Kemampuan literasi dan numerasi yang merupakan landasan berpikir tingkat tinggi memerlukan metode pemelajaran yang kontekstual.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemampuan literasi dan numerasi yang merupakan landasan berpikir tingkat tinggi memerlukan metode pemelajaran yang kontekstual. Hal ini masih menjadi tantangan di mayoritas sekolah di Indonesia karena sistem pemelajaran dan asesmen tanpa disadari tetap berpegang teguh kepada metode satu arah dan menghapal.
Fakta itu mengemuka dalam Forum Kajian Pembangunan 2019 oleh Institut Penelitian Smeru. Pada Kamis (24/10/2019), mereka mengadakan diskusi dengan topik ”Asesmen Kemampuan Literasi dan Numerasi Anak” yang diselenggarakan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Peneliti Pusat Penilaian Pendidikan Kemdikbud, Rahmawati, menjelaskan, pengenalan materi pelajaran dan metode evaluasi berbasis pemikiran tingkat tinggi (high order thinking skills/HOTS) sudah dilakukan kepada guru-guru. Pihaknya mendatangkan guru-guru untuk dilatih selama delapan hari. Permasalahannya, bukan pada pemahaman mereka akan materi pelajaran, melainkan pada cara mengontekstualisasikannya agar relevan dengan siswa.
Permasalahannya bukan pada pemahaman mereka akan materi pelajaran, melainkan pada cara mengontekstualisasikannya agar relevan dengan siswa.
Ia mengungkapkan, dalam ujian nasional, para siswa bingung dengan soal-soal berbentuk cerita. Misalnya, pada pelajaran Matematika, ketika soal dijabarkan dalam bentuk skenario kejadian, rata-rata siswa yang bisa menjawab ternyata di bawah 10 persen. Padahal, soal-soal itu merupakan materi yang sudah diajarkan di kelas, seperti pecahan, pencacahan, dan pengulangan.
”Ketika siswa diuji dengan soal matematika yang bersifat langsung, seperti diminta mengurutkan bilangan, mayoritas bisa mengerjakannya. Akan tetapi, ketika materi yang sama dibungkus dengan paragraf berupa deskripsi dan narasi, mereka tidak bisa menjawab,” tutur Rahmawati.
Para guru yang dikumpulkan kemudian diuji soal yang sama. Walhasil, ternyata mereka juga kesulitan menjawabnya. Menurut Rahmawati, hal ini karena di pikiran guru sudah terpatri cara spesifik membuat dan mengerjakan soal. Contohnya, ketika membuat soal mengenai menghitung kecepatan, guru otomatis menarasikannya menjadi jarak antara satu kota dan yang lain serta kecepatan kendaraan yang sedang bepergian.
”Padahal, soal kecepatan bisa berupa menghitung kecepatan bicara seseorang ketika sedang marah atau kecepatan tetes infus. Kurangnya kreativitas menarasikan soal ini yang mengakibatkan siswa tidak bisa menghubungkan matematika dengan fenomena sehari-hari,” paparnya.
Kurangnya kreativitas menarasikan soal ini yang mengakibatkan siswa tidak bisa menghubungkan matematika dengan fenomena sehari-hari.
Menurut dia, pendekatan yang harus dikenalkan dalam membahas materi pelajaran ialah soal-soal kolaboratif antarguru agar soal memiliki banyak dimensi seperti soal cerita, selain menyelesaikan problema matematika juga mengasah kemampuan membaca dan memahami. Soal-soal ini bersifat nonrutin, yaitu tidak masuk ke dalam soal umum, seperti langsung meminta siswa mengerjakan rumus.
Satu arah
Smeru melakukan penelitian kepada siswa kelas VII dan VIII di 46 SMP di Yogyakarta, khusus untuk mata pelajaran Matematika dan Bahasa Indonesia. Dalam proses belajar yang ideal terdiri dari tiga struktur, yaitu pembukaan yang mengharuskan guru memperkenalkan topik kepada siswa dan menjelaskan relevansinya dengan kehidupan sehari-hari. Aspek kedua adalah isi pelajaran dan aspek ketiga merupakan penutupan, yakni guru mengevaluasi jika ada siswa yang belum memahami pelajaran.
Peneliti Smeru, Goldy Dharmawan, mengungkapkan, 40 persen guru tidak menerapkan struktur ini sehingga tujuan pemelajaran dan evaluasinya tidak ditangkap siswa. Mayoritas pemelajaran juga bersifat satu arah dengan guru menjelaskan di depan kelas dan siswa mendengarkan.
Mayoritas pemelajaran juga bersifat satu arah dengan guru menjelaskan di depan kelas dan siswa mendengarkan.
”Bahkan, hanya 20 persen siswa yang dilibatkan menggunakan alat bantu pemelajaran, seperti buku, perangkat laboratorium, ataupun alat-alat lain. Biasanya, alat hanya digunakan oleh guru dan siswa mengamati,” ujarnya. Selain itu, diperlukan juga pemetaan kompetensi dan kebutuhan siswa dalam satu kelas agar apabila siswa berkemampuan lebih tinggi selesai mengerjakan tugas umum, bisa diberi pengayaan berupa tugas yang lebih menantang.
Dari aspek evaluasi harian, Nisa Felicia, peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), memperkenalkan Pemantik, yaitu Pengukuran Mandiri Numerasi dan Literasi PSPK. Metode ini disadur dari Laporan Status Pendidikan Tahunan (ASER) yang dikembangkan oleh lembaga swadaya masyarakat untuk pengembangan pendidikan di India, Pratham.
Soal-soal Pemantik terlihat sederhana dan berbasis kehidupan sehari-hari, tetapi menyasar kemampuan mendasar individu dan sudah diujicobakan kepada 800 siswa di Bandung dan Surabaya. Asesmen ini bisa diberikan kepada anak berusia 4-16 tahun, terlepas mereka bersekolah ataupun tidak.
Untuk Bahasa Indonesia, elemen yang diuji adalah mengenal huruf, membaca huruf, membaca kata, membaca kalimat, dan membaca teks pendek. Adapun untuk Matematika tahapannya mengenal angka, mengenal satuan, mengenal puluhan, mengurangi tanpa meminjam, mengurangi dengan meminjam, dan pembagian.
”Dalam asesmen ini, faktor di luar sekolah, seperti kebiasaan belajar, partisipasi PAUD, dan pola pengasuhan di rumah, juga dipertimbangkan sehingga hasil evaluasi tidak untuk sekadar mengetahui nilai anak, tetapi melakukan perbaikan di sekolah, rumah, dan komunitas,” tutur Nisa.