Dengan Kemauan Politik, Terbuka Peluang Selesaikan Kasus HAM Masa Lalu
JAKARTA, KOMPAS — Susunan Kabinet Indonesia Maju dinilai membuka peluang bagi penyelesaian dugaan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Namun, dibutuhkan kemauan politik dari pemerintah agar hal itu dapat terlaksana.
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid, Minggu (27/10/2019), menyatakan, peluang itu didasarkan pada terpilihnya Mahfud MD sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam).
Selain itu, Jaksa Agung ST Burhanuddin juga memiliki bekal pengalaman pada bidang penanganan tindak pidana khusus yang akan bermanfaat dalam pengumpulan bukti pelanggaran HAM berat.
”Hal yang dibutuhkan ke depan adalah kehendak atau kemauan yang baik dari keduanya. Tanpa kemauan politik, proyeksi penyelesaian kasus HAM ke depan tetap akan melalui jalan terjal,” katanya, saat dihubungi, Minggu.
Baca juga: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat Mandek
Kinerja dari kedua pembantu Presiden tersebut, lanjutnya, dipengaruhi dua hal. Pertama, dari politik HAM Presiden Jokowi sendiri. Penyelesaian kasus HAM masa lalu pernah menjadi bagian dari komitmen kebijakan Presiden.
”Apakah Presiden nantinya akan menerbitkan keputusan untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc sehingga Jaksa Agung dapat menuntut pelaku ke pengadilan. Atau apakah, misalnya, Presiden setuju untuk menerbitkan keputusan pemerintah dalam rangka penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu berupa pembentukan tim pencari orang hilang dalam kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998,” katanya.
Tidak akan sulit memperoleh dukungan DPR, baik ketika pembentukan pengadilan HAM ad hoc maupun anggaran yang dibutuhkan.
Selanjutnya, Mahfud dan Burhanuddin juga membutuhkan dukungan dari parlemen, misalnya saja dalam pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Berkaca pada dinamika politik mutakhir, jumlah kursi di parlemen didominasi oleh pendukung Jokowi. Dari sembilan partai yang lolos ke parlemen, hanya PAN, PKS, dan Demokrat yang berada di luar pemerintahan.
”Semestinya tidak akan sulit memperoleh dukungan DPR, baik ketika pembentukan pengadilan HAM ad hoc maupun anggaran yang dibutuhkan guna menopang proses yang tidak akan mudah ke depannya. Bukan cuma biaya peradilan, melainkan juga perlindungan para saksi, korban, dan petugas peradilan yang di masa lalu kerap mendapat ancaman,” katanya.
Baca juga: Komitmen Pemerintah Dianggap Lemah
Catatan Kompas, terdapat sejumlah kasus dugaan pelanggaran HAM di masa lalu yang harus diselesaikan pemerintah. Sebut saja tentang tragedi 1965. Pemerintah sebetulnya sudah menyelenggarakan Simposium 1965 yang digelar pertengahan April 2016.
Menko Polhukam waktu itu, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan bahwa simposium menjadi tahapan awal dialog antara pemerintah dan korban pelanggaran HAM masa lalu untuk menuju rekonsiliasi nasional.
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo menjadi ketua pengarah dalam simposium itu. Oleh karena acara tersebut dinilai sejumlah kalangan berat sebelah, lalu muncul simposium ”Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan Ideologi Lain”. Letnan Jenderal (Purn) Kiki Syahnakri menjadi ketua dari simposium yang digelar 1 dan 2 Juni 2016 tersebut.
Selain itu, Komisi Nasional HAM juga mencatat tentang macetnya sejumlah kasus terkait dugaan pelanggaran HAM berat di Kejaksaan Agung, antara lain kasus Wasior (2001) dan Wamena (2003). Masih ada perbedaan pandangan antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung terkait kasus ini.
Menurut Komnas HAM, kasus tersebut sudah laik disidangkan. Sementara Jaksa Agung berpandangan bahwa masih ada syarat material dan imaterial yang belum terpenuhi.
Baca juga: Transparansi Uji Materi Jadi Tantangan
Ada juga kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998. Komnas HAM sudah melakukan penyelidikan pro justisia terhadap kasus ini pada 2006. Selain itu, telah ada penyelidikan khusus melalui Panitia Khusus DPR pada 2009. Kedua proses formal kelembagaan negara tersebut menghasilkan empat rekomendasi.
Pertama, merekomendasikan Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc. Kedua, merekomendasikan Presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak terkait untuk segera mencari 13 aktivis yang masih hilang. Ketiga, merekomendasikan pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang. Terakhir, merekomendasikan pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.
Tantangan terbesar dalam menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM bukan pada teknis hukum, melainkan intervensi ataupun pertimbangan di luar hukum.
Mahfud saat dipanggil ke istana menjelang pelantikan Kabinet Indonesia Maju menyatakan bahwa dirinya berdiskusi tentang berbagai hal dengan Presiden. Pelanggaran HAM menjadi salah satu topik perbincangan.
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, menilai, tantangan terbesar dalam menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM bukan pada teknis hukum, melainkan intervensi ataupun pertimbangan di luar hukum. ”Kepentingan di luar kepentingan hukum dan keadilan, yang selama ini menyandera proses penyelesaian pelanggaran HAM,” katanya.
Baca juga: Isu HAM Jadi Tantangan
Untuk itu, ia meminta Menko Polhukam Mahfud MD memastikan bahwa penyelesaian dugaan pelanggaran HAM sesuai dengan prinsip HAM dan hukum. Tanpa itu, prosesnya akan menjauh dari rasa keadilan.
Menurut dia, Kabinet Indonesia Maju harus kembali memulihkan kepercayaan publik. Sebab, Presiden Jokowi pada periode pertama pemerintahannya pernah berjanji akan menyelesaikan persoalan ini.
Salah satu cara untuk memulihkan kepercayaan publik adalah dengan membentuk tim penyidik yang melibatkan penyidik di luar kejaksaan. Menurut Choirul, hal ini dimungkinkan oleh Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
”Penyidik ad hoc dipilih dari orang yang memahami pelanggaran HAM berat dan punya integritas yang tidak tercederai,” katanya.