Kejuaraan Indonesia Asia Taekwondo Hanmadang 2019 menjadi ajang untuk memperkuat kemampuan atlet sekaligus tempat mencari bibit unggul guna program pembinaan tingkat yunior.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejuaraan Indonesia Asia Taekwondo Hanmadang 2019 di GOR POPKI Cibubur, Jakarta Timur, pada 26-27 Oktober 2019, menjadi ajang untuk memperkuat kemampuan atlet. Turnamen juga dapat digunakan sebagai tempat untuk mencari bibit unggul guna program pembinaan tingkat yunior.
Ketua Umum Pengurus Besar Taekwondo Indonesia Thamrin Marzuki mengatakan, berlatih dan bertanding adalah kebutuhan paling penting dari seorang atlet. ”Karena itu, kami akan berusaha memberikan kesempatan pada atlet untuk berlatih dan bertanding. Semakin banyak turnamen yang kita ikuti, maka kualitas atlet akan semakin meningkat,” tutur Thamrin seusai membuka Kejuaraan Indonesia Asia Taekwondo Hanmadang 2019 di Jakarta, Sabtu (26/10/2019).
Hanmadang adalah kejuaraan internasional yang diselenggarakan badan dunia taekwondo Kukkiwon yang berkantor di Korea Selatan. Kejuaraan ini dimulai sejak 2016. Sebelum di Indonesia, kejuaraan ini digelar di Nepal, Kamboja, dan China.
Khusus tahun ini, pergelaran ini diikuti 1.176 atlet dari 12 negara. Mereka berasal dari Nepal, Bangladesh, Sri Lanka, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Hong Kong, Irak, Iran, China, Korea Selatan, dan Indonesia.
Selain Thamrin, turnamen ini juga dihadiri Duta Besar Korea Selatan Kim Chang Beom dan Sekretaris Jenderal Kukkiwon Kim Ill Seob yang turut membuka turnamen bersama Thamrin.
Ada tiga kategori yang diperlombakan dalam kejuaraan ini, yaitu kyorugi atau pertarungan, poomsae atau jurus, dan demonstrasi atau aksi pemecahan benda-benda. Mereka tampil secara berkelompok dan individual.
Menurut Thamrin, kejuaraan ini bagus untuk pengembangan atlet yunior dan senior karena mereka akan bertanding melawan atlet dari berbagai negara. Beberapa pencari bakat dari Pengurus Besar Taekwondo Indonesia juga diturunkan untuk melihat atlet yunior yang bisa masuk ke pelatnas.
Khusus terkait pengembangan atlet yunior, Thamrin berjanji akan memperbanyak turnamen khusus untuk kelas yunior, terutama kelompok kadet (7-10 tahun). Ia mengakui, kelemahan taekwondo Indonesia terletak pada minimnya atlet lapis kedua yang berkualitas.
Sebagai cabang olahraga elite yang dipertandingkan di Olimpiade, Thamrin berharap ada pelatnas yunior agar lahir regenerasi atlet taekwondo Indonesia. Program regenerasi pelatnas ini diharapkan disiapkan sejak masa kadet.
”Prakadet (pemula pada usia dini) akan diserahkan ke masing-masing provinsi,” ujar Thamrin.
Dari program pembinaan kategori kadet ini akan dipilih atlet berbakat yang layak masuk pelatnas. Mereka menjadi bagian program regenerasi.
Putra salah satu pelopor taekwondo Indonesia Bunawan Sofwan, Nurman Adhi, menceritakan, ayahnya mulai memperkenalkan taekwondo tahun 1971 di Bandung, Jawa Barat. Sejak saat itu, taekwondo terus tumbuh di Bandung.
Menurut Nurman, taekwondo termasuk salah satu olahraga populer di Indonesia. Bahkan, atlet yunior mulai berlatih dengan menggunakan teknologi modern, seperti yang dipertandingkan dalam kejuaraan internasional.
Meskipun demikian, pengenalan teknik dasar harus tetap diajarkan kepada atlet yunior agar mereka dapat memahami inti dari bela diri taekwondo. Dengan penguasaan teknik dasar tersebut, mereka diyakini lebih siap ketika masuk pada kategori senior.
Nurman juga memuji atlet kyorugi dan poomsae Indonesia yang dapat berprestasi hingga ke tingkat Asia. Namun, ia berharap komposisi keduanya dapat berimbang sehingga akan sama-sama dapat meraih medali emas pada turnamen internasional.
Pada SEA Games 2017, atlet kyorugi Indonesia mampu mendapatkan medali emas, sedangkan prestasi tertinggi atlet poomsae adalah medali perak. Sebaliknya, pada Asian Games 2018, atlet poomsae mampu meraih medali emas, sedangkan kyorugi gagal mendapatkan medali.