Bank Dunia: Perbaikan Prosedur Kemudahan Berusaha Harus Menyeluruh
Tim ekonomi Kabinet Indonesia Maju diminta memetakan lebih spesifik persoalan lama waktu dan biaya yang dibutuhkan pelaku usaha dalam setiap indikator kemudahan berusaha.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim ekonomi Kabinet Indonesia Maju diminta memetakan lebih spesifik persoalan lama waktu dan biaya yang dibutuhkan pelaku usaha dalam setiap indikator kemudahan berusaha. Sebagian besar indikator masih lebih buruk dari rata-rata negara kawasan Asia Pasifik dan Timur.
Peringkat Indonesia dalam Kemudahan Berusaha 2020 tidak berubah dari 2019, yaitu peringkat ke-73 dari 190 negara. Dalam Laporan Bank Dunia tentang Kemudahan Berbisnis 2020, skor Indonesia naik tipis dari 68,2 pada 2019 menjadi 69,6.
Padahal, menurut catatan Bank Dunia, Indonesia menjadi negara kedua setelah China yang melakukan reformasi kemudahan berusaha terbanyak di kawasan Asia Pasifik dan Timur. Ada 25 reformasi kemudahan berusaha yang dilakukan Indonesia dalam lima tahun terakhir.
Ekonom senior Bank Dunia, Arvind Jain, dalam telekonferensi dari Kuala Lumpur, Jumat (25/10/2019), mengatakan, pemerintah mesti memperbaiki prosedur secara menyeluruh dalam setiap indikator kemudahan berusaha. Data statistik terkait lama waktu dan besaran biaya dalam berusaha jadi tolok ukur.
”Indonesia sudah banyak melakukan reformasi. Namun, harus dibandingkan berapa lama dan berapa biaya yang dibutuhkan untuk berbisnis di Indonesia dengan negara-negara kawasan, bahkan global,” kata Jain.
Peringkat kemudahan berusaha dinilai berdasarkan 10 indikator, yaitu proses memulai usaha, izin mendirikan bangunan (IMB), akses listrik, pendaftaran properti, akses kredit, perlindungan investor minoritas, perdagangan lintas perbatasan, sistem pembayaran pajak, penegakan perjanjian atau kontrak, serta solusi atas kemampuan pelunasan kewajiban jangka panjang.
Dibedah lebih spesifik, sebagian besar waktu, biaya, dan prosedur dalam setiap indikator kemudahan berusaha di Indonesia lebih tinggi dari rata-rata negara kawasan Asia Pasifik dan Timur. Di Indonesia, misalnya, proses memulai usaha harus menempuh 11 prosedur, sementara rata-rata hanya 6,5 prosedur.
Selain itu, pembayaran pajak di Indonesia mencapai 26 jenis per tahun, sementara rata-rata di negara kawasan 20,6 jenis pajak. Adapun biaya yang harus dikeluarkan pebisnis terkait penegakan perjanjian atau kontrak mencapai 74 persen dari nilai klaim, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata 47,2 persen nilai klaim.
”Penegakan perjanjian atau kontrak jadi persoalan paling serius bagi Indonesia. Skor indikator itu paling rendah, yaitu 49,1 dari skala 100,” ujar Jain.
Dari 10 indikator, skor tertinggi adalah akses listrik 87,3 (peringkat ke-33), proses memulai usaha 81,2 (peringkat ke-140), dan sistem pembayaran pajak 75,8 (peringkat ke-81). Adapun skor terendah adalah pendaftaran properti 60 (peringkat ke-106) dan penegakan perjanjian atau kontrak 49,1 (peringkat ke-139).
Analis Bank Dunia, Maksym Lavorskyi, menambahkan, Indonesia cukup agresif melakukan reformasi kemudahan berusaha dalam lima tahun terakhir. Pada 2018-2019, ada lima reformasi terkait kemudahan berusaha, akses listrik, pembayaran pajak, perdagangan lintas perbatasan, dan penegakan perjanjian atau kontrak.
Di bidang perdagangan, misalnya, Indonesia memperbaiki proses pengurusan dokumen pabean untuk ekspor (export customs declaration) jadi berbasis daring serta mengurangi waktu kepatuhan perbatasan (border compliance) untuk aktivitas ekspor sebesar tujuh jam. Indonesia juga memperbaiki pelaporan dan pembayaran pajak berbasis daring.
Indonesia cukup agresif melakukan reformasi kemudahan berusaha dalam lima tahun terakhir. Pada 2018-2019, ada lima reformasi terkait kemudahan berusaha, akses listrik, pembayaran pajak, perdagangan lintas perbatasan, dan penegakan perjanjian atau kontrak.
”Sebagian besar reformasi Indonesia melibatkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi,” ujar Lavorskyi.
Komitmen dan eksekusi
Dihubungi terpisah, peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, berpendapat, reformasi kemudahan berusaha belum dibarengi komitmen dan eksekusi yang tepat. Hal itu yang menyebabkan target kemudahan berusaha untuk peringkat ke-40 masih belum tercapai.
”Ada ketidakmampuan antara komitmen atas berbagai reformasi dan regulasi yang ingin dilakukan sehingga tidak tecermin dalam implementasinya,” kata Enny.
Di tengah risiko pelambatan perekonomian global, mayoritas negara melakukan perbaikan kemudahan berusaha untuk menarik investasi dan mendorong ekspor. Kendati secara skor kemudahan berusaha terus meningkat, Indonesia justru mesti fokus pada capaian peringkat sebagai tolok ukur daya saing.
Menurut Enny, proses memulai usaha Indonesia yang menempati peringkat ke-140 dari 190 negara patut jadi perhatian pemerintah. Rendahnya peringkat memulai usaha menunjukkan adanya banyak kendala mendasar yang belum teratasi, seperti perizinan, prosedur birokrasi, atau utilitas infrastruktur.
”Proses memulai usaha ibarat pintu masuk. Semua pebisnis yang akan berinvestasi di Indonesia melihat indikator ini sebagai pijakan awal,” ucap Enny.
Selain komitmen dan eksekusi, pemerintah juga mesti mengevaluasi efektivitas reformasi yang sudah dilakukan. Pemberian stimulus dan insentif fiskal tidak akan menarik pebisnis sepanjang administrasi pengajuannya sulit. Untuk itu, perbaikan kemudahan berusaha sangat terkait dengan perbaikan daya saing.