Jika Intoleransi Bisa Diajarkan, Toleransi Jauh Lebih Bisa Diajarkan
Segala jenis perbedaan tidak boleh dijadikan pemicu konflik, apalagi konflik berbasis agama. Sebaliknya, keyakinan hendaknya menjadi kekuatan penebar damai.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Seminar bedah buku berjudul Kata Bersama Antara Muslim dan Kristen di Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, Senin (28/10/2019).
Segala jenis perbedaan tidak boleh dijadikan pemicu konflik, apalagi konflik berbasis agama. Sebaliknya, keyakinan hendaknya menjadi kekuatan penebar damai. Salah satu caranya, menjalin dialog antarumat beragama guna menemukan kesamaan paham di tengah perbedaan yang ada.
Bukankah setiap agama mengajarkan saling menyayangi dan mengasihi sesama? Hal itu di antaranya dibahas dalam diskusi buku Kata Bersama Antara Muslim dan Kristen yang digelar di Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, Senin (28/10/2019). Buku tersebut diluncurkan pada Agustus 2019 oleh UGM Press. Buku itu merupakan edisi bahasa Indonesia yang diperluas dari buku aslinya yang berjudul Muslim and Christian Understanding, Theory and Application of ”A Common Word” (2010) yang disunting David K Linnan dan Waleed El-Ansary.
Secara garis besar, ditulis dalam buku itu, Islam dan Kristen sebenarnya memiliki kesamaan pandangan tentang cinta kasih yang ditujukan kepada Tuhan dan sesama manusia. Cinta kasih dianggap sebagai hal mendasar dalam menjalankan kehidupan beragama.
Kesadaran untuk mau membuka pikiran terhadap perbedaan dan terus mencari referensi yang berbeda di lingkaran sosial setiap individu menjadi sangat penting.
Soal kesamaan pandang itulah yang menurut Najib Azca, Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada (UGM), perlu semakin dicari para tokoh agama. Langkah itu diyakini lebih berkontribusi dalam upaya perdamaian di tengah hidup bersama di tengah dilanda krisis belakangan ini. Masyarakat mudah terpantik emosinya dengan isu-isu berbasis agama.
”Bijaksana bagi kedua pemeluk agama tersebut untuk mencari titik temu daripada titik seteru. Itu guna memberikan kontribusi bagi manusia dan kemanusiaan yang belakangan mengalami krisis dan degradasi,” kata Najib.
Sudah seharusnya agama dikembalikan fungsinya sebagai penebar damai. Jangan malah menjadi peruncing konflik di tengah masyarakat. Sebab, sejatinya nilai-nilai tentang kasih dan damai itu yang termuat dalam ajaran agama. Gagasan itu tertuang dengan baik dalam buku tersebut.
Staf Khusus Presiden tentang Isu Keagamaan Internasional Siti Ruhaini Dzuhayatin mengingatkan, semua orang adalah duta perdamaian dan toleransi. Upaya mencari titik temu di tengah perbedaan itu sepatutnya tidak hanya dilakukan tokoh-tokoh agama. Toleransi harus disebarluaskan aktif oleh setiap orang agar efeknya bisa terasa kian besar.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Staf Khusus Presiden tentang Isu Keagamaan Internasional Siti Ruhaini Dzuhayatin dalam bedah buku Kata Bersama Antara Muslim dan Kristen di Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, Senin (28/10/2019).
”Kita semua adalah agen dari ’kata bersama’. Kita semua menjadi duta untuk menyebarkan toleransi. Siapa pun kita itu. Intinya, membangun toleransi secara aktif. Kalau intoleransi bisa diajarkan, toleransi pun bisa kita ajarkan,” tutur Siti.
Hargai perbedaan
Terkait dengan hal itu, Rektor Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Henry Feriadi mengungkapkan, dialog antarumat beragama perlu terus dijalin. Langkah tersebut akan memungkinkan hubungan yang terbuka di antara pemeluk agama yang berbeda-beda.
Ia yakin, semangat saling menghargai perbedaan itu masih hidup di tengah masyarakat Indonesia. Masih ada ruang untuk mengembalikan rasa satu keluarga.
”Yang kita tekankan, dialog atau spirit untuk saling mengerti dan saling mencari titik temu. Itu sudah ada di DNA, kita semua sebagai warga Nusantara,” ucap Henry.
Namun, Najib menyatakan, tantangan untuk menerima berbagai perbedaan itu juga kian besar. Era teknologi informasi memang memudahkan akses informasi. Di sisi lain, algoritma yang ada justru menyuguhkan informasi yang hanya disukai individu masing-masing.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM Najib Azca saat menyampaikan pendapatnya dalam bedah buku berjudul Kata Bersama Antara Muslim dan Kristen di Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, Senin (28/10/2019).
Fenomena yang disebut eco chambers ini menyebabkan masyarakat terbelah ke dalam dua kutub yang berbeda. Kesadaran untuk mau membuka pikiran terhadap perbedaan dan terus mencari referensi yang berbeda di lingkaran sosial setiap individu menjadi sangat penting.
Sementara itu, anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Daerah Istimewa Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, mengatakan, konsep kerukunan antarumat beragama kerap kali disampaikan dengan bahasa yang terlalu akademis. Jika terus begitu, konsep tersebut akan sulit diterima masyarakat hingga akar rumput. Itu menjadi langkah selanjutnya yang harus dipikirkan.
Hemas menambahkan, rasa kebangsaan menjadi sangat penting dan harus ditanamkan kepada anak-anak sejak kanak-kanak. Hal itu untuk menjauhkan anak-anak dari paparan berbagai pemikiran yang berusaha merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
Benar apa yang dikatakan Siti Ruhaini bahwa jika intoleransi bisa diajarkan, toleransi pun bisa diajarkan, bahkan jauh lebih bisa. Sebab, manusia ada karena buah cinta dan kasih antarsesama. Mari ajarkan dan sebarkan terus toleransi.