Suhu udara dan kelembaban tinggi menghambat peserta Electric Jakarta Marathon 2019 untuk memecahkan waktu tercepat pada lomba lari tahunan ini.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama lima tahun terakhir, rekor waktu tempuh tercepat dalam ajang lari Jakarta Marathon belum kunjung terpecahkan. Cuaca menjadi tantangan utama bagi para pelari sehingga tidak mampu mengeluarkan potensi maksimal.
Sebanyak 16.500 pelari berpartisipasi dalam Electric Jakarta Marathon 2019 dengan start dan finis di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (27/10/2019). Di antara mereka, sebanyak 1.421 peserta adalah warga negara asing, termasuk dari Kenya, Malaysia, India, Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Italia, Korea Selatan, dan Jepang.
Seperti tahun lalu, gelar juara maraton dimenangi pelari-pelari asal Kenya. Geoffrey Kiprotich Birgen menjadi yang tercepat dalam kategori putra dengan waktu 2 jam 14 menit 23 detik. Peninah Jepkoech Kigen meraih gelar juara pertama untuk kategori putri dengan catatan waktu 2 jam 40 menit 46 detik.
Pada kategori nasional, pelari putra pelatnas Hamdan Syafril Sayuti menjadi yang tercepat dengan waktu 2 jam 38 menit 46 detik. Pelari putri senior Oliva Sadi memenangi kategori putri dengan waktu 3 jam 7 menit dan 40 detik.
Meskipun waktu tempuh membaik, para juara belum mampu mengalahkan rekor terbaik dalam catatan Jakarta Marathon. Pada 2014, Julius Seurei menjadi yang tercepat untuk kategori putra dengan waktu 2 jam 13 menit 42 detik. Saat yang sama, Nyansikera Winfridah memenangi kategori putri dengan waktu 2 jam 20 menit 23 detik.
Meskipun waktu tempuh membaik, para juara belum mampu mengalahkan rekor terbaik dalam catatan Jakarta Marathon.
”Tantangan di lapangan tentu cuaca panas, jadi saya mengantisipasinya dengan selalu minum. Selain itu, kendaraan juga lewat di samping pelari sehingga polusi pastinya cukup mengganggu, tetapi untung para marshall cukup sigap,” kata Oliva (37), yang berasal dari Nusa Tenggara Timur.
Pada pukul 04.30, ketika Electric Jakarta Marathon 2019 dimulai, misalnya, suhu udara tercatat 26 derajat celsius dan tingkat kelembaban 87 persen. Kelembaban yang tinggi membuat suhu udara terasa lebih panas.
Sejumlah pelari akhirnya tumbang di tenda medis akibat kepanasan dan dehidrasi. Salah satunya adalah peserta maraton 10K dari Indonesia, Bestleader Nababan (27).
”Saya bersama pelari pemula lainnya sebenarnya telah berlatih 10 pekan terakhir. Namun, saya tidak minum lagi di Km 8 untuk mengejar target waktu tempuh. Akhirnya, saya tiba-tiba merasa gerah terus hampir jatuh,” kata Bestleader, yang akhirnya tetap finis.
Chairman Jakarta Marathon Sapta Nirwandar menyepakati, selama beberapa tahun terakhir, performa waktu tempuh pelari turun. Selain kelembaban cuaca yang tinggi, faktor penyebab lainnya ialah jalur pelari yang kerap diserobot pengendara dan rendahnya hadiah.
Perbaikan
CEO Inspiro Ndang Mawardi selaku penyelenggara mengatakan akan melakukan evaluasi mengenai catatan waktu tempuh para pelari. ”Saya pikir tahun depan perlu memberlakukan sistem insentif. Pemenang tetap memperoleh hadiah. Namun, kalau catatan waktu kurang dari 2 jam 10 menit, hadiahnya akan dilipatgandakan,” tuturnya.
Menurut dia, sistem tersebut telah sukses diterapkan dalam beberapa pergelaran maraton dunia. Pelari akhirnya lebih terpacu untuk memperoleh hadiah yang lebih besar, sedangkan penyelenggara akan diuntungkan karena memiliki catatan waktu yang lebih baik.
Ndang melanjutkan, selain itu, kesuksesan penyelenggaraan Jakarta Marathon juga tergantung dari kesadaran warga Jakarta untuk mengurangi penggunaan energi fosil yang memengaruhi kualitas udara. Padahal, acara olahraga internasional seperti ini dapat mendorong pendapatan asli daerah untuk Jakarta.
Sapta menambahkan, Jakarta Marathon terus berbenah diri untuk meraih predikat perak dari Asosiasi Federasi Atletik Internasional (IAAF) pada tahun ini. Persiapan kali ini lebih matang, dilihat dari sisi infrastruktur, transportasi, fasilitas sanitasi, fasilitas medis, sponsor makanan dan minuman, serta kelengkapan fasilitas lainnya.
Kesuksesan penyelenggaraan Jakarta Marathon juga tergantung dari kesadaran warga Jakarta untuk mengurangi penggunaan energi fosil yang memengaruhi kualitas udara.
”Sesuai masukan pelari tahun lalu, kami memperbaiki sterilisasi jalan. Kami juga memperbaiki hal teknis lainnya, seperti sistem penjurian,” kata Sapta.
Sejumlah peserta dari Kenya sempat mempermasalahkan uang hadiah yang tidak langsung cair. ”(Peraturan) tahun ini berbeda karena pada acara tahun lalu kami telah diberi tahu mengenai hadiahnya terlebih dulu,” ujar Peninah.
Jakarta Marathon merupakan perlombaan lari yang digelar pada pekan terakhir Oktober setiap tahun sejak 2013. Ada lima kategori yang dilombakan pada kegiatan ini, yakni maraton (42,195 kilometer), separuh maraton (21 km), 10 km, 5 km, dan 1 km untuk anak-anak usia 5-10 tahun.