Kemenkes Akan Memperkuat Fungsi Preventif dan Promotif melalui Akreditasi Puskesmas
Menkes mendorong agar puskesmas bisa lebih kreatif melakukan pendekatan ke masyarakat dalam menyampaikan informasi kesehatan. Porsi promotif dan preventif harus lebih besar untuk mendorong masyarakat bergaya hidup.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fungsi pusat kesehatan masyarakat dalam menjalankan kegiatan promotif dan preventif semakin melemah di tengah era Jaminan Kesehatan Nasional. Jika orientasi pelayanan lebih bersifat kuratif, pengentasan masalah kesehatan di masyarakat, termasuk tengkes atau stunting sulit dicapai. Untuk itu, fungsi puskesmas dalam upaya pencegahan penyakit akan diperkuat dengan akreditasi.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan, orientasi pelayanan kesehatan di puskesmas harus diubah dari pelayanan kuratif dan rehabilitatif menjadi promotif dan preventif. Perbaikan sistem layanan kesehatan ini mendesak dilakukan agar target penurunan angka kematian ibu (AKI), angka kematian bayi (AKB), dan tengkes bisa segera terwujud.
”Konsentrasi puskesmas bukan lagi berorientasi ke pelayanan kuratif dan rehabilitatif seperti yang selama ini berjalan, melainkan kembali ke fitrahnya pada pelayanan promotif dan preventif. Kuncinya bisa dengan membuat suatu program dengan menjadikan upaya promotif dan preventif sebagai acuan dalam akreditasi puskesmas,” katanya yang ditemui saat berkunjung ke kantor Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di Jakarta, Senin (28/10/2019).
Ia pun mendorong agar setiap puskesmas bisa lebih kreatif melakukan pendekatan ke masyarakat dalam menyampaikan informasi kesehatan. Porsi promotif dan preventif harus lebih besar untuk mendorong masyarakat bergaya hidup sehat.
Kolaborasi
Terawan mengatakan, sesuai dengan prioritas Presiden untuk mengentaskan masalah tengkes di Indonesia, Kementerian Kesehatan terus mendorong kolaborasi dengan berbagai sektor terkait, salah satunya BKKBN. Upaya kolaborasi ini dilakukan agar tidak terjadi tumpang-tindih program serta anggaran antar-kementerian dan lembaga.
Tim khusus juga akan dibentuk supaya program di setiap kementerian dan lembaga bisa tersinkronisasi dengan baik. ”Konektivitas antar-kementerian dan lembaga bertujuan agar tidak terjadi tumpang-tindih anggaran. Dengan dana yang ada bisa dioptimalisasikan bersama sehingga angka tengkes bisa mencapai target WHO, yakni 20 persen, bahkan bisa lebih rendah dari itu,” ucapnya.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan mencatat, prevalensi tengkes tahun 2019 sebesar 27,67 persen atau turun 3,1 persen dibandingkan dengan tahun 2018. Jumlah ini terus menurun dari sebelumnya 37,2 persen pada 2013.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan, dukungan yang dilakukan untuk menekan angka tengkes, kematian ibu, dan kematian bayi salah satunya dengan program penundaan usia perkawinan sampai usia 20 tahun. Selain itu, BKKBN juga terus mendorong jarak antar-kelahiran minimal 3 tahun.
Upaya lainnya adalah dengan menekan kehamilan yang tidak dikehendaki. Menurut dia, usia perkawinan yang terlalu muda, kelahiran yang tidak berjarak, dan kehamilan yang tidak dikehendaki bisa berujung pada kelahiran anak dengan tengkes.
”Kami juga mendorong intervensi dari hulu sampai hilir. Dari hulu, intervensi tidak hanya pada keluarga dengan anak baduta (bawah 2 tahun), tetapi dari generasi berencana. Melalui generasi berencana, pasangan muda-mudi sudah diajari untuk memiliki keluarga berencana. Artinya keluarga yang dibentuk adalah keluarga berencana, keluarga by design bukan by accident,” tuturnya.