Chappy, Freeport, dan Kritik Iklim Investasi Indonesia
Indonesia belum sepenuhnya menjadi negara ramah investasi. Negara yang tidak bisa menjamin kepastian hukum akan ditinggalkan investor. Hal itu akan menurunkan gairah berinvestasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kepastian hukum mutlak diperlukan bila pemerintah ingin mengundang investor ke Indonesia. Negara yang tidak bisa menjamin kepastian hukum akan ditinggalkan investor dan menurunkan gairah masyarakat berinvestasi, sehingga akan berdampak pada kegiatan dan pertumbuhan perekonomian.
Indonesia belum sepenuhnya menjadi negara ramah investasi. Indikasi itu tercermin dari tiada satu pun perusahaan asal China yang terdampak perang dagang Amerika Serikat (AS)-China memilih Indonesia sebagai lokasi ekspansi.
Hal itu mengemuka dalam peluncuran buku Freeport Catatan Pribadi Chappy Hakim karya Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Purnawirawan Chappy Hakim, di Jakarta, Senin (28/10/2019).
Hadir sebagai pembahas dalam peluncuran buku itu mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun, Redaktur Senior Harian Kompas Ninok Leksono, dan pendiri Museum Rekor Indonesia Jaya Suprana.
Menurut Chappy, tidak terpilihnya Indonesia sebagai lokasi ekspansi perusahaan-perusahaan China yang terdampak perang dagang AS-China menunjukkan masih ada persoalan dalam iklim investasi di Indonesia. Hal itu sempat disinggung Presiden Joko Widodo pada awal September 2019.
Kala itu, Presiden gusar karena Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara Asia Tenggara dalam hal menarik investasi. Dari 33 perusahaan asal China yang hendak berekspansi ke Asia Tenggara, 23 perusahaan memilih Vietnam, sedangkan 10 perusahaan lainnya memilih berinvestasi ke Thailand, Malaysia, dan Kamboja.
“Tampilan kita belum ramah investor. Inilah sebenarnya yang merangsang saya menuangkannya dalam sebuah buku. Mungkin pengalaman, data, dan fakta yang saya peroleh bisa memberikan pelajaran bagaimana kita bisa mengemas diri sendiri agar negeri ini bisa ramah investor,” kata Chappy yang pernah menjabat mantan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PTFI) periode 2016-2017.
Chappy mengemukakan, perencanaan hingga realisasi investasi butuh kepastian. Aktivitas rutin, mulai pembelian bahan baku, proses produksi, penggarapan pasar, pembayaran kewajiban, dan lainnya akan terganggu jika situasi tidak menentu.
"Oleh sebab itu, kepastian hukum sangat dibutuhkan bila pemerintah berniat mengundang lebih banyak perusahaan luar negeri berinvestasi," tegas Chappy.
Perencanaan hingga realisasi investasi butuh kepastian. Aktivitas rutin, mulai pembelian bahan baku, proses produksi, penggarapan pasar, pembayaran kewajiban, dan lainnya akan terganggu jika situasi tidak menentu.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, total realisasi penanaman modal pada semester I-2019 sebesar Rp 395,6 triliun. Investasi itu terdiri dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) Rp 182,8 triliun dan penanaman modal asing Rp 212,8 triliun.
Realisasi investasi tersebut menyumbang 49,94 persen terhadap target tahun ini, yaitu sebesar Rp 792 triliun. Bagi Gayus, tanpa ada kepastian hukum dalam berusaha, sulit bagi pemerintah menggapai target tersebut.
Dalam kesempatan itu, Gayus menyatakan, pelajaran penting dari kasus PTFI yang tergambar dalam buku karangan Chappy adalah sebagai bangsa besar, Indonesia harus bisa menjaga kepastian hukum dalam setiap kegiatan apapun. Hal itu termasuk dan terutama dalam bidang investasi.
"Negara yang tak bisa menjamin kepastian hukum akan ditinggalkan investor. Kondisi itu menurunkan gairah masyarakat untuk berinvestasi dan pada akhirnya akan berdampak pada pnurunan kegiatan perekonomian," kata Gayus.
Lingkungan hidup
Adapun Ninok Leksono menerangkan, saat pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru, izin penambangan diberikan ke PTFI karena Indonesia membutuhkan pengolahan sumber daya alam (SDA) untuk menyokong pembangunan. Namun, Indonesia tidak memiliki dana dan teknologi untuk mengolah dan mengelola SDA yang dimiliki.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia di bawah rezim Soeharto memberikan kesempatan kepada investor dan industri asing untuk mengelola kekayaan alam Indonesia.
“Pelajaran yang bisa dipetik adalah bagaimana memperbaiki iklim investasi tapi kita juga bisa mengelola SDA milik kita. Kalau orang Indonesia yang mengelola pasti tak akan sembrono dalam mengelola dan lebih memikirkan aspek lingkungannya,” ujar Ninok.
Selama menjadi Presiden Direktur PTFI, Chappy merasa PTFI menjadi musuh publik nomor satu. Hal itu karena banyak opini atau persepsi negatif akan kerusakan lingungan yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan PTFI. Selain itu, kata dia, ada anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa PTFI banyak merugikan pemerintah Indonesia.
Namun, bagi Chappy, kenyataannya tidak seperti itu. Dia memandang investasi yang dilakukan PTFI cukup adil dan tidak merugikan Indonesia.
Chappy menambahkan, investasi adalah persoalan bagi hasil. Salah satu parameter utama yang mudah dilihat apakah investasi PTFI menguntungkan atau tidak bagi Indonesia adalah dari besaran penerimaan negara.
Mengacu pada data perusahaan, Freeport terakhir kali menyetor dividen kepada pemerintah pada 2017 sebesar 135 juta dollar AS. Ketika itu kepemilikan saham pemerintah 9,36 persen. Per Desember 2018, saham pemerintah dialihkan ke PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum sekaligus mengakuisisi saham Freeport hingga menjadi 51,23 persen.
Periode 2012-2016 Freeport tidak menyetor dividen karena tengah berinvestasi besar untuk tambang bawah tanah. Akumulasi dividen yang disetorkan kepada pemerintah sejak 1992 sampai dengan 2010 mencapai 1,085 miliar dollar AS (Kompas 13/3/2019).