Impian menggapai kehidupan yang lebih baik, kandas dengan kondisi yang tragis. Sebagian keluarga di Vietnam sedang menunggu kepastian tentang anggota keluarganya. Mereka tertipu di jalur "mahal" yang dijanjikan aman.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
Para calon imigran gelap dari Vietnam dihadapkan pada dua pilihan ketika ingin pergi ke negara-negara Eropa. Pilihan itu bisa menggunakan rute ”rumput” atau rute ”VIP”. Keduanya semata-mata untuk memulai kehidupan yang lebih baik.
Nguyen Dinh Luong (20) warga Can Loc, Ha Tinh, Vietnam, memilih rute VIP sehingga dengan membayar sekitar 14.000 dollar Amerika Serikat (AS) dibandingkan dengan rute rumput seharga 3.800 dollar AS. Rute ini dilalui dengan melintasi Perancis sebelum masuk ke Inggris.
”Jika mengambil rute VIP, kemungkinan 1 persen mereka ditangkap. Ini rute teraman dan termahal. Jika mengambil rute rumput, saya yakin 100 persen mereka mati. Kendaraan dalam insiden itu menggunakan rute rumput,” kata ayah Nguyen Dinh Luong yang bernama Nguyen Dinh Gia.
Dia mencurigai Luong ikut tewas dalam sebuah truk peti kemas bersama 38 orang lainnya di London, Inggris, pekan lalu. Pihak otoritas menduga, sebagian besar korban merupakan warga negara Vietnam. Dugaan Gia muncul setelah Kepolisian Essex menemukan 39 jenazah, terdiri dari 31 laki-laki dan 8 perempuan, di dalam sebuah truk di kawasan industri Grays, Essex, sekitar 30 km dari London, Rabu (23/10/2019). Mereka semua diduga menjadi korban dari perdagangan manusia.
Di Vietnam, penyelundup manusia menawarkan berbagai tingkat layanan dengan harga yang sangat berbeda. Opsi termurah adalah menggunakan rute ”rumput”, sebuah istilah populer di Vietnam untuk mendeskripsikan sesuatu yang sangat murah.
”Untuk rute rumput, mereka sering pergi dari Vietnam melalui China dan kemudian menyeberang ke Rusia. Mereka biasanya mengendarai mobil. Dari Rusia, mereka pergi ke negara tetangga, seperti Ukraina atau Latvia, dengan berjalan kaki melintasi hutan dan gunung pada malam hari,” ujar Mimi Vu, advokat anti-perdagangan manusia Pacific Links Foundation.
Vu melanjutkan, sebaliknya, rute VIP biasanya melibatkan penggunaan paspor palsu atau daur ulang untuk terbang dari Vietnam ke Eropa melalui negara ketiga. Proses ini dapat selesai dalam beberapa hari, meskipun membutuhkan ongkos yang tinggi.
Dalam kasus Luong, orangtuanya bingung karena ia menggunakan rute rumput. Hal ini memunculkan dugaan, sebenarnya tidak ada rute VIP untuk menyeberang Eropa menuju Inggris. Semua imigran gelap Vietnam yang tiba di Eropa harus menumpang truk peti kemas untuk melintasi Selat Inggris. ”Orangtua membayar layanan VIP karena berpikir itu akan lebih aman. Tetapi, yang mereka tidak sadari adalah bahwa anak-anak mereka akan berakhir di truk peti kemas yang sama dengan orang lainnya yang membayar untuk perjalanan murah,” kata Vu.
Perjalanan yang dilakukan para imigran Vietnam sering kali terdiri atas beberapa tahapan. Penyelundup biasanya meminta uang tunai dari keluarga sebelum para imigran dapat melanjutkan perjalanan. Menurut Gia, Luong telah berada di Rusia pada Oktober 2017 menggunakan rute rumput. Luong kemudian tinggal di Ukraina bersama imigran gelap lainnya selama enam bulan. ”Luong bilang ingin ke Inggris karena lebih menyenangkan dan ada komunitas di sana,” tuturnya.
Luong tiba di Jerman pada April 2018, yang menjadi proses awal pemindahan imigran Vietnam di Eropa. Jantung komunitas Vietnam di Jerman adalah Dong Xuan Center, bagian timur Berlin di mana pihak kepolisian Berlin telah menemukan pusat penyelundupan manusia di tempat tersebut.
”Ketika Luong melakukan perjalanan dari Jerman ke Perancis, saya diminta membayar 18.000 dollar AS untuk perjalanan yang telah ditempuh selama ini. Ketika Luong menelepon dan menyatakan ia telah tiba dengan selamat, itu menjadi sinyal bagi kami untuk menyiapkan uang. Seorang laki-laki berusia sekitar 30 tahun muncul dan mengambil uang itu,” tutur Gia. Luong tinggal hampir selama 18 bulan di Perancis. Ia bekerja di sebuah restoran secara ilegal.
Bui Thac merupakan warga Vietnam lainnya yang menduga keponakannya, Bui Phan Thang, menjadi salah satu korban meninggal di Essex. Para penagih utang tersebut, ujarnya, sering menyembunyikan wajah mereka ketika datang mengambil uang tunai dari keluarga. ”Terkadang mereka meminta untuk bertemu di dekat halte bus untuk menerima uang. Mereka memiliki rantai transfer uang sendiri yang tidak menyentuh bank,” kata Thac.
Gia menyatakan, ia menerima telepon pada Kamis (24/10/2019), malam dari luar negeri. Orang itu mengakui mengetahui langsung mengenai insiden di Essex. ”Saya harap Anda mengerti. Kendaraan itu terlibat dalam suatu kecelakaan. Semua orang mati,” ujar Gia, menirukan ucapan orang tersebut.
Kepolisian Vietnam telah mengambil sampel rambut dan darah dari sejumlah warga yang diduga adalah keluarga dari 39 jenazah yang di Essex, Minggu (27/10/2019). Identitas mereka sulit ditelusuri karena jenazah tidak membawa dokumen identitas. ”Polisi dari Kementerian Keamanan Publik datang untuk mengambil sampel DNA, rambut, dan darah kami. Saya menasihatinya untuk tidak pergi karena meskipun keluarga kami tidak punya apa-apa, kami membesarkan anak-anak kami dengan baik,” kata Gia.
Pemerintah Vietnam tidak segera mengeluarkan pernyataan untuk menanggapi insiden itu. Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Phuc telah menyerukan penyelidikan atas kasus ini. Sementara Kepolisian Inggris telah menahan Maurice Robinson (25) atas tuduhan pembunuhan dan konspirasi perdagangan manusia. Robinson merupakan sopir dari truk peti kemas yang membawa 39 jenazah tersebut. Polisi juga sempat menahan tiga orang lainnya yang diduga terlibat, tetapi telah dilepaskan dengan jaminan. (Reuters)