasi persoalan defisit neraca dagang dan jasa. Pertama, menyelesaikan sejumlah negosiasi dagang yang berkaitan dengan kepentingan nasional. Kedua, memperkokoh pasar ekspor ke negara tradisional dan menerobos pasar ekspor ke negara non-tradisional. Tahun ini, kata Retno, pasar non-tradisional yang dibidik Indonesia bukan hanya Afrika, melainkan negara-negara di kawasan Amerika Latin, Karibia, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Tengah, serta beberapa negara di lingkar Pasifik. Ketiga, mengapitalisasi pasar domestik dalam menjalin hubungan ekonomi dan politik dengan negara lain.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia pada Januari-September 2019 defisit 1,945 miliar dollar AS. Pada 2018, neraca perdagangan defisit 8,698 miliar dollar AS.
”Jangan sampai pasar domestik yang besar hanya dijadikan pasar bagi negara lain,” ujar Retno.
Untuk memperkuat diplomasi ekonomi, diplomat masa kini dilengkapi dengan pengetahuan tentang perdagangan, industri, investasi. Di sisi lain, diplomasi ekonomi juga melibatkan semua pemangku kepentingan, seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Diplomasi ekonomi berhasil mencapai kesepakatan bisnis senilai 822 juta dollar AS atau Rp 11,67 triliun dari Dialog Infrastruktur Indonesia-Afrika (Indonesia-Africa Infrastructure Dialogue/IAID) 2019. Pada 2018, Indonesia meraup Rp 6,75 triliun di perhelatan Indonesia-Africa Forum (Kompas, 22/8/2019).
Daya Saing
Ditemui terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Rabu, mengatakan, sumber pertumbuhan ekonomi baru membutuhkan perbaikan daya saing. Instrumen APBN dalam lima tahun ke depan akan digunakan untuk memperbaiki masalah kualitas sumber daya manusia dan akselerasi pembangunan infrastruktur.
”APBN sifatnya lebih dari sekadar mendorong sektoral, tetapi meningkatkan daya saing sesuai prioritasnya. Prioritas saat ini adalah penguatan industri manufaktur terutama untuk ekspor dan substitusi impor,” ujar Sri Mulyani.
Indeks Daya Saing Global (GCI) 4.0 tahun 2019 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (WEF), menempatkan Indonesia pada peringkat ke-50 dari 141 negara. Tahun lalu, Indonesia di peringkat ke-45 dari 140 negara.
Dari 12 pilar penilaian, Indonesia mendapat nilai paling rendah pada kapabilitas inovasi (37,7), sedangkan nilai terbaik adalah stabilitas makro-ekonomi (90). Total nilai Indonesia pada 2019 adalah 64,6 atau turun dari 2018 yang sebesar 64,9.
Penurunan indeks daya saing berdampak pada kemudahan berusaha. Peringkat Indonesia dalam Kemudahan Berusaha 2020, menurut laporan Bank Dunia, stagnan di peringkat ke-73 dari 190 negara meski skornya naik tipis dari 68,2 tahun 2019 menjadi 69,6 pada 2020.
Pada 2020, kata Sri Mulyani, ada lima fokus belanja pemerintah untuk mendukung prioritas pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah. Dua dari lima fokus belanja itu adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui anggaran pendidikan Rp 508,1 triliun dan kesehatan Rp 132,2 triliun, serta akselerasi pembangunan infrastruktur Rp 423,3 triliun.
”Peningkatan daya saing juga berasal dari birokrasi dan regulasi yang efisien. Itu semua dilakukan melalui instrumen APBN,” ujar Sri Mulyani.
Peneliti pada Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, mengatakan, saat ini Indonesia harus fokus menarik investasi berorientasi ekspor.
Dia juga mengatakan, investasi yang masuk dalam tiga tahun terakhir didominasi sektor jasa. Hal itu menyebabkan dampak berganda terhadap perekonomian kecil karena rendahnya penciptaan lapangan kerja.
”Indonesia membutuhkan lebih banyak investasi di sektor industri pengolahan yang padat karya dan berorientasi ekspor untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Meski demikian, lanjut Ahmad, daya saing Indonesia harus ditingkatkan untuk memacu ekspor dan menarik investasi asing. Modal investasi mahal karena masalah logistik, transportasi, pengupahan, dan bahan baku yang tak kunjung teratasi. Pemerintah belum fokus mengatasi masalah struktural.