Keraguan pada Kabinet Jokowi-Amin: Salah Penempatan hingga Dugaan Nepotisme
Saat Presiden Joko Widodo memanggil para calon menterinya, publik antusias. Banyak figur yang dipanggil memiliki kapasitas. Namun, setelah kabinet diumumkan, publik terkejut. Penempatan mereka tak sesuai ekspektasi.
Antusiasme publik saat Presiden Joko Widodo memanggil para calon menterinya seketika tergerus saat Presiden mengumumkan posisi para calon menteri itu. Tak sedikit di antaranya dinilai ditempatkan di posisi yang salah. Selain itu, ada pula yang diragukan kapasitasnya, tetapi menempati posisi menteri strategis. Untuk kembali meraih kepercayaan publik, kerja nyata sangat ditunggu.
Sesaat setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan Kabinet Indonesia Maju, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat merangkak naik saat perdagangan dibuka justru anjlok.
Kompas mencatat, IHSG dibuka pada level 6.244,41, menguat 18,91 poin atau 0,3 persen dari penutupan perdagangan hari sebelumnya di level 6.225,49. Namun, seusai pengumuman kabinet, IHSG melemah ke level 6.214 pada pukul 11.30.
Sekalipun saat perdagangan ditutup IHSG kembali menguat 32,3 poin pada level 6.257,81, penurunan yang sempat terjadi dinilai sebagai sinyalemen bahwa pelaku pasar merespons negatif Kabinet Jokowi-Amin.
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, mengungkapkan hal itu. Penurunan disebutnya sebagai refleksi pelaku pasar yang memiliki tingkat kepercayaan yang rendah terhadap kabinet. Ini tak mengherankan karena tampaknya ada diskoneksi antara rekam jejak sejumlah figur dan jabatan menteri yang mereka emban.
Pernyataan Enny ada benarnya. Hal ini, misalnya, terlihat dari jabatan menteri yang diberikan kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.
Baca juga: Hari Pertama Menteri, Sertijab Maraton hingga Langsung Pimpin Rapat
Saat Presiden Jokowi mulai memanggil para calon menterinya, Senin (21/10/2019) pagi, dan Mahfud menjadi yang pertama dipanggil, publik antusias melihatnya. Apalagi setelah Mahfud menyatakan, Presiden mengajaknya berdiskusi seputar urusan hukum, pelanggaran hak asasi manusia, dan korupsi.
Ada harapan muncul bahwa dia akan mengisi posisi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham). Publik pun antusias karena selain integritasnya sudah teruji, kapasitasnya tidak perlu diragukan.
Di bidang akademis, dia tercatat sebagai orang pertama yang dapat menyelesaikan studi doktoral S-3 Hukum Tata Negara di Universitas Gadjah Mada dalam waktu cepat, yaitu 2 tahun 8 bulan. Kemudian, pada usia 41 tahun dia sudah dinobatkan menjadi guru besar termuda saat itu.
Baca juga: Rangkap Jabatan Ancam Fokus Menteri
Selain itu, Mahfud pernah menjadi Menteri Pertahanan (2000-2001) serta Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (2001) pada kabinet di bawah kepemimpinan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid. Selanjutnya, pada 2008 hingga 2013, dia pernah menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi yang artinya kapasitasnya kuat pada bidang hukum tata negara.
Ekspektasi meleset
Namun, ekspektasi publik itu ternyata meleset. Mahfud justru ditunjuk Presiden mengisi posisi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Posisi yang sejak kementerian itu ada tahun 1978 hanya diisi militer atau purnawirawan. Sementara posisi Menkumham kembali dijabat oleh politisi PDI-P, Yasonna Laoly.
Padahal, tidak perlu menilik terlalu jauh ke belakang untuk mengingat ”prestasi” Yasonna. Sebagai Menkumham pada periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi, Yasonna mewakili pemerintah dalam pembahasan sejumlah undang-undang kontroversial yang dirancang kilat oleh DPR pada September lalu.
Di antaranya revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melemahkan lembaga antirasuah tersebut serta UU MPR, DPR, dan DPD (MD3) yang sangat kental dengan kepentingan politik. Penyusunan UU tanpa membuka partisipasi publik yang sebetulnya sudah diamanahkan oleh UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dia juga mewakili pemerintah dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang banyak pasalnya bermasalah.
Belum lepas dari ingatan akibat revisi UU KPK dan RKUHP itu, mahasiswa bersama masyarakat sipil harus turun ke jalan, mengepung Kompleks Parlemen, Jakarta, akhir September lalu. Tak hanya di Jakarta, penolakan bermunculan di banyak daerah. Unjuk rasa tak pelak membuat situasi keamanan tidak kondusif.
Baca juga: Risiko Kegaduhan dan Lemahnya Kontrol dari Kabinet Jokowi-Amin
Menteri agama
Selain Yasonna dan Mahfud MD, banyak juga yang heran dengan penunjukan Wakil Panglima TNI 1999-2000 Jenderal (Purn) Fachrul Razi untuk mengisi posisi menteri agama.
Setelah menjadi purnawirawan, sosok ini pernah bersama Wiranto mendirikan Partai Hanura. Selain itu, dia memimpin Bravo-5, salah satu kelompok sukarelawan pendukung Jokowi sejak Pemilu Presiden (Pilpres) 2014.
Jadi, bisa dibilang, sama sekali tidak ada rekam jejaknya yang bersentuhan dengan tugas pokok dan fungsi Kementerian Agama.
Menteri perdagangan
Yang juga menuai pertanyaan, penunjukan Agus Suparmanto sebagai menteri perdagangan. Saat sosok ini dipanggil oleh Presiden, banyak yang tidak mengenalnya. Mencari namanya dengan mesin pencari Google pun sulit.
Baca juga: Dua Sekretaris di Kabinet Kerja Jokowi-Amin
Baru kemudian diketahui dia berlatar belakang pengusaha galangan kapal dan menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Anggar Seluruh Indonesia. Selain itu, dia disebut merupakan politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa.
Dengan rekam jejaknya yang minim, wajar jika sebagian publik meragukan dia akan mampu memimpin Kementerian Perdagangan. Kementerian yang vital perannya di tengah perang dagang yang sedang berkecamuk dan semakin ketatnya persaingan dagang antarnegara.
Menteri perempuan
Penunjukan I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tak luput dari sorotan publik. Siapa dia? Sosoknya baru muncul setelah menjadi menteri.
Baca juga: Keberadaan Perempuan dalam Kabinet
Dia ternyata istri dari politisi PDI-P yang pada periode pertama pemerintahan Jokowi didapuk menjabat Menteri Koperasi dan UMKM, yaitu Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga. Sebelum ditunjuk menjadi menteri, dia menjabat Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Pemerintah Kota Denpasar.
Menteri desa
Selain Ayu Bintang, penunjukan Abdul Halim Iskandar sebagai Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi juga menuai kejutan.
Wakil Ketua DPRD Jawa Timur dari Fraksi PKB ini merupakan kakak dari Ketua Umum PKB Muhaimin ”Cak Imin” Iskandar. Di dunia politik, dia memulai kariernya sejak 1999 dengan menjadi Ketua DPC PKB Jombang. Sebelumnya, dia tercatat pernah menjadi guru dan dosen.
Adanya hubungan keluarga dengan Cak Imin membuat tak sedikit orang menafsirkan, dia terpilih menjadi menteri hanya karena hubungan keluarga tersebut, bukan karena kapasitas yang dimilikinya.
Baca juga: Belajar dari Kabinet Kerja
Jaksa agung
Penilaian penunjukan menteri karena adanya hubungan keluarga dengan elite partai politik juga muncul dari dipilihnya ST Burhanuddin untuk mengisi posisi Jaksa Agung. Burhanuddin merupakan adik kandung politisi senior PDI-P, TB Hasanuddin, yang kini menjabat anggota DPR dari PDI-P.
Penilaian itu muncul karena sosok ini jarang terlihat di publik. Kiprahnya di Kejaksaan Agung pun sudah berakhir tahun 2014 dengan jabatan terakhir sebagai Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.
Baca juga: Jaksa Agung Jangan Sampai Terpengaruh Kepentingan Parpol
Burhanuddin memang sudah menyatakan dirinya tak terafiliasi dengan partai politik sekalipun kakaknya kader PDI-P. Dia juga menegaskan dipilihnya dia bukan karena adanya hubungan keluarga dengan TB Hasanuddin. Namun, tetap saja, pernyataan itu tak menggugurkan pandangan sebagian publik.
Kepercayaan publik
Di luar nama-nama menteri yang diragukan tersebut, masih ada menteri-menteri lain yang juga diragukan akan bisa mengemban tugas sebagai menteri. Maka, kejutan yang dihadirkan dari Istana untuk publik pada Senin (22/10/2019), berubah menjadi antiklimaks pada Rabu (23/10/2019).
”Efek kejutannya tidak begitu terasa. Masyarakat antusias di hari pertama pemanggilan. Di hari selanjutnya? Antiklimaks,” kata peneliti Departemen Politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes.
Baca juga: Beban Sosial Pemerintahan Baru 2019-2024
Dengan demikian, tugas berat kini menanti pemerintahan Jokowi-Amin. Arya menilai, untuk mengembalikan kepercayaan publik, hasil kinerja kabinet harus nyata terasakan oleh masyarakat.
”Jadi, sekarang pemerintah punya tugas berat untuk meningkatkan kepercayaan publik dan memberikan keyakinan bahwa para menteri ini adalah pilihan terbaik meski itu tidaklah mudah,” katanya.
Jadi, selamat bekerja, Pak Jokowi dan Kabinet Indonesia Maju! Jadikan keraguan publik ini sebagai pelecut semangat untuk melahirkan karya-karya yang nyata bagi publik.