Motif Politis di Balik Pembentukan Indonesian AID Dibantah
Pemerintah Indonesia membantah anggapan adanya motif politis di balik pembentukan Indonesian AID atau Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia membantah anggapan adanya motif politis di balik pembentukan Indonesia AID atau Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional. Keberadaan lembaga itu dinyatakan murni sebagai upaya untuk membantu pembangunan negara-negara berkembang.
Wakil Presiden Ke-12 RI Jusuf Kalla meluncurkan Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional (LDKPI) pada Jumat (18/10/2019). LDKPI merupakan lembaga pengelola dana bantuan internasional Indonesia di bawah koordinasi Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Sekretariat Negara, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru, Samoa, dan Tonga Tantowi Yahya mengatakan, LDKPI tidak dibentuk untuk mengatasi krisis yang terjadi di Papua. Sayangnya, sejumlah media asing banyak yang menafikan tujuan bantuan luar negeri Indonesia
”Janganlah bantuan luar negeri Indonesia selalu dikaitkan dengan politik. Sebagai negara yang cinta damai, Indonesia menyiapkan anggaran sesuai kemampuan untuk mendorong perdamaian dan kesejahteraan,” ujar Tantowi saat diwawancarai Radio New Zealand (RNZ), Rabu (23/10/2019), melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
LDKPI mencakup tiga elemen bantuan, yaitu kerja sama teknik, bantuan pembangunan fisik, dan bantuan kemanusiaan. Dana bantuan berasal dari dana abadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Total kas tercatat Rp 3 triliun hingga 2019.
Media asing memberitakan, LDKPI digunakan untuk meredakan tekanan akibat krisis yang terjadi di Papua beberapa bulan terakhir. Sejumlah negara penerima bantuan merupakan negara Pasifik yang kerap mengkritik gejolak di Papua.
Saat ini, ada tujuh negara di kawasan Pasifik Selatan dan Asia Tenggara yang akan dan sedang menerima bantuan Indonesia, antara lain Fiji, Kepulauan Solomon, Nauru, Tuvalu, dan Kiribati. Di Nauru, misalnya, Indonesia memberikan bantuan untuk penyediaan tongkang agar masyarakat setempat bisa menjual komoditas lokal.
”Tidak ada yang salah mengenai memberikan bantuan dan sekaligus menjadi penerima bantuan negara lain. Indonesia menerima bantuan dan memiliki utang, tetapi tidak berarti kita tidak boleh membantu negara lain yang sedang membutuhkan,” tutur Tantowi, menjawab kritik lainnya.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Cecep Herawan, Senin (21/10/2019), di Jakarta, menyampaikan, LDKPI merupakan hasil dari rencana selama beberapa tahun terakhir. Status Indonesia sebagai negara dengan ekonomi berkekuatan menengah memicu pemikiran bahwa sudah saatnya Indonesia ikut berpartisipasi dalam pembangunan dunia.
”Proyeksi di masa depan adalah Indonesia akan menjadi satu dari lima negara ekonomi terbesar di dunia. Kita memiliki kewajiban moral untuk membantu pembangunan di tatanan global,” ujarnya.
LDKPI merupakan hasil dari rencana selama beberapa tahun terakhir. Status Indonesia sebagai negara dengan ekonomi berkekuatan menengah memicu pemikiran bahwa sudah saatnya Indonesia ikut berpartisipasi dalam pembangunan dunia.
Mekanisme pemberian bantuan ke depan adalah kementerian atau lembaga terkait akan mengajukan program bantuan ke Kementerian Luar Negeri. Efektivitas dan relevansi program itu bagi negara penerima dan kebijakan luar negeri Indonesia akan dinilai oleh tim kelompok kerja yang terdiri atas empat kementerian yang menangani LDKPI. Setelah itu, dana bantuan digelontorkan.
Kebanggaan
Tantowi menambahkan, keberadaan LDKPI merupakan suatu kebanggaan bagi rakyat Indonesia. Apalagi, bisa saja lembaga tersebut setara dengan lembaga bantuan internasional negara besar lainnya, seperti USAID (Amerika Serikat), NZAID (Selandia Baru), dan Australian AID (Australia).
Kementerian Luar Negeri mencatat, selama beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menyelenggarakan sekitar 1.000 program kerja sama teknik dalam kerangka Kerja Sama Selatan-Selatan (KSS). Kerja sama tersebut dilakukan dalam tiga bidang utama, yaitu pembangunan, tata kelola pemerintahan yang baik, dan ekonomi.
”Bantuan luar negeri Indonesia dapat membangun solidaritas yang erat kepada negara berkembang lain, terutama yang terkena bencana alam. Ke depan, untuk negara-negara di kawasan Pasifik, bantuan akan diberikan di bawah skema Regional Strategic Partnership,” ujar Tantowi.