Diplomasi Literasi di ”Titik Persimpangan”
Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara, bahkan Asia, yang pernah terpilih sebagai tamu kehormatan di ajang pameran buku terbesar di dunia, Frankfurt Book Fair, dalam 10 tahun terakhir.
Empat tahun terakhir, banyak negara belajar ke Indonesia untuk menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang pernah terpilih sebagai tamu kehormatan di ajang pameran buku terbesar dunia tersebut.
Indonesia dipercaya sebagai tamu kehormatan Frankfurt Book Fair (FBF) di Frankfurt, Jerman pada 2015. Ini adalah kesempatan langka mengingat dalam 10 tahun terakhir tidak pernah ada negara di Asia yang tampil sebagai tamu kehormatan selain Indonesia.
Mengapa begitu sulit negara-negara di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara, mendapatkan ”panggung khusus” FBF? Ternyata, untuk bisa mengajukan diri sebagai tamu kehormatan, sebuah negara mesti memiliki anggaran khusus dana penerjemahan dan minimal sudah memiliki 200 judul buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman.
”Ketentuan-ketentuan tersebut sangat berat karena, pertama, biaya penerjemahan buku sangat tinggi dan, kedua, proses penerjemahan 200 judul buku butuh waktu yang sangat lama,” kata Ketua Komite Buku Nasional (KBN) Laura Bangun Prinsloo, Minggu (20/10/2019), di sela-sela kegiatan FBF 2019 di Frankfurt, Jerman.
Baca juga: Indonesia Usung 350 Judul Buku dan Aneka Alih Wahana
Oleh karena itulah, setiap negara yang berminat mengajukan diri sebagai tamu kehormatan FBF mesti mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Kanada yang sudah dipastikan menjadi tamu kehormatan FBF 2020 pada 14-18 Oktober 2020, misalnya, sudah ancang-ancang sejak empat tahun lalu. Penandatanganan kontrak komitmen Kanada sebagai tamu kehormatan FBF 2020 sudah berlangsung sejak 6 Oktober 2016.
Kanada yang sudah dipastikan menjadi tamu kehormatan FBF 2020 pada 14-18 Oktober 2020, misalnya, sudah ancang-ancang sejak empat tahun lalu.
Untuk memantapkan persiapan mereka, Presiden Kanada FBF 2020, Caroline Fortin bahkan berkali-kali sampai datang ke KBN untuk bertanya dan belajar menjadi tamu kehormatan FBF, mulai dari bagaimana menyiapkan branding (slogan) hingga melakukan penerjemahan 200 judul buku. Pada FBF 2020, Kanada akan mengusung slogan ”Singular Plurality” (Pluralitas Tunggal).
Pemilihan slogan yang kuat dan menohok sangat penting untuk menancapkan ingatan dunia terhadap negara-negara yang dipercaya sebagai tamu kehormatan. Pada 2015, Indonesia mengambil slogan ”17.000 Islands of Imagination” yang menggambarkan bagaimana kekayaan Indonesia dengan lebih dari 17.000 pulaunya. Sampai sekarang, slogan itu tetap dipertahankan.
Negara-negara Asia Tenggara berminat
Selain Kanada, negara-negara lain yang meminta banyak masukan ke Indonesia adalah negara-negara Asia Tenggara, mulai dari Malaysia, Filipina, Vietnam, hingga Thailand. Jajaran KBN berkali-kali diundang negara-negara tersebut untuk mempresentasikan bagaimana proses pengajuan dan persiapan menjadi tamu kehormatan FBF.
Belajar dari kesuksesan Indonesia sebagai tamu kehormatan FBF 2015, Filipina menargetkan diri untuk bisa menjadi tamu kehormatan FBF pada 2024. ”Kami sungguh sangat berharap bisa menjadi tamu kehormatan dan kami telah menghubungi pihak FBF untuk menyampaikan keinginan kami tersebut. Tantangan terbesar kami untuk menjadi tamu kehormatan FBF adalah menyiapkan begitu banyak judul buku untuk diterjemahkan, menyediakan banyak penerjemah, dan tentu saja anggaran yang cukup. Sekarang pemerintah dan swasta mulai menggalang anggaran untuk perbukuan di Filipina,” tutur mantan Presiden Asia Pasific Publishers Association sekaligus Pimpinan Rex Group of Companies, sebuah penerbitan buku besar di Filipina, Atty Dominador D Buhain.
Baca juga: Asia Tenggara Belajar dari Indonesia
Sementara itu, Malaysia berharap antara 2027 dan 2030 bisa menjadi tamu kehormatan FBF. Menurut Direktur Publikasi Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia Abang Patdeli Bin Abang Muhi, mereka kini sudah mulai bersiap-siap.
”UNESCO telah menetapkan Malaysia sebagai World Book Capital 2020. Dari sinilah kami akan bergerak ke situ (tamu kehormatan FBF). Untuk bisa menjadi tamu kehormatan FBF, pemerintah dan swasta harus bersama-sama turun menjadi sponsor karena dibutuhkan dana yang cukup besar, sekitar 60 juta ringgit. Persiapan juga dilakukan dengan penerjemahan karya-karya buku berbahasa Melayu ke bahasa Jerman dan Inggris yang dilakukan oleh Institut Penerjemahan,” paparnya.
Taiwan, negara di kawasan Asia yang mendirikan stan tepat di depan stan Indonesia pada FBF 2019, juga berharap suatu saat nanti bisa menjadi tamu kehormatan FBF. ”Ini jalan yang tepat untuk menyebarkan pesan-pesan dan nilai-nilai sebuah negara. Di Taiwan, kini pemerintah membebaskan penerbitan meluncurkan buku-buku apa pun. Tidak ada sensor di Taiwan. Meski demikian, kami butuh waktu persiapan yang lama, terutama untuk menerjemahkan buku-buku ke dalam bahasa Jerman ataupun Inggris,” tutur Michelle Tu, Senior Manajer Taipei Book Fair Foundation.
Menunjukkan hasil
Setelah Indonesia dipercaya sebagai tamu kehormatan FBF 2015, KBN mencatat adanya lonjakan signifikan penjualan hak cipta buku-buku Indonesia. Pada 2012-2015, tren penjualan hak cipta ke luar negeri masih berada di atas 100 judul buku, yaitu tahun 2012 sebanyak 114 judul, tahun 2013 sebanyak 133 judul, tahun 2014 sebanyak 167 judul, dan tahun 2015 sebanyak 172 judul.
Setahun setelah Indonesia menjadi tamu kehormatan FBF 2015, angka penjualan hak cipta buku-buku Indonesia melonjak di atas angka 200 judul. Pada 2016, angka penjualan buku Indonesia mencapai 219 judul, 2017 mencapai 226 judul, dan tahun 2018 mencapai 233 judul.
Baca juga: Buku-buku Indonesia Diminati di Frankfurt Book Fair
Ketika Indonesia menjadi tamu kehormatan FBF 2015, berbagai even seperti diskusi, kuliner, dan pertunjukan seni budaya digelar di beberapa kota di Jerman mulai dari Frankfurt, Köln, Berlin, hingga Leipzig. Pengenalan tentang Indonesia secara serentak di Jerman ini mulai membangun kesadaran dan perhatian publik di Jerman tentang eksistensi Indonesia.
Momen-momen kehadiran Indonesia di Jerman itu rupanya turut mendongkrak jumlah kunjungan wisatawan Jerman ke Indonesia. Catatan statistik Kementerian Pariwisata terkait jumlah wisatawan Jerman ke Indonesia menunjukkan peningkatan. Pada 2014, jumlah wisatawan dari Jerman yang berkunjung ke Indonesia mencapai 184.463 orang, kemudian tahun 2015 meningkat menjadi 201.202 orang, lalu pada 2016 bertambah lagi menjadi 231.000 orang, dan pada 2017 mencapai angka 260.586 orang.
Selain dipercaya sebagai tamu kehormatan FBF 2015, pada ajang pameran buku London Book Fair 2019 tanggal 12-14 Maret 2019, Indonesia juga terpilih sebagai negara ”Market Focus” atau negara fokus pemasaran. Masa kontrak Indonesia sebagai ”Market Focus” London Book Fair berlangsung hingga 2020.
Baca juga: Eropa Semakin Mengenal Indonesia
Meski berkali-kali menjadi rujukan sejumlah negara dalam perhelatan pameran buku dunia, nasib ke depan KBN sebagai organisasi penyelenggara pameran-pameran buku di panggung internasional belum jelas. Dua bulan lagi, Surat Keputusan Mendikbud terkait KBN habis dan tidak jelas siapa yang akan melanjutkan rintisan diplomasi literasi Indonesia ini ke depan.
Dalam kampanye pencalonan presiden RI 2019-2024, pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin menjanjikan bahwa KBN akan menjadi lembaga independen yang menjadi sektor terdepan dalam membangun budaya membaca. ”Penulis Sejahtera, Pembaca Bahagia, Penerbit Berjaya. Weekend Bisa Nongkrong di Perpustakaan Nasional nan Keren. Dana Desa Buat Bangun Perpustakaan” demikian bunyi kampanye pasangan presiden dan wakil presiden yang baru saja dilantik itu.
Kehadiran Indonesia dalam ajang FBF 2019 diharapkan semakin memperkenalkan karya-karya literasi Indonesia ke panggung dunia karena FBF dihadiri lebih dari 7.500 peserta pameran dari 109 negara, dikunjungi 285.000 orang, dan diliput 10.000-an jurnalis serta blogger dari berbagai penjuru dunia. Lalu, setelah semua upaya besar ini dilakukan, mau dibawa ke mana diplomasi literasi kita?
Negara-negara di Asia Tenggara banyak belajar dari Indonesia, tinggal bagaimana sikap kita selanjutnya, mau melanjutkan misi pencerahan literasi ini atau cukup berhenti sampai akhir tahun dengan berakhirnya masa tugas KBN? Di sinilah, diplomasi literasi kita menemui titik persimpangan.