Kepada Siapa Anak Indonesia Berlindung?
Kasus kejahatan seksual terhadap anak terus terjadi. Indonesia masih rawan eksploitasi seksual. Ironisnya, para pelaku merupakan orang-orang terdekat yang seharusnya jadi benteng pertama perlindungan anak-anak.
Belum hilang dari ingatan tentang pelecehan seksual di bawah umur di Jakarta Timur sepuluh hari lalu, kasus kejahatan seksual kembali mengemuka ke publik. Kali ini seorang ayah kandung tega melakukan perbuatan tak bermoral kepada anaknya hingga hamil di Kabupaten Tangerang, Banten.
Situasi ini menunjukkan anak Indonesia masih rawan jadi korban eksploitasi seksual. Ironisnya, para pelaku merupakan orang-orang terdekat yang seharusnya jadi benteng pertama perlindungan anak-anak.
Seorang ayah berinisial J (38) tega melakukan kejahatan seksual kepada anak kandungnya yang masih berumur 16 tahun hingga hamil 26 minggu. J melakukan perbuatan tak bermoral di rumahnya di Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang.
Ibu kandung korban yang tinggal di Tangerang Selatan melaporkan kasus ini ke Kepolisian Resor Tangerang Selatan. Polisi telah menahan tersangka.
Kepala Polres Tangerang Selatan Ajun Komisaris Besar Ferdy Irawan mengatakan, modus tersangka yang bekerja sebagai karyawan swasta melakukan kejahatan seksual itu adalah dengan menakuti-nakuti anaknya. Dalilnya, akan ada santet yang datang ke rumah sehingga ia meminta anaknya melepas pakaian. Saat itulah tersangka melakukan pelecehan seksual.
”Mereka hanya tinggal berdua di Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang. Tersangka diketahui sudah bercerai dari istrinya. J melakukan aksi tak bermoralnya selama setahun terakhir. Barang bukti dan tersangka sudah kami tahan,” tutur Ferdy, Selasa (29/10/2019).
Perbuatan J baru terbongkar ketika ibu kandung korban curiga dengan tingkah laku anaknya yang aneh, takut, dan trauma. Melihat perubahan perilaku anaknya itu, ibu korban langsung melapor ke polisi.
Akibat perbuatannya, J dikenai Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Tersangka terancam hukuman paling lama 15 tahun penjara.
Tujuh anak
Sebelumnya, kasus kejahatan seksual juga terungkap di Jakarta Timur pada 19 Oktober 2019. Tujuh anak perempuan di bawah umur diduga mengalami pelecehan seksual oleh guru mereka, F (51). Pelecehan itu diduga terjadi di rumah gurunya ketika proses belajar berlangsung.
Kasus itu terungkap saat ibu dari salah satu korban yang berinisial M (7) melihat anaknya kesakitan di bagian alat vital. Kepada ibunya, M menceritakan pelecehan yang dialaminya karena perbuatan gurunya.
Dalam perjalanannya, kasus pelecehan itu tak hanya dialami M. Setidaknya ada tujuh siswa lain yang turut jadi korban. Paralegal atau pendamping dari Lembaga Bantuan Hukum APIK, Tri Widiati, mengatakan, sementara ini sudah ada tiga keluarga korban yang melapor.
”Selain M, ada APF (11) dan A (11). Total ada tujuh korban. Sementara empat korban lainnya tidak melapor. Kami hargai karena bukan hal yang mudah untuk keluarga melaporkan kasus pelecehan seksual yang menimpa anaknya,” kata Tri, Senin (21/10/2019), di Jakarta.
Berdasarkan pengakuan korban, ujar Tri, mereka mengalami pelecehan seksual di rumah gurunya. Selain itu, mereka dibujuk rayu dan juga mendapat uang dari pelaku.
Tri melanjutkan, Polres Metro Jakarta Timur sudah menahan pelaku. Sementara tiga korban sudah divisum untuk menunjang bukti pelecehan seksual.
Akibat perbuatannya, F terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara sesuai dengan Pasal 76E juncto Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
”Sembari menunggu perkembangan penyidikan dari polisi, LBH APIK mendampingi anak-anak ini untuk mendapatkan keadilan. Kami juga melakukan penguatan kepada anak dan keluarga agar bisa beraktivitas seperti biasa lagi. Mereka tidak sendiri hingga berjalannya proses hukum ini,” tutur Tri.
Baca juga : Tujuh Anak Diduga Menjadi Korban Pelecehan Gurunya
Keretakan keluarga
Kasus kekerasan dan kejahatan seksual menjadi persoalan serius dalam rumah tangga di Indonesia. Situasi ini menunjukkan anak Indonesia sangat rentan untuk dieksploitasi. Ironisnya, ancaman eksploitasi terhadap anak sering kali dilakukan orangtua dan orang terdekat yang seharusnya jadi benteng perlindungan pertama.
Komisioner Bidang Trafficking dan Eksploitasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Ai Maryati Solihah, mengatakan, kasus kejahatan seksual yang dilakukan orangtua kepada anak atau inses selama tahun 2019 cukup tinggi. Kasus kejahatan itu tidak hanya dilakukan ayah kepada anaknya, tetapi juga dilakukan ibu kandung.
”Ini menjadi pemicu bagi kita semua untuk menguatkan dan mengoptimalkan sistem perlindungan anak di Indonesia dari level keluarga. Sebab, yang harus kita hadapi malah orang-orang terdekat yang semestinya memberikan perlindungan kepada anak-anak,” ucapnya.
Ini menjadi pemicu bagi kita semua untuk menguatkan dan mengoptimalkan sistem perlindungan anak di Indonesia dari level keluarga. Sebab, yang harus kita hadapi malah orang-orang terdekat yang semestinya memberikan perlindungan kepada anak-anak.
Menurut Maryati, penyebab anak rentan menjadi korban kejahatan seksual, terutama di keluarga, dipicu banyak faktor. Salah satunya adalah ketidaktahuan anak terhadap organ reproduksinya sehingga rawan menjadi korban pelecehan, kekerasan, hingga kejahatan seksual.
Ketidaktahuan itu terjadi karena pendidikan reproduksi di keluarga selama ini tidak berjalan. Hal ini menjadi pekerjaan rumah seluruh keluarga di Indonesia.
”Kalau anak memiliki pemahaman reproduksi yang baik, dia akan memproteksi diri dalam memperlakukan tubuhnya,” katanya.
Menurut Maryati, keretakan hubungan dalam keluarga juga berpengaruh signifikan terhadap anak karena salah satu hak dasar anak adalah hak pengasuhan. Ketika hak itu tak terpenuhi akibat keretakan hubungan antarorangtua, anak kehilangan figur ayah ataupun ibu.
”Ini satu rantai kekerasan, seperti inses itu dimulai dari keluarga yang tidak utuh. Meski tidak semua, siklus kekerasan dalam rumah tangga memperlihatkan adanya ketidakutuhan dalam rumah tangga itu,” ucapnya.
Meski Indonesia memiliki banyak peraturan perlindungan anak, kata Maryati, hal itu tak cukup untuk menyelesaikan persoalan kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak Indonesia. Hal yang diperlukan adalah membangun sistem dukungan komunitas (community support system).
”Sistem dukungan komunitas itu menyangkut undang-undang, orangtua, pemerintah, sekolah, dan masyarakat harus bergerak. Kemudian ekonomi, yakni penciptaan lapangan kerja, agar orangtua punya penghasilan,” ujarnya.
Sementara itu, Koordinator Pelayanan Hukum LBH APIK Uli Pangaribuan mengatakan, dalam penanganan kasus kekerasan seksual, anak-anak harus mendapatkan perlindungan langsung dari negara. Karena itu, aparat penegak hukum diharapkan segera memproses kasus-kasus itu agar tidak berlarut.
”Selain itu, jangan membebankan keluarga korban untuk mencari saksi dan alat bukti lagi karena keterangan korban sudah menjadi bukti kuat. Kami juga meminta agar keterangan anak dihargai dan diterima. Intinya, pelaku harus dihukum maksimal,” ucap Uli.
Baca juga : 15 Santri di Aceh Jadi Korban Pelecehan Seksual
Menurut psikolog dari Yayasan Pulih, Gisella Tani Pratiwi, kekerasan seksual terjadi karena ada ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Ketimpangan itu bisa terjadi karena aspek sosial, jender, ekonomi, dan usia.
Kedudukan korban dan pelaku tidak setara sehingga pelaku menyalahgunakan posisinya yang lebih kuat untuk menyerang dan menggunakan korban demi kepentingan pelaku,” kata Gisella (Kompas, 22 Oktober 2019).
Kekerasan seksual pada anak dapat membawa beragam dampak terhadap pola pikir, emosi, dan perilakunya. Kebanyakan anak merasa bingung, tidak aman, dan cemas.
”Banyak juga yang merasa dirinya tidak lagi berharga dan mungkin berkembang menjadi gangguan psikologis yang lebih serius, seperti gangguan stres pasca-trauma atau post traumatic syndrome disorder,” ujarnya.