Ancaman penggantian Pancasila sebagai ideologi negara bukan isapan jempol belaka. Berbagai ketidakpuasan atas kebijakan menjadi faktor kuat yang mendorong untuk meruntuhkan dasar negara tersebut.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·6 menit baca
Ancaman penggantian Pancasila sebagai ideologi negara bukan isapan jempol belaka. Berbagai ketidakpuasan atas kebijakan dan pola hidup yang tak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi faktor kuat yang mendorong untuk meruntuhkan dasar negara tersebut.
Bagi Marthen Luther Roempoembo, keberadaan Pancasila dalam kehidupan di Papua tak lebih dari sekadar jargon. Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Boven Digoel, Papua, itu mengungkapkan, kesenjangan sosial dan ekonomi yang terjadi antara Papua dan dengan wilayah Indonesia yang lainnya membuat masyarakat kerap mempertanyakan implementasi sila kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasalnya, sejak bergabung dengan Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, masyarakat belum merasakan perubahan signifikan terhadap kondisi Papua. Bahkan, status otonomi khusus yang diberikan sejak 2001 juga belum bisa jadi modal yang kuat untuk menyetarakan posisi warga setempat dengan warga Indonesia pada umumnya.
“Bagi kami, implementasi sila kelima ini masih slogan, karena tidak ada kepastian waktu kapan kita bisa mencapai masyarakat yang adil dan makmur secara merata,” kata Marthen dalam acara Gotong Royong Membumikan Pancasila di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Kamis (24/10/2019).
Dalam agenda yang hasil kerja sama antara Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) itu, hadir 76 Kepala Kesbangpol tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, dari wilayah Indonesia Timur. Selain itu, hadir pula Pelaksana Tugas Kepala BPIP Hariyono, Direktur Hubungan antarlembaga dan Kerja Sama BPIP Elfrida Herawati Siregar, dan Direktur Bina Ideologi, Karakter, dan Wawasan Kebangsaan, Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum, Kemendagri, Prabawa Eka Soesanta.
Marthen menambahkan, keraguan masyarakat terhadap nilai Pancasila bertambah akibat lambatnya penanganan konflik yang bermula dari peristiwa di Surabaya dan Malang pada Agustus lalu. Apalagi, dialog yang dibangun oleh pemerintah belum melibatkan masyarakat Papua yang mendukung gerakan kemerdekaan.
“Keberadaan mereka (pendukung gerakan kemerdekaan) jangan dianggap sepele. Jangan menganggap masalah sudah selesai jika belum menyentuh akar rumput,” kata Marthen.
Di Sulawesi Tengah, kesenjangan pembangunan wilayah juga jadi jalan masuk bagi upaya meruntuhkan ideologi Pancasila. Kristo Suryanto, Kepala Bidang Ideologi dan Wawasan Kebangsaan Kesbangpol Sulawesi Tengah, mengatakan, ada sebuah sekolah yang melarang siswanya untuk memberi hormat pada bendera Merah Putih.
Namun, sekolah itu relatif tak tersentuh dan tak bisa ditindak, karena berada di lokasi terpencil di Morowali Utara. Dari Palu, Ibu Kota Sulawesi Tenggara, untuk menjangkau sekolah itu harus menempuh jarak ratusan kilometer, menyeberang laut selama empat jam, ditambah dengan menembus jalur di tepi gunung.
Selain itu, keberadaan kelompok ekstrimis yang berbasis di daerah pelosok dan hutan Sulawesi Tengah pun masih ada. Mereka membentuk kelompok sosial yang sulit dijangkau.
“Gagasan radikal dan sikap eksklusif itu bergerak dari desa ke kota. Artinya, ditanam kepada generasi muda di desa, lalu mereka akan menyerbu ke kota,” ujar Kristo.
Rawan perpecahan
Menurut Kepala Kesbangpol Papua Barat Baesara Wael, kesenjangan ekonomi dan sosial juga berdampak pada eksklusivitas warga. Penduduk di akar rumput cenderung mudah curiga satu sama lain.
Akhirnya, gesekan kecil dalam hal apapun bisa memicu konflik yang berpotensi perpecahan masyarakat. Hal ini menunjukkan, persatuan dan kesatuan sebagaimana dicita-citakan sila ketiga Pancasila juga masih belum terimplementasi.
Di Nusa Tenggara Barat (NTB), kata Staf Khusus Kesbangpol NTB Lalu Normal, pembelahan sosial kerap terjadi karena kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada). Pemilihan pemimpin secara langsung yang kerap memanfaatkan politik identitas itu membuat warga terbagi menjadi sejumlah kubu.
Tidak jarang, mereka yang bersaudara menjadi bermusuhan akibat pilihan politik. Pada 2020, ada enam kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan Pilkada Serentak. Hal ini menimbulkan kegelisahan khusus di tengah masyarakat.
Di Nusa Tenggara Barat (NTB), pembelahan sosial kerap terjadi karena kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada).
Kekhawatiran serupa juga diungkapkan Kristo. Di Sulawesi Tengah, terdapat tujuh kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020. “Setiap penyelenggaraan Pilkada, suasana akan menjadi ngeri ngeri sedap,” ucapnya.
Selain urusan politik, faktor batas wilayah juga menjadi penyebab perpecahan di Maluku Utara. Kepala Kesbangpol Maluku Utara Omar Fauzi mengatakan, masyarakat masih selalu berkonflik karena saling klaim wilayah di perbatasan, baik antardesa, antarkabupaten, bahkan antarprovinsi.
Hariyono mengakui, sejumlah masalah yang dirasakan masyarakat itu mengindikasikan bahwa Pancasila memang belum diamalkan secara optimal. Hal itu tampak dari posisinya yang belum menjadi landasan kebijakan negara, sehingga belum mampu mengatasi kesenjangan sosial dan ekonomi sebagaimana diamanatkan pada sila kelima.
“Ini menjadi bahan introspeksi bagi pemerintah agar bisa membangun kebijakan politik ekonomi yang memungkinkan semua elemen masyarakat bisa menikmati hasil pembangunan. Sebab, keadilan sosial itu bukan hanya untuk kelompok tertentu melainkan untuk seluruh rakyat Indonesia,” kata Hariyono.
Ia menambahkan, beberapa peraturan perundang-undangan yang muncul pasca-reformasi, khususnya terkait pemilihan umum, juga belum kongruen dengan nilai ideologi negara. hal itu berdampak pada biaya politik yang begitu tinggi. Bukan sekadar finansial, melainkan juga secara sosial. Rakyat masih kerap berbenturan akibat pilihan pejabat politik yang berbeda.
Pendekatan kultural
Menurut Hariyono, kondisi itu menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia guna mengembalikan Pancasila sebagai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi, masyarakat saat ini mulai berjarak dengan nilai-nilai ideologi negara karena sudah tak diperkenalkan secara formal pada berbagai institusi.
Untuk membumikan Pancasila, BPIP akan menerapkan pendekatan kultural terhadap masyarakat. Setelah pemetaan masalah di setiap daerah, akan ada pengembangan potensi dan kearifan lokal dari setiap daerah.
Presiden Pertama RI Soekarno pernah mengatakan, Pancasila itu digali dari bumi Indonesia. Nilai-nilai yang ada di dalamnya sudah terkandung di dalam kearifan lokal masyarakat. “Kehadiran BPIP nantinya sekadar untuk menstimulus dan mengapresiasi apa yang dilakukan masyarakat,” kata Hariyono.
Elfrida Herawati Siregar mengatakan, hasil pemetaan yang lain menunjukkan, penerapan kearifan lokal juga terbukti membuat suasana wilayah lebih kondusif. Di Maluku, misalnya, inklusivitas masyarakat terjaga karena mereka memiliki budaya pela gandong yang bermakna semua warga bersaudara. Di Sulawesi Utara, budaya serupa bernama mapalus, sedangkan di Nusa Tenggara Timur (NTT) dikenal dengan nama lamaholot.
Suasana kondusif di beberapa daerah itu pun diakui secara nasional. Berdasarkan penilaian Setara Institute terkait Indeks Kota Toleran Tahun 2018, beberapa kota di Maluku, Sulawesi Utara, dan NTT mendapatkan nilai yang tinggi.
Misalnya, Kota Ambon, Maluku, menempati peringkat lima dari 10 kota dengan skor toleransi tertinggi. Manado dan Tomohon, Sulawesi Utara, berturut-turut ada di peringkat empat dan delapan. Adapun Kupang, NTT, ada di posisi ketujuh.
Hariyono menilai, hal itu membuktikan bahwa Pancasila memang milik masyarakat. Bukan monopoli atau bahkan milik pemerintah sehingga berhak menafsirkan dan menentukan pola terbaik untuk menerapkannya.
Dengan begitu, tugas BPIP untuk mengawal pembumian Pancasila pun bukan perkara mudah. Butuh komitmen dan napas panjang untuk menjadikan ideologi yang hampir menjadi barang usang tersebut sebagai dasar hidup yang selalu relevan dengan konteks zaman.