KUALA LUMPUR, MINGGU — Tekanan pada sektor minyak kelapa sawit Malaysia kian menguat setelah para pengusaha India diminta menghentikan pembelian di tengah pertikaian diplomatik Kuala Lumpur-New Delhi terkait Kashmir. Tekanan bertambah pada industri tersebut karena Uni Eropa juga merencanakan pengurangan pembelian.
Data menunjukkan Malaysia adalah produsen minyak terbesar kedua setelah Indonesia. Produk sawit digunakan dalam segala hal, mulai dari makanan hingga kosmetik, di sektor yang telah lama dikritik para pencinta lingkungan karena memicu deforestasi.
Dengan perusahaan-perusahaan Barat mengurangi penggunaan komoditas ketika kelompok-kelompok hijau meningkatkan tekanan, dua negara produsen teratas itu pun semakin bergantung pada dua negara, yakni India dan China. India sendiri adalah pembeli minyak nabati terbesar di dunia.
Adalah pidato Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad di Majelis Umum PBB bulan lalu yang memicu reaksi di India yang dapat berdampak buruk terhadap sektor ini. Dia mengatakan New Delhi telah "menyerbu dan menduduki" Kashmir.
Tidak dapat dipungkiri adanya simpati di sebagian besar rakyat Malaysia untuk Kashmir setelah Pemerintah India di New Delhi mencabut otonomi daerah yang kebetulan berpenduduk mayoritas Muslim itu pada Agustus lalu.
Kashmir telah menjadi subjek sengketa antara India dan Pakistan sejak 1947, dan telah memicu perang serta berbagai pertempuran kecil di antara kedua negara. Pemberontakan bersenjata melawan pemerintahan India telah berkecamuk di lembah itu sejak 1989.
Tekanan
Komentar Mahathir mendorong orang-orang India untuk menghindari produk-produk Malaysia. Para pengguna media sosial mengunggah pesan-pesan geram dengan tagar #BoycottMalaysia.
Desas-desus pun beredar terkait kemungkinan New Delhi akan menaikkan tarif minyak sawit Malaysia. Awal pekan ini, sebuah badan perdagangan minyak nabati utama India meminta 875 anggotanya untuk menghindari membeli minyak kelapa sawit dari Malaysia. Indikasi bahwa Pemerintah India sedang mempertimbangkan langkah-langkah pembalasan.
"Demi kepentingan Anda sendiri dan juga sebagai tanda solidaritas dengan negara kami, kami harus menghindari pembelian dari Malaysia untuk sementara waktu," kata Atul Chaturvedi, Presiden Solvent Extractors’ Association di India.
Ini merupakan pukulan telak bagi Malaysia, karena India adalah pasar minyak kelapa sawit dan produk minyak sawit terbesar ketiga di negara itu pada 2018, dengan nilai 6,84 miliar ringgit (1,63 miliar dollar AS). Teresa Kok, menteri yang mengawasi komoditas itu, pun berjuang untuk meredakan ketegangan. Ia menggambarkan langkah asosiasi itu sebagai "kemunduran besar" dan mengatakan Malaysia sedang mengkaji peningkatan impor gula dan daging kerbau dari India.
Perselisihan itu menjadi pukulan lebih lanjut ke sektor ini di Malaysia setelah Uni Eropa mengumumkan rencana untuk menghentikan penggunaan minyak kelapa sawit dalam bahan bakar nabati pada tahun 2030. Malaysia dan Indonesia telah berjanji untuk melawan langkah tersebut, dengan mengatakan hal itu dapat merusak mata pencaharian jutaan petani skala kecil.
Meskipun ada upaya oleh beberapa pejabat Malaysia untuk menenangkan pertengkaran, seruan terus meningkat di India agar pemerintah Perdana Menteri Narendra Modi mengekang impor minyak sawit. “Langkah seperti itu akan menandakan bahwa negara-negara memperoleh secara ekonomi dari India sementara mengkritik negara itu secara politis berarti tidak akan memiliki kebebasan lagi", kata Neelam Deo, Direktur Gateway House, sebuah think-tank yang berbasis di Mumbai.
Ketegangan juga meningkat antara India dan Turki setelah Presiden Recep Tayyip Erdogan mengatakan kepada Majelis Umum PBB bahwa Kashmir yang dikelola India "dikepung". Laporan sejak itu mengatakan bahwa Modi telah membatalkan kunjungan yang direncanakan ke Turki dan bahwa India dapat mengurangi pesanan 2,3 miliar dollar AS atas galangan kapal Turki.
Pembatasan impor
Kementerian Luar Negeri India membantah merencanakan kunjungan itu. New Delhi belum mengambil langkah-langkah formal apa pun terhadap Malaysia atau Turki, tetapi Bloomberg News melaporkan pekan lalu bahwa India mempertimbangkan untuk membatasi impor dari kedua negara.
Mahathir mengatakan kepada wartawan pekan lalu: "Kami berbicara…pikiran kami dan kami tidak menarik kembali atau mengubahnya. Kadang-kadang apa yang kita katakan disukai oleh sebagian orang dan tidak disukai oleh yang lain," tambah pria berusia 94 tahun yang terkenal vokal itu. Ia antara lain dikenal karena serangannya terhadap orang-orang Yahudi dan Barat selama bertugas pertama kali di kursi PM sejak 1981 hingga 2003.
Dan dengan meningkatnya kemarahan nasionalistis di India, pertikaian India-Malaysia dan juga India-Turki tampaknya tidak akan segera berakhir. "Ini bukan murni masalah minyak kelapa sawit," kata James Chin, seorang ahli Malaysia di University of Tasmania. "Itu terkait dengan ego dan nasionalisme." (AFP)