Peleburan Tubuh Rianto
Secara teologis tubuh manusia adalah ardhanareswari, sebuah kesadaran spiritual yang melebur sifat lelaki dan perempuan. Seorang bayi tidak pernah berpikir tentang realitas dirinya sebagai lelaki atau perempuan. Dalam setiap karyanya, Rianto ingin menjelajah sampai ke batas paling sempurna dari peleburan tubuh itu.
Kami bertemu beberapa bulan lalu di Solo, Jawa Tengah. Rianto bilang pada akhir Mei 2019 akan kembali ke Tokyo, di mana selama ini ia bermukim. Sebagai penari, wajahnya terlalu dingin siang itu. ”Orang kita terlalu mudah menghakimi,” katanya tiba-tiba.
Saya mengerti, pada bulan-bulan itu, film besutan sutradara Garin Nugroho, Kucumbu Tubuh Indahku, oleh sebagian orang sedang dipersoalkan lantaran dianggap mengangkat tema LGBT yang ”ditabukan”. Belakangan, Komite Oscar 2020 Indonesia memilih film ini untuk mewakili Indonesia dalam kompetisi Best International Feature Film Award pada ajang Academy Awards 2020 di Amerika Serikat.
Di balik wajahnya yang dingin, Rianto sedang gundah. Film yang diangkat dari sebagian kisah hidupnya sebagai anak bangsa itu justru menuai kontroversi tanpa dasar. ”Kita sangat miskin dengan persiapan, tetapi langsung menghakimi,” katanya lagi.
Kelatahan, lanjutnya, selama ini telah menghambat bangsa Indonesia mencapai kemajuan berpikir. Berbeda sekali dengan orang-orang Jepang, misalnya. Istrinya, Miray Kawashima, mempersiapkan diri selama setahun untuk belajar bahasa dan budaya Indonesia sebelum akhirnya benar-benar datang ke Indonesia.
”Dia tak akan ngomong tentang Indonesia kalau belum benar-benar belajar,” kata Rianto.
Penari kelahiran Desa Kaliori, Kecamatan Kalibagor, Kabupaten Banyumas, ini bertemu Miray di Solo. Miray merasa kagum ketika menyaksikan Rianto memainkan tari lengger Banyumas. ”Dia bilang, ’Kamu cantik sekali, kenapa bisa, padahal kamu laki-laki?’” kata Rianto.
Sejak itu, Miray selalu ikut ke mana pun Rianto pentas menari. ”Mungkin itu trik dia supaya selalu dekat dengan saya, ha-ha-ha,” ujar Rianto berderai-derai. Jelas ia mulai rileks.
Sesekali kopi di depannya ia teguk dalam-dalam. Sebenarnya Rianto menawarkan semangkuk mi, tetapi saya telanjur makan siang di tempat berbeda.
Bukan persilangan
Pada koreografi berjudul Medium yang telah dipentaskan di banyak negara, Rianto menolak istilah cross gender. Istilah itu berarti persilangan setelah muncul kesadaran tentang jender, bahwa ada lelaki dan perempuan. Medium benar-benar berangkat dari kultur lengger banyumasan yang telah berusia ribuan tahun.
Rianto menemukan, peleburan paling sempurna bagi seorang lengger terdapat pada tubuh Mbah Dariah (alm). ”Mbah Dariah sudah tidak butuh apa-apa lagi. Ia benar-benar mengabdikan tubuhnya pada seni lengger,” kata Rianto.
Kenyataan yang hampir sama ia temukan pada tubuh para bissu di Sulawesi Selatan. Oleh sebab itu, pada karya terbarunya, Hijra, Rianto merasa perlu untuk melakukan riset dan menyelami kehidupan para bissu. Menurut dia, pada tubuh Mbah Dariah dan para bissu terdapat peleburan yang subtil antara ”gen” lelaki dan ”gen” perempuan.
”Dan ini melintasi batas-batas tubuh sebagai wadag. Sangat ilahiah,” katanya. Pada istilah cross gender, orang selalu menstigma dengan merujuk pada apa yang disebut sebagai ”banci”.
Lengger Banyumas sama sekali tidak identik dengan banci. Komunitas seperti Lengger Lanang Langgeng Sari, yang didirikan Rianto di Banyumas, beranggotakan para penjahit, make-up artist, pelajar, presenter, dan kepala rumah tangga. ”Ini semua berjalan baik selama tidak dipersoalkan dari perspektif agama,” kata lelaki kelahiran tahun 1981 ini.
Sebagai penari dan koreografer, Rianto merasa tubuhnya memiliki trauma yang telah ditimbun bertahun-tahun. Semasa kecil ia suka menggoyang-goyangkan tubuhnya saat mendengar suara musik dari radio. Secara serta-merta kemudian orang-orang di sekitar menjulukinya sebagai ”Anto Banci”.
Ia tidak menyerah. Ketika lulus SMP dengan nilai bagus, ia bertekad belajar menari di SMK Sendang Mas (kini SMK Negeri 3 Banyumas). Sebagai seniman yang kini dikenal publik internasional, Rianto tak pernah melupakan jasa Pak Tulus, Camat Kalibagor.
”Pak Tulus jadi orangtua asuh saya saat belajar di SMK. Ia beri uang SPP Rp 15.000 tiap bulan. Tanpa beliau, saya tak bisa sekolah sampai ISI mungkin,” ujar Rianto.
Sebagai anak tukang becak, hidup Rianto dan lima saudaranya di desa sangat melarat. Rumahnya, sebagaimana digambarkan dalam film Kucumbu Tubuh Indahku, berdinding gedek yang bolong-bolong dan berlantai tanah. ”Pernah di saat tidur tubuh saya dilangkahi ular weling (hitam putih),” tutur anak keempat dari enam bersaudara ini.
Jalur tari sudah menjadi jalan hidup Rianto. Di Tokyo, ia membangun komunitas Dewandaru Dance Company, yang ia kelola bersama istrinya. Komunitas ini, katanya, tempat belajar tari Jawa, yang diharapkan mengintervensi hidup orang Jepang yang monoton dan hitam putih.
Selain itu, Rianto terus berkeliling ke banyak negara untuk menyebarkan filosofi hidup lewat tari. ”Hidup itu tak harus terus cepat, pelambatan terkadang diperlukan, dan itu ada dalam tari Jawa,” ucapnya.
Tubuh itu, tuturnya, ibarat perpustakaan, yang bisa kita buka dan pelajari terus-menerus. Tubuh yang traumatik seperti dirinya membutuhkan penggalian lewat sejarah yang telah tertimbun ribuan tahun.
Oleh sebab itu, seluruh koreografi yang telah ia ciptakan hampir selalu berangkat dari keping-keping sejarah tarian lengger banyumasan. ”Tari itu yang memilih saya, bukan tubuh yang memilih tari,” katanya.
Sewaktu bayi berusia tiga minggu, Rianto dibawa orangtuanya kepada seorang penari lengger untuk menghilangkan tanda biru di keningnya. Waktu itu, lengger lanang itu membacakan doa-doa di telinga bayi Rianto. Jadi, sampai kini, Rianto yakin benar bahwa roh lengger telah merasuk lama dalam dirinya. ”Itulah perpustakaan yang selalu saya buka setiap kali menari,” katanya.
Kami berpisah saat senja hampir tiba. Beberapa bulan kemudian, Rianto berkabar, ia sedang di Jepang seusai melakukan perjalanan ke Makassar dan beberapa kota lain di Indonesia. Kini, ia bersiap membawa Hijra keliling dunia….
Rianto
Lahir: Desa Kaliori, Kecamatan Kalibagor, Banyumas, Jawa Tengah, tahun 1981
Pendidikan: Jurusan Tari SMK Sendang Mas Banyumas, ISI Surakarta
Karya:
- Debut Indonesia Dance Festival (IDF) tahun 2008
- ”Rousoku” (2007), grant dari HIVOS untuk World Dance Alience Asia Pasific, Singapura
- ”Pintu Amaterasu” (2007-2010), Taman Budaya Solo, Kaosiung (Taiwan), dan Kuala Lumpur
- ”Yakuzaa Moon” (2009), program residensi Nothel Theatre Company, Korea Selatan
- ”Hallucination” (2010-2011), Tokyo Performing Art Market
- ”Shadowing the Body” (2010-2012), program Male Matters Dance Nartak Festival di Cennai, India
- ”Body without Brain”, International Residency Program at Attakalari, India
- ”Medium” (2016-2018), Darwin Festival, Australia; Esplanade Dance Festival, Singapura
- ”Hijra” (2018), sedang dipentaskan di sejumlah negara