Petani Menjerit, Larangan Ekspor Rotan Perlu Dievaluasi
Pemerintah pusat diminta untuk mengevaluasi kebijakan larangan ekspor rotan. Aturan tersebut dinilai tidak berpihak kepada petani rotan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Pemerintah pusat diminta mengevaluasi kebijakan larangan ekspor rotan. Aturan tersebut dinilai tidak berpihak kepada petani. Bahkan, di Kalimantan Tengah, jatuhnya harga rotan menyebabkan petani enggan memanen rotan dan beralih profesi.
Hal itu terungkap dalam Diskusi Publik Pencapaian Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi Kalimantan Tengah di Palangkaraya, Selasa (29/10/2019). Kegiatan yang dilaksanakan Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Kalteng itu diikuti berbagai kalangan termasuk jurnalis di Palangkaraya.
Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi Kalteng Aster Bonawati mengungkapkan, rotan merupakan komoditas lama yang pernah perkasa di Kalimantan Tengah. Tiga kabupaten di Kalteng, yakni Katingan, Barito Selatan, dan Kotawaringin Timur, masuk dalam daftar daerah penghasil rotan terbesar di Indonesia.
Dia menjelaskan, untuk menghidupkan sektor rotan, pihaknya hanya membantu memromosikan kriya atau kerajinan tangan rotan yang dilakukan oleh pelaku usaha kecil dan menengah. Beberapa bahkan sudah masuk dalam pasar internasional. “Memang kami masih terus berupaya agar rotan menjadi komoditas yang prima lagi di Kalteng,” ungkap Aster.
Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Disperindag Provinsi Kalteng Adi Suseno mengungkapkan, sebelumnya, tiga pimpinan daerah penghasil rotan di Kalteng telah membuat surat permintaan ke pusat untuk mempertimbangkan kembali kebijakan larangan ekspor. Sejak larangan ekspor diberlakukan, sektor rotan langsung terdampak dan mati karena harganya terlampau jatuh.
Harian Kompas mencatat, pemerintah resmi melarang ekspor rotan asalan, mentah, dan rotan setengah jadi sejak November 2011. Dengan melihat sejumlah aspek dalam sektor perindustrian, kehutanan, dan perdagangan, pemerintah menetapkan adanya lima peraturan terkait pelarangan ekspor bahan baku rotan. Paket kebijakan terdiri dari tiga peraturan Menteri Perdagangan, satu peraturan Menteri Perindustrian, dan satu peraturan Menteri Kehutanan.
Beberapa hal yang melandasi aturan tersebut, pemerintah meyakini akan terjadi penyerapan oleh industri di dalam negeri terhadap bahan baku rotan. Penghentian ekspor juga sebagai upaya menghentikan eksploitasi pengambilan rotan sehingga mengancam kelestariannya.
"Yang kami minta itu aturannya dicabut sementara, mungkin dalam periode tiga atau lima tahun sambil kami mempersiapkan industri hilirnya di sini,” ungkap Adi.
Meski demikian, menurut Adi, aturan tersebut ternyata semakin lama semakin merugikan petani rotan. Sebelum ada kebijakan tersebut, harga rotan di Kalteng dengan kondisi kering 40 persen mencapai Rp 3.500 hingga Rp 5.000 per kilogram (kg). Saat ini, harga rotan basah hanya Rp 950 per kg, sedangkan rotan kering 40 persen harganya hanya Rp 1.100 per kg.
“Yang kami minta itu aturannya dicabut sementara, mungkin dalam periode tiga atau lima tahun sambil kami mempersiapkan industri hilirnya di sini,” ungkap Adi.
Di Katingan saja, dari data yang dihimpun Kompas, selama tahun 2005-2010 produksi rotan di Katingan mencapai 11.430 ton rotan per tahun lalu menurun drastis di tahun 2013 menjadi 800 ton. Saat ini baik pemerintah kabupaten maupun provinsi tidak memiliki data jumlah produksi rotan karena banyak petani tidak lagi memanen rotan.
“Kami harap di kabinet kali ini bisa ada perubahan dan kebijakan baru di sektor rotan, kalau tidak petani rotan tidak bisa hidup karena rotan,” ungkap Adi.
Di Desa Tangkahen, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, para petani rotan bahkan beralih menjadi penambang atau buruh sawit karena memanen rotan tidak lagi menguntungkan. Di desa ini, potensi rotan masih tinggi, luas Hutan desa yang mencapai 162 hektar menyimpan berbagai jenis rotan yang sejak 2010 tak lagi dipanen. Hutan tersebut masih dijaga. Sampai kini, rotan-rotan pun masih bertengger di pohon-pohon besar.
Ramhat Saduri (38), warga Tangkahen, mengungkapkan, sebelum ramai penambangan emas ilegal di sungai dan hutan di sekitar desa, masyarakat hanya bertumpu pada karet dan rotan. Namun, karena harganya hanya berkisar Rp 900–Rp 1.200 per kg, petani pun beralih profesi.
“Awalnya mereka menjadi penambang di luar desa, kemudian di lokasi tempat bekerja emasnya sudah habis. Karena sudah dapat keterampilan, mereka menambang di dekat desa, sampai sekarang,” kata Saduri.