Persatuan Purnawirawan TNI AD Usulkan Presiden Kembali Dipilih MPR
Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) mengusulkan untuk mengkaji ulang sistem pemilihan presiden. PPAD mengusulkan agar pemilihan presiden tak lagi dilakukan secara langsung, tetapi kembali dilakukan oleh MPR.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) mengusulkan mengkaji ulang sistem pemilihan presiden. PPAD mengusulkan agar pemilihan presiden tak lagi dilakukan secara langsung, tetapi kembali dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
”Pemilihan presiden harusnya dilakukan oleh MPR, bukan one man one vote (satu orang satu suara) seperti sekarang,” kata Ketua Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) Letnan Jenderal (Purn) TNI Kiki Syahnakri dalam acara Sosialisasi Kaji Ulang Perubahan UUD 1945, Selasa (29/10/2019), di Yogyakarta.
Sebagai konstitusi Republik Indonesia, UUD 1945 telah mengalami perubahan atau amendemen sebanyak empat kali. Perubahan sebanyak empat kali itu terjadi pada tahun 1999-2002. Dalam proses amendemen tersebut, ada beberapa substansi UUD 1945 yang diubah, misalnya terkait pemilihan presiden.
Berdasarkan Pasal 6A Ayat 1 UUD 1945 hasil amendemen, presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pemilihan presiden dan wapres secara langsung melalui pemilu itu pertama kali dilakukan pada Pemilu 2004. Sebelumnya, presiden dipilih oleh MPR yang merupakan lembaga tertinggi negara.
Kiki menyatakan, PPAD menilai hasil amendemen terhadap UUD 1945 tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, PPAD mengusulkan adanya kaji ulang terhadap UUD 1945 yang telah diamendemen. ”Gerakan ini adalah gerakan untuk mengembalikan nilai-nilai dan roh Pancasila ke dalam UUD 1945,” ujarnya.
Gerakan ini adalah gerakan untuk mengembalikan nilai-nilai dan roh Pancasila ke dalam UUD 1945.
Kiki menyebutkan, Indonesia menganut sistem demokrasi perwakilan sehingga presiden lebih tepat dipilih oleh MPR. ”Jadi, presiden dipilih oleh MPR itu sama sekali tidak mengebiri hak politik rakyat karena sistem demokrasi kita adalah demokrasi perwakilan,” kata Kiki yang pernah menjabat Wakil Kepala Staf TNI AD.
Substansi lain yang diusulkan oleh PPAD untuk dikaji ulang adalah kedudukan MPR. Kiki menuturkan, PPAD berpendapat, MPR harus dikembalikan kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara. Sebagai lembaga tertinggi negara, MPR memiliki sejumlah kewenangan, termasuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Kiki mengatakan, pengembalian kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara juga akan membuat fungsi check and balance (memeriksa dan menyeimbangkan) di antara lembaga-lembaga negara. ”Kalau MPR menjadi lembaga tertinggi negara yang membawahkan presiden dan DPR, akan terjadi check and balance,” ucapnya.
Kalau MPR menjadi lembaga tertinggi negara yang membawahkan presiden dan DPR, akan terjadi check and balance.
Selain itu, PPAD juga mengusulkan agar komposisi anggota MPR dikembalikan seperti dulu. Saat ini, MPR terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sementara itu, dulu MPR terdiri dari anggota DPR ditambah utusan daerah serta utusan golongan agar MPR benar-benar menjadi representasi dari berbagai unsur masyarakat Indonesia.
Wakil Presiden ke-6 RI Try Sutrisno juga berpendapat, substansi UUD 1945 hasil amendemen mesti dikaji ulang secara komprehensif dan mendalam. Try menyebutkan, apabila ada substansi yang dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan pembukaan UUD 1945, hal itu harus dihapuskan.
Adapun substansi yang dibutuhkan bisa dipertahankan. Namun, lanjutnya, substansi hasil perubahan itu sebaiknya dicantumkan dalam adendum, bukan masuk dalam batang tubuh UUD 1945. Adendum merupakan klausula atau pasal yang secara fisik terpisah dari sebuah dokumen, tetapi secara hukum melekat pada dokumen itu.
Try juga mengusulkan, batang tubuh UUD 1945 dikembalikan sesuai aslinya sebelum ada amendemen. ”(Batang tubuh) Yang awal itu harus kembali secara utuh. Kalau ada tambahan dari materi empat kali amendemen, bisa dijadikan adendum atau lampiran,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X berpendapat, isi batang tubuh UUD 1945 hasil amendemen telah menjauhi dan bahkan menihilkan nilai-nilai Pancasila. Hal ini antara lain terlihat dari hilangnya peran dan fungsi MPR sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat dan tidak ada laginya GBHN.
”Tambahan lagi, penafsiran konstitusi menuai ketidakpastian karena dihilangkannya bagian penjelasan dari UUD 1945,” kata Sultan yang juga Raja Keraton Yogyakarta.
Oleh karena itu, Sultan mengusulkan, UUD 1945 hasil amendemen sebaiknya ditinjau kembali untuk menciptakan landasan hukum yang lebih murni dan konsekuen. Meski begitu, Sultan mengakui, masih ada beberapa pihak yang berbeda pendapat tentang perlunya melakukan amendemen kembali terhadap UUD 1945.
Terkait rencana MPR melakukan amendemen terbatas UUD 1945, Sultan menilai, hal itu merupakan jalan tengah dari berbagai pendapat yang ada. ”Jalan tengah melalui amendemen terbatas UUD 1945 dinilai sebagai pilihan moderat dan realistis,” ujarnya.