Laju inflasi yang stabil memberikan dorongan yang lebih kuat bagi Bank Indonesia untuk kembali memangkas suku bunga acuan dan menahan pelonggaran kebijakan moneter.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Laju inflasi yang stabil memberikan dorongan yang lebih kuat bagi Bank Indonesia untuk kembali memangkas suku bunga acuan dan menahan pelonggaran kebijakan moneter. Inflasi sepanjang tahun ditargetkan dalam kisaran 2,5-4,5 persen.
Rapat Dewan Gubernur BI pada 23-24 Oktober 2019 memutuskan suku bunga acuan BI, BI 7-day Reverse Repo Rate, turun 25 basis poin (bps) menjadi 5 persen. Ini adalah kali ketiga BI memangkas suku bunga sejak Juli 2019.
Adapun suku bunga deposit facility atau simpanan rupiah bank di BI turun 25 bps menjadi 4,25 persen dan lending facility atau pinjaman rupiah bank dari BI juga turun 25 bps menjadi 5,75 persen.
Kepala Lembaga Pusat Kajian Ekonomi Makro Universitas Indonesia Febrio Kacaribu mengatakan, laju inflasi yang relatif rendah dan stabil jadi salah satu pertimbangan pemangkasan suku bunga. Inflasi tahunan per September 2019 sebesar 3,4 persen masih dalam kisaran target BI, yakni 2,5-4,5 persen.
”Pada saat yang sama, indeks harga konsumen mengalami deflasi bulanan yang disebabkan penurunan harga pangan,” kata Febrio yang dihubungi di Jakarta, Kamis (24/10/2019).
Inflasi inti secara tahunan juga relatif stabil di kisaran 3,3 persen. Stabilitas inflasi terjadi karena pergerakan harga minyak mentah dunia yang tidak terlalu berfluktuasi. Namun, laju inflasi masih berpotensi naik menjelang akhir tahun seiring rencana pemerintah meningkatkan tarif cukai rokok mulai tahun 2020.
Menurut Febrio, pasar keuangan Indonesia tetap menarik meski BI sudah tiga kali menurunkan suku bunga acuannya. Arus modal masuk portofolio cukup deras sehingga kurs rupiah relatif stabil di kisaran Rp 14.100 per dollar AS sepanjang Oktober 2019. Adapun imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun sebesar 7,3 persen dan tenor 1 tahun 5,9 persen.
”Imbal hasil yang ditawarkan oleh pasar obligasi Indonesia menjadi salah satu yang paling menarik di Asia,” ujar Febrio.
Pelonggaran kebijakan moneter BI menjadi keniscayaan untuk mengantisipasi tekanan global dan mendorong pertumbuhan ekonomi domestik dalam jangka pendek.
Kondisi global
Di tingkat global, lanjut Febrio, pelemahan kondisi manufaktur, jasa, dan tenaga kerja di AS kembali meningkatkan kemungkinan bank sentral AS, The Fed, menurunkan suku bunga acuan. The Fed diperkirakan memangkas suku bunga sebanyak tiga kali hingga awal triwulan I-2020 jika pelemahan terus berlanjut.
”Hal itu memberikan lebih banyak peluang bagi bank sentral di negara-negara berkembang, seperti BI, untuk mengambil tindakan serupa,” kata Febrio.
Pelemahan kondisi manufaktur, jasa, dan tenaga kerja di AS kembali meningkatkan kemungkinan bank sentral AS, The Fed, menurunkan suku bunga acuan.
Secara terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, situasi ekonomi global semakin menekan kinerja APBN tahun 2019. Kegiatan ekonomi dan dunia usaha di dalam negeri lesu sehingga penerimaan pajak tertekan cukup signifikan. Kondisi ini harus diatasi dengan konsolidasi kebijakan fiskal dan moneter.
Mengutip data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak pada Juli 2019 tumbuh 2,67 persen dibandingkan dengan Juli 2018. Padahal, pada Juli 2018, penerimaan pajak tumbuh 14,32 persen ketimbang Juli 2017.
Pertumbuhan semua jenis pajak pada Juli 2019 melambat. Pajak Penghasilan (PPh) badan tumbuh paling lambat, yakni 0,9 persen. Adapun Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri dan impor turun masing-masing 4,7 persen dan 4,5 persen.
”Perlu upaya mengatasi itu tanpa menimbulkan tekanan yang makin memperberat sektor usaha dan ekonomi,” ujar Sri Mulyani.
Pemerintah memproyeksikan perekonomian RI sepanjang tahun 2019 hanya tumbuh 5,08 persen. Pertumbuhan ekonomi itu lebih rendah dari proyeksi pemerintah dan Bank Indonesia yang sampai semester I-2019 optimistis pada kisaran 5,2 persen. Adapun asumsi makro pertumbuhan ekonomi APBN 2019 sebesar 5,3 persen.