Dalam situasi yang asimetris, negara produsen pangan kerap memilih mengamankan stok dalam negeri ketimbang bekerja sama menjamin kemakmuran negara lain. Kalimat yang menggambarkannya, ”Biarkan tetanggamu kelaparan”.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Krisis bawang merah di Asia Selatan dan daging babi di sejumlah negara baru-baru ini bisa jadi amsal paling pas tentang krusialnya urusan perut warga. Pada akhir September 2019, Pemerintah India resmi melarang ekspor bawang, selain menindak para penimbun dan memperketat wilayah perbatasan untuk memastikan tidak ada sebutir bawang pun diselundupkan ke luar India.
Langkah itu ditempuh setelah harga bumbu utama itu terus naik dan mencapai titik tertinggi dalam enam tahun terakhir. Kekeringan yang disusul hujan yang lama mengganggu produksi dan membuat pasokan bawang merah turun drastis. Sejumlah negara yang selama ini mendapat pasokan dari India, seperti Bangladesh, Sri Lanka, dan Nepal, ikut kelabakan. Pasokan bawang turun hingga memicu kelangkaan dan antrean panjang pembeli.
Dampak demam babi Afrika (African swine fever) juga signifikan. Sampai 28 September 2019, sebagaimana laporan Reuters, demam babi Afrika telah mewabah dan menjangkiti ternak di sejumlah negara, seperti China, Vietnam, Laos, Filipina, Hong Kong, Timor Leste, Thailand, Korea Selatan, Rusia, Hongaria, dan Bulgaria.
Sejumlah negara menggelar pemusnahan babi secara besar-besaran untuk menghentikan penyebaran penyakit tersebut. China dilaporkan telah memusnahkan 1,2 juta babi, sementara Vietnam memusnahkan 4,8 juta babi. Pemerintah Vietnam bahkan memobilisasi militer dan polisi untuk membantu mengatasi wabah demam babi Afrika.
Krisis bawang merah dan daging babi memang tak terjadi di Indonesia. Setidaknya sampai awal Oktober 2019 belum ada laporan penyakit itu. Keduanya juga bukan sumber pangan pokok yang dikonsumsi penduduk negeri ini. Namun, kemarau panjang dan kekeringan tahun ini telah mengirim sinyal waspada terhadap risiko gejolak pangan.
Luas panen dan produksi beberapa komoditas turun akibat mundurnya jadwal tanam. Kekeringan juga membuat produktivitas lahan turun dan sebagian tanaman puso. Badan Pusat Statistik mencatat, luas panen padi sepanjang Januari-September 2019 mencapai 8,99 juta hektar, turun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yakni 9,53 juta hektar. Adapun produksi beras selama Januari-September turun dari 28,48 juta ton (2018) menjadi 26,91 juta ton (2019).
Selain padi, kekeringan dikhawatirkan juga mengganggu produksi komoditas lain, seperti bawang merah, beberapa bulan ke depan. Sebab, awal tanam mundur karena hujan belum juga turun.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, awal musim hujan di 253 zona musim (74 persen) di Indonesia diperkirakan mundur jika dibandingkan dengan rata-rata 30 tahun (1981-2010). Dari 342 zona musim, 69 zona (20,2 persen) akan masuk musim hujan pada Oktober 2019, sementara 161 zona (47,1 persen) baru mulai hujan pada November 2019 dan 79 zona (23,1 persen) pada Desember 2019.
Sejumlah kementerian/lembaga pemerintah mengklaim stok pangan, terutama beras, aman hingga beberapa bulan ke depan. Perum Bulog mengklaim stok beras mencukupi kebutuhan hingga panen raya pada April 2020. Namun, situasi di lapangan bisa sebaliknya, terutama karena faktor cuaca yang menentukan awal tanam dan produksi pangan.
Selain itu, klaim ”aman” telah berulang tidak terbukti di pasar, seperti terjadi pada akhir 2015 dan 2017. Data produksi yang fantastis membuai dan menutup pandangan bahwa produksi dan stok di dalam negeri kurang. Pemerintah akhirnya memutuskan impor. Namun, pasar telanjur bergejolak karena pasokan berkurang.
Barangkali perlu diingat, pasar beras dunia merupakan pasar yang ”kurus” dan tak imbang. Sejumlah lembaga memperkirakan hanya 5-7 persen dari seluruh produksi padi dunia yang diperdagangkan melintasi batas negara.
Banyak negara mengimpor makanan pokok separuh penduduk dunia ini. Namun, kata Paul McMahon dalam buku Feeding Fenzy: The New Politics of Food, hanya Thailand, Vietnam, India, Pakistan, dan Amerika Serikat yang menguasai 80 persen ekspor beras dunia setiap tahun.
Dalam situasi yang asimetris, negara produsen tak jarang memilih mengamankan stok dalam negerinya, seperti kasus bawang merah India. Mereka mendahulukan kepentingannya, bukan bekerja sama untuk menjamin kemakmuran bersama. Kalimat yang menggambarkannya, seperti salah satu judul subbab buku itu, ”Biarkan tetanggamu kelaparan”.