PSSI di Persimpangan Jalan
Masa depan sepak bola Indonesia dipertaruhkan di Kongres Luar Biasa PSSI. Suara perubahan yang berharap PSSI tidak lagi “tersesat” seperti era-era lalu kencang terdengar.
Pasca-pembekuan PSSI oleh FIFA pada 2016, semangat luar biasa untuk membenahi sepak bola Indonesia bergaung di berbagai sudut negeri ini. Dari Istana Negara, Presiden RI Joko Widodo mengharapkan perubahan alias reformasi tata kelola sepak bola agar bisa lebih profesional dan akuntabel. Muaranya, bangkitnya prestasi tim nasional sepak bola Indonesia.
Nyaris empat tahun berlalu, sepak bola Indonesia realitasnya tetap berjalan di tempat, bahkan mengalami kemunduran. Itu paling tidak ditunjukkan dengan anjloknya prestasi tim ”Garuda” di bawah asuhan Simon McMenemy yang selalu kalah dari negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam, dalam penyisihan grup kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Asia.
Indonesia pun kini terpuruk di peringkat ke-171 dunia, posisi terburuk dalam sejarah selain era kevakuman saat dibekukan FIFA, pada 2015. Indonesia ada di level serupa Kamboja dan Laos, dua negara sepak bola semenjana di Asia Tenggara. Sebaliknya, negara-negara tetangga, seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, bahkan Filipina terus berlari kencang. Vietnam, misalnya, mampu menembus peringkat 97 dunia, posisi yang terakhir kali dicapai Indonesia pada awal 2000-an.
Alih-alih lebih profesional, kepengurusan PSSI periode 2016-2020 di bawah Ketua Umum Edy Rahmayadi ”dirongrong” penyakit lama dalam sepak bola, yaitu pengaturan skor dan kecurangan lainnya. Satu per satu pengurus PSSI, baik di pusat dan daerah, terjerat kasus-kasus pengaturan skor yang didalami Satuan Tugas Anti Mafia Sepak Bola yang dibentuk Kepolisian Negara RI akhir tahun lalu.
PSSI pun bak organisasi pincang dan autopilot menyusul mundurnya Edy yang kini menjabat Gubernur Sumatera Utara terpilih dan dijebloskannya penggantinya, Joko Driyono, ke penjara akibat penghilangan barang bukti kasus dugaan pengaturan skor. Satu-satunya hal yang bisa membanggakan dari kepengurusan ini adalah berhasilnya Indonesia merebut pencalonan tuan rumah Piala Dunia U-20 pada 2021.
Namun, pencapaian itu sebetulnya merupakan buah dari kerja keras Sekretariat PSSI pimpinan Ratu Tisha Destria yang mampu mengoptimalkan sinergitas dengan Pemerintah RI, khususnya Kementerian Pemuda dan Olahraga. Kedua pihak aktif bekerja sama menyediakan berbagai dokumen, persiapan infrastruktur, dan proposal untuk meyakinkan FIFA menggelar Piala Dunia usia muda itu.
Menurut legenda sepak bola Indonesia, Bambang Nurdiansyah, keberhasilan merebut proyek Piala Dunia U-20 dari Brasil dan Peru itu harus dijadikan momentum kebangkitan sepak bola Indonesia. Indonesia mulai diperhitungkan FIFA dalam kancah sepak bola global dan ke depan diharapkan turut mendongkrak prestasi timnas melalui lahirnya generasi muda yang lebih tangguh dan berpengalaman di level internasional.
”Indonesia punya potensi sepak bola yang sangat besar. Ini negara gila sepak bola, tetapi sayangnya prestasinya terpuruk. Ke depan, seperti kesuksesan pencalonan Piala Dunia U-20, PSSI harus mampu menyinergikan kerja sama dengan berbagai pihak, tidak terkecuali pemerintah. (Pengurus) PSSI tidak lagi boleh seperti dulu, alergi dan tertutup dengan pihak-pihak lain,” ujar Bambang, mantan pemain timnas yang pernah tampil di Piala Dunia U-20 pada 1979.
Perlu figur baru
Seperti dikatakan Bambang, PSSI saat ini seolah berada di persimpangan jalan, yaitu antara kembali ke kebiasaan lamanya yang buruk, penuh konflik serta penyimpangan, dan ke era baru yang lebih profesional dan terbuka sesuai dengan keinginan Presiden Jokowi. Masa depan PSSI ini bergantung pada sepenuhnya pada para pemilik suara yang akan memilih ketua umum, wakil ketum, dan anggota Komite Eksekutif PSSI pada KLB Sabtu (2/11/2019) mendatang di Jakarta.
Dari 11 nama calon ketum yang telah disahkan Komite Pemilihan PSSI, hanya sedikit yang merupakan figur-figur baru yang menawarkan perubahan di induk sepak bola Tanah Air itu. Sebagian besar adalah orang-orang lama yang pernah menjadi pengurus atau paling tidak mencalonkan diri pada era lama, seperti La Nyalla Mattalitti, Sarman, dan Bernhard Limbong. Di posisi calon waketum, ada pula nama-nama familier lainnya seperti Hinca Panjaitan, Iwan Budianto, dan Tri Goestoro.
Padahal, menurut Ketua Umum Paguyuban Suporter Timnas Indonesia Ignatius Indro, diperlukan figur-figur baru yang berani dan revolusioner untuk menuntaskan reformasi PSSI yang telah dicita-citakan sejak 2015. ”Ketum (PSSI) yang baru harus berani mengubah sistem lama secara revolusioner agar kita tidak terus-menerus terjebak pada persoalan yang itu-itu saja. Jangan figur-figur lama yang turut berkontribusi pada masalah sepak bola selama ini kembali terpilih,” tuturnya.
Harapan senada disampaikan Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto. Meskipun tidak ingin campur tangan terhadap ”dapur” organisasi PSSI, Gatot mengingatkan pentingnya semangat pembaharuan dalam KLB PSSI nantinya. Ia berkata, siapa pun yag terpilih nantinya harus sesuai dengan Statuta PSSI dan konsisten mereformasi tata kelola seperti yang disampaikan Presiden Jokowi pada 2016.
”Untuk menjawab keraguan publik, pengurus PSSI yang baru juga jangan sampai didominasi kembali oleh orang-orang lama yang faktanya selama ini tidaklah berkontribusi signifikan untuk kemajuan sepak bola Indonesia. PSSI harus sudah mulai out of box, misalnya KLB memberikan target gebrakan di 100 hari pertama bekerja. Jika gagal, mereka harus siap merevisi struktur personelnya. Pemerintah saja bisa, kenapa PSSI tidak?” tutur Gatot.
Hal tidak kalah penting, ungkap Gatot, adalah jangan sampai terulang kembali ”lagu lama”, yaitu kecenderungan jabatan Ketum PSSI sebagai kendaraan politik. Bukanlah rahasia jika dalam dua dekade terakhir ini jabatan penting itu kerap menjadi batu loncatan sejumlah figur untuk mengejar popularitas dan posisi politik yang lebih penting lainnya.
Politik dagang sapi
Ketum yang baru harus tulus dan tanpa pamrih membesarkan PSSI. Ketum yang baru memiliki tantangan yang luar biasa berat, yaitu mulai dari memperbaiki tata kelola keuangan agar lebih akuntabel, menjaga konsistensi regulasi, merencanakan kompetisi profesional agar tidak lagi tumpang tindih dengan jadwal timnas, meningkatkan pembinaan usia dini, hingga menangani masalah berulang kerusuhan antarsuporter yang seolah tidak ada solusinya.
”Saatnya para legenda sepak bola dan para suporter mendesak para voter (pemilik suara) untuk berani mandiri memilih pengurus sesuai dengan hati nuraninya agar kongres tidak menjadi ajang pesta pora, menukar suara dengan uang jutaan rupiah,” ungkap Dede Sulaeman, mantan pemain timnas sepak bola Indonesia lainnya yang juga mendorong perlunya figur-figur baru di PSSI untuk menangkal masalah-masalah lama.
Ketua Asosiasi Provinsi PSSI Jawa Barat Tommy Apriantono mengakui, pemilihan pengurus PSSI, dalam sejarahnya, sangat sarat dengan politik ”dagang sapi”. Sering muncul iming-iming materi atau tekanan dalam kongres yang mampu meluluhkan idealisme seorang voter atau pemilik suara.
”Saya pribadi akan tutup kuping dan tetap melihat calon terbaik dari 11 yang ada saat ini,” tutur Tommy, dosen Institut Teknologi Bandung yang diusulkan sebagai calon anggota Exco PSSI.
Terkait pencalonan itu, keputusan mengejutkan muncul dari La Nyalla yang pernah terpilih sebagai Ketum PSSI pada 2015. Ia menyatakan menarik diri dari pencalonan sebagai ketum karena menganggap KLB 2 November tidak sah. Ia mempersoalkan dampak dari perubahan jadwal KLB yang dipercepat dari 25 Januari 2020 menjadi 2 November 2019 yang disetujui dalam rapat Exco PSSI beberapa waktu lalu.
La Nyalla merujuk pada surat FIFA yang ditujukan ke Sekjen PSSI Ratu Tisha. Dalam salinan surat yang sudah beredar itu, FIFA meminta PSSI memberikan penjelasan mengenai siapa saja yang akan menjadi voter dari setiap liga mengingat kompetisi masih berjalan saat ini dan baru akan selesai pada akhir tahun.
”Menurut saya kongres ini cacat dan tidak sah karena belum jelas siapa voter-nya. Kasihan klub-klub yang masih berkompetisi. Mereka sudah berjibaku dan mengeluarkan banyak uang. Ini bisa menciptakan kegaduhan lainnya,” katanya ketika dihubungi, Senin malam.
Meskipun demikian, PSSI menegaskan bahwa legitimasi KLB 2 November sudah sangat kuat. Dalam laman resminya, PSSI juga menyatakan bahwa delegasi dari FIFA dan AFC akan hadir langsung memantau jalannya KLB. ”Kita tentu berharap acara KLB PSSI bisa berjalan lancar dan tertib serta menghasilkan output positif untuk sepak bola Indonesia ke depan,” kata Tisha.