JAYAPURA, KOMPAS— Rencana pemekaran Papua tak boleh berdasarkan kepentingan politis semata agar provinsi paling barat itu tetap berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu harus memberi jaminan ada pemberdayaan masyarakat asli Papua yang selama ini masih tertinggal.
Terkait rencana pemekaran Provinsi Papua dan evaluasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Papua, pemerintah pusat diharapkan berdialog dengan pihak eksekutif, legislatif, dan tokoh adat sebelum mengeluarkan kebijakan bagi masyarakat Papua.
Kualitas Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua dan Papua Barat rendah, padahal sudah banyak pemekaran kabupaten di dua provinsi ini.
Wakil Ketua Dewan Adat Papua John Gobay, Selasa (29/10/2019), di Jayapura, menekankan perlunya jaminan pemberdayaan bagi masyarakat asli Papua. Kualitas Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua dan Papua Barat rendah, padahal sudah banyak pemekaran kabupaten di dua provinsi ini. Kedua provinsi juga menerima dana otonomi khusus triliunan rupiah setiap tahun. Tahun ini, anggaran dana otonomi khusus Papua Rp 5,8 triliun, sedangkan Papua Barat Rp 2,5 triliun.
IPM Papua 60,06 dan Papua Barat 62,99. Target nasional tahun ini 71,98. Dasar perhitungan IPM adalah umur panjang dan hidup sehat yang diukur dengan angka harapan hidup, pengetahuan yang dihitung dari angka harapan sekolah dan angka rata-rata lama sekolah, serta standar hidup layak yang dihitung dari produk domestik bruto per kapita.
Di tingkat kabupaten dan kota, hanya empat kabupaten/kota di Papua dengan status IPM tinggi, sedangkan di Papua Barat ada dua. Status IPM rendah di Papua ada di 17 kabupaten dan Papua Barat lima kabupaten.
Pada periode September 2017-1 Februari 2018, di Kabupaten Asmat yang dimekarkan dari Kabupaten Merauke ada kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk. Sebanyak 72 anak balita meninggal akibat komplikasi campak disertai gizi buruk dan sejumlah penyakit penyerta, seperti tuberkulosis. Total terdapat 646 anak terkena campak dan 144 anak menderita gizi buruk di 19 distrik.
Berbagai masalah di Papua membuktikan, masih banyak kekurangan dalam kebijakan pemekaran dan otonomi khusus.
Total kasus gizi buruk sejak Maret 2018 pascapencabutan status KLB hingga Januari 2019 mencapai 92 kasus, sembilan anak di antaranya meninggal di Rumah Sakit Agats. Diduga jumlah tersebut masih bertambah karena banyak penderita yang tidak dibawa ke rumah sakit dan puskesmas.
”Berbagai masalah di Papua membuktikan, masih banyak kekurangan dalam kebijakan pemekaran dan otonomi khusus. Diperlukan suatu dialog bersama antara berbagai pihak untuk mencari solusi sehingga kebijakan dari pusat bisa efektif bagi pemberdayaan masyarakat setempat,” kata John.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua, Tan Wie Long, mengatakan, pihaknya mendukung kebijakan pemekaran sejumlah provinsi di Papua, seperti Provinsi Papua Tengah. Hal ini mempermudah pelayanan publik bagi masyarakat di daerah dengan kondisi geografis sangat sulit.
Namun, menurut Tan, pemekaran harus sesuai aspirasi masyarakat dan regulasi yang berlaku. Ketentuan itu misalnya harus ada satu wilayah kota dan empat kabupaten untuk membentuk sebuah provinsi. ”Pemekaran wilayah tak boleh melanggar aturan. Perlu komunikasi bersama antara pusat dan daerah sebelum mengeluarkan kebijakan,” katanya.
Pemekaran harus sesuai aspirasi masyarakat dan regulasi yang berlaku.
Rektor Universitas Cenderawasih Apolo Safanfo menyatakan siap membantu pemerintah membuat kajian terkait pemekaran wilayah di Papua dan evaluasi Undang-Undang Otonomi Khusus.
Sebelumnya, Gubernur Papua Lukas Enembe menilai, Undang-Undang Otsus harus dievaluasi karena peruntukannya belum berpihak kepada orang asli Papua. (FLO)