Tim Khusus Penyelesaian Defisit BPJS Kesehatan Dibentuk
Kementerian Kesehatan bersama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan membentuk tim khusus untuk membahas keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kesehatan bersama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan membentuk tim khusus untuk membahas keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat. Tim ini akan membahas langkah-langkah strategis yang diperlukan untuk mengatasi defisit dalam pembiayaan program Jaminan Kesehatan Nasional.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan, tim khusus tersebut akan menghitung secara detail terkait masalah defisit pembiayaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Hal ini termasuk untuk menghitung rasionalisasi pembiayaan dan optimalisasi manfaat dalam pelayanan peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
”Optimalisasi manfaat bukan berarti mengurangi manfaat. Jadi, jika ada tindakan yang sebenarnya belum tentu bermanfaat, harus diperhitungkan kembali. Kami harapkan masyarakat tetap bisa terlayani dengan optimal tanpa harus bersinggungan dengan hal-hal ketidakmampuan (pembiyaan),” ujarnya yang ditemui seusai melakukan kunjungan ke Kantor Pusat BPJS Kesehatan di Jakarta, Jumat (25/10/2019).
Jika tidak ada penyesuaian iuran ataupun kebijakan lain, defisit yang dialami BPJS Kesehatan diprediksi mencapai Rp 32,8 triliun sampai Desember 2019. Jumlah ini akan terus meningkat di tahun berikutnya menjadi Rp 39,5 triliun pada 2020 dan naik menjadi Rp 50,1 triliun pada 2021 hingga Rp 77 triliun pada 2024.
Terawan menambahkan, keputusan terkait optimalisasi manfaat dalam pelayanan peserta JKN-KIS akan dibahas secara bersama-sama antara tim khusus dan organisasi profesi yang terkait. Untuk optimalisasi manfaat dalam layanan pasien penyakit jantung, misalnya, organisasi profesi dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular (Perki) dan Konsultan Kardiovaskular (KKV) akan terlibat secara maksimal.
”Tagihan untuk penyakit jantung saat ini sangat besar, sekitar Rp 10 triliun. Kemenkes bersama BPJS Kesehatan akan memanggil ketua perhimpunan organisasi terlebih dahulu untuk membahas hal ini. Jika sungkan datang ke kantor kami, kami yang akan datang ke kantor perhimpunan tersebut. Menyelesaikan masalah defisit ini harus bersama-sama,” katanya.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menambahkan, tim khusus yang dibentuk juga akan membahas terkait penyesuaian iuran peserta JKN-KIS. Menurut dia, penyesuaian iuran tidak akan berbeda dengan hitungan yang sebelumnya disampaikan Menteri Keuangan dalam Rapat Dengar Pendapat bersama DPR pada Agustus 2019.
Dalam rapat itu, pemerintah mengusulkan iuran peserta bukan penerima upah kelas 3 naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000, kelas 2 naik dari Rp 51.000 jadi Rp 110.000, dan kelas 1 naik dari Rp 80.000 jadi Rp 160.000.
Untuk iuran peserta penerima upah badan usaha dari semula 5 persen dari penerimaan upah dengan batas atas upah Rp 8 juta menjadi Rp 12 juta. Sementara peserta penerima upah pemerintah, iuran yang sebelumnya 5 persen dari gaji pokok dan tunjangan keluarga menjadi 5 persen dari seluruh upah diterima (Kompas, 28/8/2019).
”Keputusan pemerintah tentu tidak akan ada yang memberatkan masyarakat. Pemerintah sudah membantu secara langsung pembiayaan untuk 133 juta penduduk (peserta bantuan iuran dan peserta pekerja penerima upah pegawai negeri). Saat ini kita juga terus coba sampaikan putusan penyesuaian iuran melalui narasi yang sejuk,” kata Fachmi.