Politikus Partai Golkar Zainudin Amali ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga. Saat mengumumkan nama Zainuddin, pesan Presiden hanya singkat, ”Sepak bolanya, Pak!”
Oleh
Prayogi Dwi Sulistyo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hari Rabu (23/10/2019), Presiden Joko Widodo mengumumkan susunan menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Merdeka, Jakarta. Ketika memanggil nama Zainudin Amali sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, Jokowi tidak menyebutkan tugas menteri seperti yang lainnya. Presiden hanya menuturkan satu kalimat pendek, ”Sepak bolanya, Pak.”
Kalimat tersebut seperti memberikan harapan baru bagi pencinta sepak bola Indonesia. Pelatih tim nasional sepak bola U-23 Indra Sjafri pun menyambut baik kepedulian Jokowi terhadap sepak bola. ”Ya, bagus. Itu yang ditunggu-tunggu banyak orang, sepak bola yang lebih baik dan berprestasi,” ujar Indra melalui pesan singkat.
Ia berharap pemerintah, dalam hal ini diwakili Kemenpora, dapat bekerja sama dengan PSSI untuk membenahi sepak bola. Namun, PSSI tetap menjadi penanggung jawab utama untuk meningkatkan prestasi sepak bola Indonesia.
Sejak 1990-an hingga sekarang, prestasi tim nasional sepak bola terus menurun dan minim prestasi. Di tingkat Asia Tenggara, Indonesia masih tertinggal jauh dengan Thailand pada ajang Piala AFF ataupun SEA Games.
Indonesia belum pernah menjuarai Piala AFF. Prestasi terbaik di ajang ini adalah menjadi runner-up sebanyak lima kali. Pada turnamen ini, Indonesia juga kalah dengan Singapura, Vietnam, dan Malaysia yang pernah menjadi juara.
Di SEA Games, Indonesia baru memperoleh dua kali medali emas, sedangkan Thailand sudah meraih 15 medali emas. Ironisnya, dua medali emas tersebut diraih Indonesia pada 1987 di Jakarta dan 1991 di Manila atau tiga dekade lalu. Di turnamen ini, jumlah medali emas Indonesia juga masih kalah dengan Malaysia dan Myanmar.
Di Piala Asia, prestasi tertinggi Indonesia hanya sampai pada babak grup, yakni pada 1996, 2000, 2004, dan 2007 saat menjadi tuan rumah. Selebihnya, Indonesia tidak pernah lolos kualifikasi semenjak keikutsertaannya sejak 1968.
Sejak 1990-an, Indonesia tidak pernah menorehkan prestasi bagus di tingkat global. Padahal, pada 1986 timnas hampir lolos ke Piala Dunia setelah mampu melaju hingga fase terakhir babak kualifikasi. Mereka gagal lolos setelah takluk dari Korea Selatan dengan agregat 1-6.
Prestasi ini adalah yang tertinggi setelah Indonesia lolos ke Piala Dunia 1938 saat masih bernama Hindia Belanda. Di Olimpiade, Indonesia pernah melaju hingga perempat final pada tahun 1956 di Melbourne, Australia. Timnas tampil mengejutkan karena mampu menahan sang juara Uni Soviet meskipun pada laga ulangan kalah 0-4.
Kedua prestasi tersebut kini tinggal kenangan sebab tak pernah ada lagi prestasi yang ditorehkan timnas Indonesia. Kisruh di PSSI, kasus suap, perkelahian antarpemain dan suporter, serta kualitas kompetisi yang buruk lebih banyak dibicarakan penggemar sepak bola Indonesia.
Pengamat sepak bola, Yesayas Oktavianus, mengungkapkan, dari pernyataan Presiden Jokowi tersebut terlihat bahwa ia sangat peduli pada kemajuan sepak bola. Hal itu terjadi karena prestasi sepak bola Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir telah tertinggal jauh dari negara lainnya. Alhasil, Jokowi mengingatkan kepada Menpora agar membenahi sepak bola.
Meskipun upaya peningkatan prestasi sepenuhnya ada dalam tanggung jawab PSSI, Menpora harus melakukan kontrol yang ketat. ”Jadi, permintaan Jokowi, Menpora harus serius dalam bekerja. Jika PSSI melakukan kesalahan, harus segera ditegur. Namun, Menpora tidak perlu mengintervensi PSSI,” ujar Yesayas.
Terkait dengan berita buruk yang terus menghiasi sepak bola Indonesia, Yesayas mengatakan, butuh proses panjang untuk membenahinya, seperti kasus kerusuhan antarsuporter. Untuk memberikan efek jera, menurut Yesayas, proses yang dapat dilakukan PSSI adalah dengan memberikan sanksi tegas kepada klub.
Salah satu sanksi yang bisa diterapkan adalah dengan bermain di lokasi yang jauh. Jika klub berasal dari Pulau Jawa, mereka harus bermain di Aceh atau Papua. Sanksi tersebut juga harus dilaksanakan secara konsisten. ”Selama ini, sanksi tersebut diterapkan, tetapi tidak sampai tuntas,” ujar Yesayas.
Presidium Slemania Dwi Purnomo mengungkapkan, sebagai salah satu basis suporter terbesar di Indonesia, Slemania selalu berharap ada kerukunan antarsuporter. Mereka ingin suporter Indonesia adu kreativitas daripada adu fisik.
Di sisi lain, suporter ingin PSSI mengembalikan kepercayaan mereka yang selalu mendukung ketika timnas bertanding. ”Kami telah keluar tenaga banyak untuk mendukung timnas. Kami ingin timnas bermain lebih bagus lagi,” ujar Dwi.
Kalah dengan yunior
Ketika tim nasional senior Indonesia minim prestasi, sebaliknya tim yunior Indonesia mampu menghadirkan banyak prestasi yang membanggakan. Dalam satu dekade terakhir, tim yunior Indonesia mampu menjadi juara dunia di ajang Gothia Cup hingga juara Piala AFF dan lolos ke Piala Asia kelompok umur.
Akan tetapi, prestasi tersebut hanya dapat diraih pemain ketika masih berada tim nasional yunior. Saat beranjak ke timnas senior, mereka sulit menghadirkan prestasi meskipun masih tetap menjadi pemain andalan, seperti Evan Dimas, I Putu Gede Juni Antara, Yanto Basna, dan Hansamu Yama Pranata.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Indra Sjafri yang pernah menangani mereka di tingkat yunior meminta agar PSSI memperbaiki pola pengembangan pemain muda. ”Mereka harus diberikan wadah setelah masuk ke timnas senior dan diberikan kesempatan bermain di kompetisi senior secara berjenjang,” ujar Indra.
Hal serupa dituturkan Yesayas. Untuk mengatasi masalah ini, perbaikan kompetisi pada kelompok umur harus segera dilakukan. Pemain muda harus dididik secara profesional, seperti aturan main dan pola hidup disiplin, sehingga ketika sudah masuk ke jenjang senior mereka sudah siap.