Belum Semua Keluarga Korban Mengambil Kompensasi dari Lion Air
Alasan keluarga belum mendapatkan kompensasi karena Lion Air membuat syarat yang memberatkan keluarga korban sehingga mengurungkan niat mereka untuk mengambil uang kompensasi tersebut.
Oleh
Aguido Adri
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penjelasan Komite Keselamatan Transportasi Nasional di Jakarta, Jumat (25/10/2019), berkait penyebab kecelakaan pesawat Boeing 737-MAX 8 membawa harapan baru bagi keluarga korban. Sampai saat ini, belum semua keluarga korban mengambil kompensasi dari Lion Air sehingga penjelasan pemicu kecelakaan pesawat Lion Air PK-LQP JT-610, yang menelan korban jiwa 189 orang, dapat memberikan harapan baru bagi ahli waris.
Bagi Anton Sahadi, salah satu keluarga korban, temuan KNKT tidak akan mengubah apapun terhadap peristiwa kelam setahun yang lalu. Dia mempertanyakan kelanjutan dari hasil investigasi KNKT tersebut bagi keluarga korban.
“Justru sekarang kelanjutannya seperti apa dari hasil temuan tersebut? Ada permasalahan yang lebih penting, sampai saat ini tidak ada tanggung jawab dari pihak Lion Air terkait kompensasi. Begitu pula pemerintah yang tidak tegas dalam menjalankan aturan, tidak ada sanksi yang diberikan kepada lion air,” tegas Anton, yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (25/10/2019).
Anton melanjutkan, sampai detik ini dari 189 korban, baru 69 keluarga korban yang mendapat kompensasi Rp 1,25 miliar. Sementara 120 keluarga korban lainnya belum menerima hak mereka dari Lion Air.
Alasan keluarga belum mendapatkan kompensasi karena Lion Air membuat syarat yang memberatkan keluarga korban sehingga mengurungkan niat mereka untuk mengambil uang kompensasi tersebut. Syarat itu, kata Anton, ada pelepasan hak keluarga korban dan mereka wajib menandatangani suatu surat untuk mendapatkan uang kompensasi.
Membebani keluarga
Anton mengatakan, klausul yang dibuat Lion Air tidak berdasarkan Pasal 23 Peraturan Menhub Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, yaitu besaran ganti kerugian yang diatur dalam Permenhub tersebut tidak menutup kesempatan kepada ahli waris untuk menuntut ganti rugi pengangkut ke pengadilan.
“Peraturan Menhub jelas. Kewajiban maskapai harus ganti rugi. Jangan membebani kami dengan embel-embel release and discharge serta ketentuan lain diluar aturan,” kata Anton.
Anton dan beberapa keluarga korban berharap, pemerintah hadir dan ikut bertanggung jawab agar Lion Air menuntaskan pemenuhan hak yang belum tuntas.
Selain itu, pemerintah juga diharapkan berani mengambil tindak tegas berupa sanksi berat untuk Lion Air yang mengabaikan hak keluarga korban.
Anton menuturkan, sudah menjadi keharusan bagi pemerintah menegakkan peraturan yang mereka buat atas kelalaian Lion Air. Jangan sampai peraturan yang sudah justru ditabrak oleh operator penerangan lainnya karena ketidaktegasan pemerintah.
“Kami hanya ingin Lion Air dan pemerintah berjalan sesuai aturan. Jangan sampai ada korban lainnya dari ketidaktegasan ini. Kami tidak mau kejadian serupa terulang dengan sanak saudara lainnya. Kejauhan pesawat lion air merupakan kelalaian dan kebodohan,” tutur Anton.
Kompensasi
Sementara itu, Komunitas Konsumen Indonesia mendesak Lion Air untuk segera melakukan pembayaran ganti kerugian kepada korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610.
Hal ini sebagaimana juga instruksi dari Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang meminta pihak Lion Air berinisiatif menghubungi keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 terkait hak-hak keluarga korban yang salah satunya adalah pembayaran ganti kerugian.
Ketua Komunitas Konsumen Indonesia David Tobing mengatakan, ahli waris korban jangan dipersulit dalam proses pencairan ganti rugi termasuk persyaratan harus menandatangani surat pernyataan yang membebaskan Lion Air maupun pihak-pihak lainnya yang terkait dari segala tuntutan apapun.
“Selain itu maskapai tidak boleh melarang jika ahli waris ingin menggunakan kuasa hukum atau advokat dalam proses pendampingan ahli waris dalam menuntut hak-haknya,” katanya.
Menurut David, meskipun maskapai Lion Air telah memenuhi Pasal 3 huruf a Permenhub 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (Peraturan Menteri) yaitu memberikan ganti rugi Rp 1,25 miliar, tetapi berdasarkan Pasal 23 Permen tersebut, besaran ganti kerugian yang diatur dalam Permen tidak menutup kesempatan kepada ahli waris untuk menuntut ganti rugi pengangkut ke pengadilan.
David menyarankan kepada Kementerian Perhubungan agar mengawasi dan melarang pihak Lion Air menerapkan syarat apapun dalam proses pemberian ganti rugi kepada keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 termasuk syarat untuk membebaskan Lion Air maupun pihak-pihak lainnya yang terkait dari segala tuntutan apapun setelah para ahli waris menerima ganti rugi sebesar Rp 1,25 miliar.
David menambahkan, larangan menggunakan advokat merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia karena hak untuk didampingi penasihat hukum/mendapat bantuan hukum merupakan bagian terpenting dari perwujudan hak untuk diperlakukan sama di muka hukum (equality before the law) termasuk kesempatan untuk medapatkan keadilan (access to justice) yang berlaku secara universal.
“Hak ahli waris untuk mendapatkan kompensasi sebesar Rp 1,25 miliar dan itu harus diterima tanpa ada syarat apapun juga,” katanya.
Ketentuan permen
Menteri Perhubungan mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (Permen 77). Dalam pasal 2 a Permen 77 disebutkan bahwa pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggungjawab atas kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka.
Dalam pasal 3 ayat 2 diatur besaran ganti kerugian penumpang yang meninggal dunia sebesar Rp 1,25 miliar. Permen 77 mempunyai kriteria tersendiri tentang ganti rugi. Kriteria disebutkan dalam pasal 15 yaitu, tingkat hidup yang layak rakyat Indonesia, kelangsungan hidup Badan Usaha Angkutan Udara, tingkat inflasi kumulatif, pendapat per kapita, perkiraan usia harapan hidup dan perkembangan nilai mata uang.
Pasal 23 Permen 77 antara lain menyebutkan, besaran ganti kerugian yang diatur dalam peraturan ini tidak menutup kesempatan kepada ahli waris untuk menuntut pengangkut ke pengadilan negeri di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal tersebut memberikan hak kepada ahli waris untuk menggugat dan menuntut ganti rugi selain yang sudah ditetapkan. Mengingat para ahli waris mempunyai kriteria kerugian materiil dan immateriil maka sesuai dengan keberlakuan suatu putusan yang berlaku kasuistik dan individualistik maka gugatan ganti rugi yang diajukan pun akan berbeda beda.
Di lain pihak, dalam memberikan ganti rugi yang diatur dalam Permen 77, pengangkut sepatutnya tidak mensyaratkan bahwa ahli waris tidak boleh mengajukan gugatan lagi di kemudian hari.