Ekonomi Digital Perlebar Proporsi Tenaga Kerja Informal
Era ekonomi digital mengubah karakteristik ketenagakerjaan menjadi lebih informal dan minim proteksi. Pemerintah diharapkan menyiapkan skema jaminan sosial bagi tenaga kerja informal dan sesuai kebutuhan ekonomi digital.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Era ekonomi digital turut mengubah karakteristik ketenagakerjaan menjadi lebih informal yang lebih minim proteksi. Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan menyiapkan skema jaminan sosial bagi tenaga kerja informal dan sesuai dengan kebutuhan ekonomi digital.
Ekonomi digital memperluas peluang ketenagakerjaan, utamanya dari sektor jasa, seperti pemrograman, layanan pelanggan, hingga analisis data. Menurut Kepala Departemen Perekonomian Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri, melimpahnya tenaga kerja di bidang jasa membuat para pekerja tak lagi terkonsentrasi di kota besar. Akses ketenagakerjaan di daerah terpencil pun ikut terbuka yang memungkinkan sektornya menjadi kian informal.
"Tenaga kerja di bidang jasa ini dapat bekerja di daerah asalnya. Ini membuka akses ketenagakerjaan hingga ke rural area (daerah terpencil). Namun, hal ini dapat menyebabkan ketenagakerjaan Indonesia kian informal," tuturnya saat ditemui setelah sesi diskusi panel pada simposium internasional yang berjudul Asia\'s Trade and Economic Priorities 2020 yang diselenggarakan oleh Indonesian Bureau of Economic Research (IBER) dan Asian Bureau of Economic Research (ABER) di Jakarta, Selasa (29/10/2019).
Berdasarkan penggolongan Badan Pusat Statistik (BPS), pekerja informal terdiri dari kategori, berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas, dan pekerja tak dibayar. Adapun pekerja bebas didefinisikan sebagai seseorang yang bekerja pada orang lain/majikan/institusi yang tidak tetap (lebih dari satu majikan dalam sebulan terakhir) dengan menerima upah atau imbalan baik berupa uang maupun barang, baik dengan sistem pembayaran harian maupun borongan.
Tenaga kerja di sektor informal cenderung less-secured dan minim proteksi. Namun, peningkatan kesejahteraannya tergolong pesat
Berdasarkan data BPS, proporsi tenaga kerja informal Indonesia pada Februari 2019 berkisar 57,27 persen atau setara dengan 74,08 juta orang. Dibandingkan tahun sebelumnya, proporsinya 58,22 persen atau setara dengan 73,98 juta jiwa.
Kehadiran ekonomi digital juga meningkatkan pendapatan tenaga kerja di sektor informal. Misalnya, ekosistem transportasi dalam jaringan (daring) yang dibangun perusahaan teknologi dan bermitra dengan supir, pengendara motor, serta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di bidang kuliner.
Riset Center for Strategic and International Studies dan Tenggara Strategics menyebutkan, proyeksi kontribusi nilai tambah ekosistem Grab Indonesia terhadap perekonomian sektor informal pada 2018 sebesar Rp 48,89 triliun. Sementara itu, penelitian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia memproyeksikan, nilai tambah pendapatan mitra Go-Jek pada 2018 sebesar Rp 44,2 triliun
Oleh sebab itu, Yose berpendapat, pemerintah harus menyiapkan model jaminan sosial dan kesehatan ketenagakerjaan yang bersifat informal namun sesuai dengan kebutuhan ekosistem ekonomi digital. "Tenaga kerja di sektor informal cenderung less-secured dan minim proteksi. Namun, peningkatan kesejahteraannya tergolong pesat," katanya.
Salah satunya dengan membentuk model dan ragam pelatihan kemampuan bagi tenaga kerja. Yose mengatakan, pekerja di sektor informal rentan menganggur. Oleh sebab itu, mengikuti pelatihan yang difasilitasi pemerintah itu dapat mengompensasi masa pengangguran yang dialami tenaga kerja.
Secara umum, ekonomi digital turut membawa teknologi otomatisasi. Dalam sesi panel yang sama, Chief Economist ASEAN+3 Macroeconomic Research Office Singapura Hoe Khor berpendapat, pekerjaan manufaktur kian mengalami otomatisasi sehingga ragam pekerjaan untuk tenaga kerja semakin sedikit.
Khor menyatakan, ekonomi digital tak hanya membutuhkan infrastruktur fisik yang menghubungkan antarkawasan serta infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan aktivitas ekonomi. "Infrastruktur lunak, seperti pembangunan kapasitas dan kualitas kemampuan sumber daya manusia, juga dibutuhkan," katanya.
Chief Economist Nous Group Australia Jenny Gordon menyatakan, pemerintah Asia pada umumnya harus memperluas kumpulan bakat dan talenta di masing-masing negara dengan meningkatkan kemampuan sains, teknologi, rekayasa, dan matematikan (STEM) bagi angkatan kerja. Dengan demikian, angkatan kerja dapat berkembang di era digital yang saat ini tengah berkembang.