Rendahnya transparansi perusahaan pengembang pembangkit listrik membuka potensi penyelewengan dan korupsi. Dampaknya, investor enggan menanamkan modalnya di Indonesia.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rendahnya transparansi perusahaan pengembang pembangkit listrik membuat potensi terjadinya penyelewengan atau korupsi di sektor ketenagalistrikan semakin besar. Hal itu akan berdampak langsung pada keengganan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Transparency International Indonesia (TII) dalam kajian bertajuk ”Transparency in Corporate Reporting: Penilaian terhadap Pengembang Pembangkit Listrik” mencatat, skor transparansi untuk pelaporan dari 95 perusahaan pengembang pembangkit listrik adalah 1,9 dari skor tertinggi 10.
Hal itu mencakup transparansi tentang struktur grup perusahaan dan pelaporan informasi keuangan. Skor tersebut menandakan perusahaan berisiko tersangkut tindak pidana korupsi karena tidak memiliki program antikorupsi yang memadai.
”Kami cek di aspek transparansinya karena melalui itu kita bisa melihat kondisi di dalam perusahaan. Perusahaan yang baik akan cenderung terbuka dan sebaliknya, yang tidak baik akan tertutup,” kata Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko ketika merilis laporan ”Transparency in Corporate Reporting: Penilaian terhadap Pengembang Pembangkit Listrik”, Selasa (29/10/2019), di Jakarta.
Laporan itu menyebutkan, perusahaan yang memiliki program antikorupsi hanya 22 persen. Hanya 20 dari 95 perusahaan yang memiliki komitmen antikorupsi. Sementara hanya 17 dari 95 perusahaan yang melarang pemberian donasi politik. Hal lainnya, hanya 11 dari 95 perusahaan yang mewajibkan rekanan atau vendor untuk mematuhi kebijakan antikorupsi perusahaan.
Risiko terjadinya korupsi dinilai besar karena 51 dari 95 perusahaan yang diteliti sama sekali tidak memiliki kebijakan antikorupsi. Kebijakan itu mencakup larangan suap, gratifikasi, uang pelicin, dan donasi politik.
Analisis berdasarkan asal negara perusahaan menunjukkan, 62 perusahaan asal Indonesia memiliki rata-rata skor program antikorupsi 14 persen, 8 perusahaan asal China skornya 8 persen, sementara perusahaan asal Korea Selatan 38 persen. Lainnya, terdapat 6 perusahaan asal Jepang dengan skor rata-rata 67 persen, 3 perusahaan asal Amerika Serikat dengan skor 50 persen, dan 2 perusahaan asal Singapura dengan skor 33 persen. Lainnya adalah dari berbagai negara dengan rata-rata skor 41 persen.
Temuan lain terkait transparansi struktur grup perusahaan, hanya 43 dari 95 perusahaan yang menginformasikan daftar anak perusahaannya. Sementara hanya 31 dari 95 perusahaan yang menginformasikan persentase kepemilikan sahamnya di anak perusahaan.
Kepastian hukum
Ketua Dewan Pengurus TII Felia Salim mengatakan, sektor ketenagalistrikan sangat penting karena terkait dengan program pemerintah untuk membangun pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) yang diperkirakan memerlukan investasi sampai Rp 1.200 triliun.
Di satu sisi, terdapat pencapaian berupa kenaikan rasio elektrifikasi menjadi 98,81 persen per Juni 2019 dan naik menjadi 98,83 persen per Oktober 2019. Demikian pula posisi Indonesia untuk kemudahan berusaha terkait dengan akses listrik membaik dari peringkat ke-45 dari 189 negara pada 2015 menjadi peringkat ke-33 dari 190 negara pada 2020.
Menurut Felia, korupsi berdampak pada investasi yang terhambat. Sebab, investor akan lebih memilih berinvestasi di portofolio dibandingkan dengan berinvestasi langsung di sektor ketenagalistrikan. Di sisi lain, itu akan membuat pemerintah kesulitan menarik investasi ke Indonesia.
”Investasi akan cenderung masuk ke negara-negara yang tingkat korupsinya rendah. Ketidakpastian hukum dan regulasi membuat calon investor tidak nyaman dan enggan masuk ke Indonesia,” kata Felia.
Pengajar dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Faisal Basri, berpandangan, penyelewengan di sektor ketenagalistrikan terkait erat dengan kondisi politik di Indonesia. Tampak ketidakjelasan batasan antara pengusaha dan penguasa. Korupsi di sektor ketenagalistrikan mengemuka karena dinilai tidak ada mekanisme mengontrol dan menyeimbangkan.
Terkait dengan investasi di energi terbarukan, menurut Faisal, pengembangannya akan sulit dilakukan. Sebab, selain karena batubara dianggap masih lebih murah, juga karena kebanyakan politisi yang dekat dengan kekuasaan terkait dengan bisnis batubara. Saat ini, porsi energi baru terbarukan di Indonesia baru sekitar 13 persen dalam bauran energi nasional dan ditargetkan mencapai 23 persen pada 2025.