Tanah dan Air yang Lesap di Kabaena
Di Kabaena, pulau sekira luas Jakarta dan Bekasi ini, kehidupan seakan didikte korporasi yang terus mengeruk tanah merah, tempat hidup ribuan warga.
Suatu pagi, tanah tempat menggantungkan harapan terbelah. Pada lain waktu, mata air yang biasa dimanfaatkan warga tidak lagi boleh dimasuki. Di Kabaena, pulau sekira luas Jakarta dan Bekasi ini, kehidupan seakan didikte korporasi yang terus mengeruk tanah merah, tempat hidup ribuan warga.
Berjalan gontai, Sumartono (38) berkeliling di kebun jambu mete miliknya, pertengahan September lalu. Sore itu, di sebuah pohon mete yang berumur lebih dari lima tahun, ia berhenti.
Pohon itu terangkat dari tempat hidupnya, dengan akar yang menyeruak ke permukaan. Tidak ada lagi tanah di bawahnya, selain ruang kosong selebar 40 sentimeter dengan kedalaman sekira 10 meter.
Kebunnya, yang berada di kawasan perbukitan, berjarak sekitar 700 meter dari kediamannya di Desa Pongkalaero, Kabaena Selatan, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, ini terbelah dengan ukuran yang terus bertambah. Rekahan tanah ini memanjang lebih dari 300 meter. Total ada lima pengolah kebun yang terdampak dari lesapnya tanah dari hari ke hari.
”(Rekahan) ini setiap hari bertambah lebar. Tanah juga turun sampai setengah meter. Kalau begini, mau bagaimana? Perusahaan di sana itu juga tidak ada tanggung jawabnya,” kata Sumartono, menunjuk ke arah utara.
(Rekahan) ini setiap hari bertambah lebar. Tanah juga turun sampai setengah meter. Kalau begini, mau bagaimana?
Di arah yang ditunjuk ayah dua anak ini, lahan terbuka berhektar-hektar. Lokasi yang awalnya bukit penuh tanaman warga ini telah menjadi cekungan berkedalaman lebih dari 70 meter. Di bagian bawah, alat berat terlihat kecil serupa mainan. ”Belalai” alat ini mengeruk tanah lalu memindahkan ke bak truk.
Di sudut lain, deru mobil menanjak melewati jalan tanah, lalu hilang di balik bukit dan menyisakan debu di udara. Truk itu menuju tempat penampungan yang berbatasan dengan pantai. Di pelabuhan tempat kapal tongkang bersandar, terlihat truk-truk menumpuk tanah merah yang mengandung nikel. Tanah itu akan dikirim menggunakan tongkang, entah ke mana, untuk diolah menjadi campuran logam yang menjadi bahan baku produksi telepon seluler, atau mungkin untuk baterai mobil yang sedang marak saat ini.
”Sudah pasti karena tambang,” kata Sumartono dengan nada meninggi, setiap kali menyinggung kerusakan kebunnya akibat eksploitasi oleh korporasi tambang di sana.
Lokasi penambangan yang berjarak sekitar 700 meter dari permukiman warga di Desa Pongkalaero, Kabaena Selatan, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, seperti terlihat pada Senin (23/9/2019).Kebun milik Sumartono seluas dua hektar penuh pohon jambu mete. Setiap masa panen, ia mampu meraih hasil hingga Rp 20 juta. Oleh karena itu, ia tidak mau menjual lahan miliknya. Hanya kondisi saat ini membuatnya ragu jika kebunnya masih bisa seproduktif dulu. Apalagi, ancaman lingkungan di depan mata.
Serupa nasib kebun Sumartono, Pongkalaero, sebuah desa seluas 978 hektar ini, seharusnya adalah desa yang permai. Di bagian barat, bagian desa tempat bermukim ini berbatas laut yang merupakan perairan Teluk Bone. Hasil laut kaya tidak berbilang. Berjarak hanya beberapa ratus meter dari pesisir, bukit-bukit menghijau dengan pohon menjulang. Di bagian kaki bukit, warga menanam mete, cengkeh, juga banyak tanaman lainnya. Hasil bumi dan laut cukup membuat warga sejahtera. Namun, pertambangan mengobrak-abrik semuanya.
Kepala Desa Pongkalaero Darmawi mengatakan, sepengetahuannya, warga dan perusahaan telah bertemu untuk membicarakan terkait hal ini. Akan tetapi, dalam pembicaraan ganti rugi, nilai yang diajukan perusahaan, jauh di bawah permintaan warga.
Dampaknya sekarang baru debu saja, meski juga ada manfaatnya bagi warga yang kerja di sana. Nanti akan jadi kubangan saja.
Di luar dari hal itu, tambah Darmawi, ia lebih khawatir dampak dari kerusakan lingkungan terhadap kehidupan warga ke depannya. Apalagi, ketika bukit mulai runtuh, bisa mengancam hidup warga yang berada di bawah.
”Yang kita pikirkan itu permasalahan ke depannya, apalagi kalau tambang sudah tidak ada. Dampaknya sekarang baru debu saja, meski juga ada manfaatnya bagi warga yang kerja di sana. Nanti akan jadi kubangan saja, Karena wilayah desa ini ada tiga perusahaan tambang,” tuturnya.
Sedikitnya ada tiga perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah desa itu. Total luas konsesi ketiga perusahaan itu mencapai 5.113 hektar.
Tertutup tambang
Jika di Pongkalaero tanah retak dan terbelah, di Desa Kokoe, warga kehilangan tempat mengambil air bersih. Desa yang bisa ditempuh dengan menggunakan kapal selama 45 menit dari Pongkalaero ini kehilangan tempat mengambil air minum karena mata air mereka masuk dalam konsesi tambang.
Meski masih di daratan Pulau Kabaena, Desa Kokoe masuk dalam administrasi Kabupaten Buton Tengah. Pembagian wilayah ini pun untuk memuluskan perizinan tambang.
”Dulu di Malapulu itu tempat kami ambil air. Tapi dilarang karena katanya masuk wilayah perusahaan,” kata H Hatang (54), mantan Kepala Desa Kokoe.
Dengan adanya larangan itu, Hatang dan sekitar 870 warga desa lainnya beralih mengambil air di sebuah sungai yang tidak jauh dari desa. Namun, hal itu hanya bertahan beberapa bulan karena air yang keruh dan debit yang kurang. Akhirnya, warga desa memakai air suling yang pengadaannya dibantu oleh perusahaan tambang.
Dulu di Malapulu itu tempat kami ambil air. Tapi dilarang karena katanya masuk wilayah perusahaan.
Dari teras rumah panggung Hatang, sebuah rumah mesin penyulingan air terlihat tepat di seberang jalan. Air dari sumur yang payau ditarik ke mesin untuk diolah. Mesin air ini dikelola oleh desa.
”Tapi airnya tidak sama seperti mata air di Malapulu yang segar dan bersih,” tambahnya.
Jarak dari Desa Kokoe ke tempat mata air tersebut sekitar 20 menit dengan memakai kapal. Dari tepi laut yang berpasir putih, sebuah bangunan pos pengamanan terlihat. Tepat di sisi kiri pos tersebut, terbentang muara sungai yang langsung mengarah ke pantai. Airnya jernih berkilau ditimpa sinar matahari. Tidak jauh di atas muara inilah mata air tempat warga Kokoe mengambil air bersih. Wilayah mata air tersebut berada dalam lokasi konsesi perusahaan.
Ironisnya, mantan Gubernur Sultra Nur Alam terjerat kasus korupsi untuk pemberian izin perusahaan tambang itu. Dalam kasus yang merugikan negara hingga Rp 1,5 triliun itu, Nur Alam divonis 15 tahun penjara.
Kasus itu tak membuat perusahaan berhenti beroperasi. Terlebih, ada lebih dari dua juta ton stok nikel di wilayah itu, tersisa sejak mereka mulai mengeruk tanah. Jika dihitung berdasarkan valuasi saat ini, di mana satu ton ore nikel rerata berharga 30 dollar AS, nilainya sebesar 60 juta dollar AS atau Rp 840 miliar. Setelah diolah, nilainya bisa melonjak hingga triliunan rupiah.
Total luas delapan perusahaan tersebut mencapai 16.286 hektar atau sekitar lebih dari 100 kali kawasan Gelora Bung Karno, Senayan.
Desa Pongkalaero dan Desa Kokoe adalah contoh kecil bagaimana tambang mengubah wajah dan situasi sosial desa di Pulau Kabaena. Sejak akhir 2000-an lalu, sebagian wilayah pulau seluas 870.000 hektar, atau sekitar luas DKI Jakarta dan Kota Bekasi ini, telah beralih rupa.
Merujuk Undang-undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang telah diperbarui dengan UU Nomor 1/2014, Pulau Kabaena termasuk pulau kecil karena luasnya kurang dari 2.000 kilometer persegi. Sesuai dengan regulasi itu, tidak ada ketentuan pemanfaatan untuk pertambangan di pulau kecil itu.
Ironisnya, hingga kini terdapat 28 perusahaan yang memiliki konsesi tambang, sebagian besar tambang nikel, dengan luas keseluruhan konsesi menutupi lebih dari setengah luas pulau. Dari total perusahaan tersebut, terdapat delapan perusahaan yang sedang aktif beroperasi. Total luas delapan perusahaan tersebut mencapai 16.286 hektar atau sekitar lebih dari 100 kali kawasan Gelora Bung Karno, Senayan.
Yani Taufik, dosen sosial ekonomi dari Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo menyampaikan, masuknya pertambangan berdampak bagi masyarakat dan lingkungan. Apalagi, Kabaena adalah pulau kecil yang seharusnya tidak boleh ditambang karena akan berdampak buruk.
”Dan saya bisa pastikan, tidak ada baseline survey yang holistik kepada masyarakat. Di mana, dari pengamatan dan pencatatan itu, bisa dipetakan potensi, ancaman, dan kehidupan sosial masyarakat. Kalau saya lihat, model perusahaan itu adalah datang, buka, keruk, dan pulang. Akhirnya masyarakat yang merasakan dampak sosial dan lingkungan,” ucapnya.
Seharusnya, tambah Yani, sedari awal pemerintah menerapkan aturan teknis apa yang harus dikaji dan dipenuhi oleh perusahaan sebelum diberikan izin operasi. Berdasar pengalamannya mendampingi masyarakat di beberapa daerah, dampak buruk pertambangan berdampak besar pada masyarakat. Jalan keluar paling ideal adalah melakukan moratorium terlebih dahulu, lalu memperbaiki apa yang terjadi.
Dan, semenjak pertambangan muncul, hajat hidup akan tanah dan air, bukan lagi berada di tangan warga. Perlahan, tanah dan air di sana pun lesap ditelan pertambangan.
Nining Rahmawati, Kepala Seksi Pemetaan WIUP dan Pemberian IUP Mineral Logam dan Batubara ESDM Sultra menuturkan, dalam aturan, pulau-pulau kecil tidak boleh ditambang jika membuat dampak buruk lingkungan. Akan tetapi, jika ini diatasi, pertambangan bisa dilakukan.
Di satu sisi, Nining juga mengakui jika yang namanya pertambangan pasti akan membuat dampak terhadap lingkungan. ”Namanya tambang pasti membuka lahan, tebang pohon, dan lain-lain. Dari teknis pertambangannya itulah kita lihat, dan awasi, sejauh mana bisa sesuai aturan. Sebisa mungkin dilakukan pengawasan, kalau merusak, ya, kita tutup,” katanya.
Di Kabaena, di pulau kecil ini, di salah satu ujung kaki Pulau Sulawesi, pemerintah seakan tidak memiliki taji untuk memberikan sanksi terhadap perusahaan yang melanggar. Dan, semenjak pertambangan muncul, hajat hidup akan tanah dan air, bukan lagi berada di tangan warga. Perlahan, tanah dan air di sana pun lesap ditelan pertambangan.