Risiko Kegaduhan dan Lemahnya Kontrol dari Kabinet Jokowi-Amin
Dari wajah Kabinet Presiden-Wakil Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang mulai terlihat, terkandung dua risiko. Risiko kegaduhan di pemerintahan dan lemahnya kontrol oposisi terhadap pemerintahan.
Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, menjadi sorotan sejak Senin (21/10/2019). Sejumlah figur berkemeja putih masuk-keluar ruangan untuk memenuhi undangan Presiden Joko Widodo. Satu per satu menemui orang nomor satu di Indonesia itu untuk diberi arahan sekaligus dimintai komitmennya sebagai menteri yang akan membantu Presiden selama lima tahun ke depan.
Kehadiran sejumlah calon menteri cukup mengejutkan karena sosoknya yang kontroversial. Bukan secara pribadi, melainkan sikap politiknya yang berseberangan dengan Joko Widodo semasa Pemilu Presiden (Pilpres) 2019.
Mereka adalah Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Edhy Prabowo. Kedatangan dua politisi dari partai yang mengusung calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno itu merupakan kulminasi dari lobi-lobi politik yang sudah digencarkan sejak kalah pada gelaran Pilpres 2019.
Hampir dipastikan, Gerindra akan mengisi dua kursi menteri dalam Kabinet Jokowi-Amin. Tak hanya itu, posisi politik Gerindra dipastikan akan masuk dalam jajaran koalisi partai politik pendukung pemerintahan Jokowi-Amin atau disebut Koalisi Indonesia Kerja (KIK).
Jika Gerindra yang merupakan rival politiknya saja diberi ruang di kabinet, sudah barang tentu anggota KIK mendapatkan jatah.
Hingga Selasa (22/10/2019) malam, setidaknya ada tiga politisi PDI-P yang terlihat menghadap Presiden. Mereka adalah Tjahjo Kumolo, Yasonna Laoly, dan Juliari Batubara. Tjahjo merupakan mantan Menteri Dalam Negeri pada periode pertama pemerintahan Jokowi. Begitu pula Yasonna Laoly yang menjabat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Adapun Juliari menjabat Wakil Bendahara Umum PDI-P.
Kemudian, setidaknya tiga jatah posisi menteri untuk Golkar yang akan diisi oleh Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dan dua politisi senior Golkar, Zainudin Amali dan Agus Gumiwang Kartasasmita. Adapun politisi Golkar dari Sulawesi Utara, Christiany Eugenia Paruntu, yang dipanggil Senin (21/10/2019), urung menjadi menteri karena rekam jejaknya bermasalah.
Baca juga: Tabir Bupati Minahasa Selatan Christiany Batal Jadi Menteri Terkuak
Sebanyak tiga posisi menteri juga diberikan kepada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ketiganya akan diisi oleh Ida Fauziyah, Abdul Halim Iskandar, dan Agus Suparmanto.
Tiga kursi menteri juga diperoleh Partai Nasdem yang hampir pasti akan diisi oleh Sekretaris Jenderal Nasdem Johnny G Plate, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014-2019 Siti Nurbaya Bakar, dan Gubernur Sulawesi Selatan 2008-2018 Syahrul Yasin Limpo.
Sementara dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hanya terlihat Pelaksana Tugas Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa yang dipanggil Presiden.
Dengan demikian, setidaknya sudah ada 15 kursi dari total maksimal 34 kursi menteri yang dikuasai kader partai politik.
Kontrol lemah
Sementara politisi dari Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tak terlihat di antara yang dipanggil Presiden hingga Selasa malam. Jika hingga tiba waktu pelantikan menteri Kabinet Jokowi-Amin II, Rabu (23/10/2019) ini, politisi dari ketiga partai tak terlihat, bisa dipastikan mereka akan berada di luar pemerintahan atau menjadi oposisi.
Gabungan ketiga partai itu di DPR menguasai 148 dari total 575 kursi, dengan rincian Demokrat 54 kursi, PKS 50 kursi, dan PAN 44 kursi. Sebaliknya, KIK plus Gerindra menguasai sebanyak 427 kursi atau sekitar 74,26 persen.
”Insya Allah PKS setia oposisi. Oposisi sehat bagi demokrasi,” kata Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera.
Namun, dengan kemungkinan hanya tiga partai yang berada di luar pemerintahan, menurut dia, tak akan mudah menjalankan peran sebagai pengawas pemerintahan. ”Sangat tidak sehat,” ujarnya.
Padahal, oposisi yang kuat berperan sangat penting dalam menjaga stabilitas negara. Oposisi yang kuat, kata Mardani, dapat memindahkan kegundahan masyarakat ke ruang kontestasi gagasan di dalam parlemen.”Bahayanya jika sentimen masyarakat ini tidak berhasil ditampung parlemen, dikhawatirkan muncul aksi-aksi ekstraparlementer,” kata Mardani.
Baca juga: Rangkap Jabatan Menteri Ancam Fokus Kerja
Bagaimana dengan PAN dan Demokrat?
Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan sebenarnya sempat bertemu Presiden Jokowi sebelum Jokowi dan Ma’ruf Amin dilantik sebagai Presiden-Wakil Presiden 2019-2024. Presiden Jokowi kala itu sempat menyebut ada pembicaraan terkait koalisi, tetapi pembicaraan belum mencapai kata sepakat.
Partai Demokrat tidak dapat menilai lebih lanjut, kami hanya memberikan apresiasi, kami hanya menonton dan melihat.
Ditemui secara terpisah di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, Ketua Fraksi Demokrat di DPR Edhie Baskoro Yudhoyono dan Ketua DPP PAN Yandri Susanto menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden Jokowi.
”Kami menyerahkan penuh karena ini, kan, hak prerogatif presiden ya, tentu Partai Demokrat tidak dapat menilai lebih lanjut. Kami hanya memberikan apresiasi, kami hanya menonton dan melihat,” kata Edhie.
Soal posisi politik Demokrat jika tak ada kader Demokrat yang dipilih masuk ke kabinet, Edhie mengatakan hal itu belum diputuskan.
Baca juga: Sinyal Oposisi Surya Paloh
Adapun Yandri menyebut partainya tidak mengajukan satu pun kadernya untuk masuk kabinet. Tidak ada pula lobi-lobi khusus. ”Itu hak prerogratif Pak Jokowi. Kami tidak mengajukan nama, pun tidak lobi-lobi khusus,” katanya.
Terkait posisi politik PAN ke depan, dia mengatakan PAN akan mendukung kebijakan pemerintah yang pro-rakyat. Sebaliknya, akan bersikap kritis jika kebijakan itu bertentangan dengan kehendak rakyat.
Risiko kegaduhan
Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman, melihat upaya Jokowi memperluas koalisi dengan mengundang eks rivalnya dalam Pilpres 2019 adalah cara menyerap seluruh kekuatan politik.
Ketika kekuatan yang selama ini di luar itu diakomodasi, belum tentu harmoni yang tercipta, tetapi malah kegaduhan.
Penyerapan berbagai kekuatan politik tersebut diharapkan dapat mengurangi kegaduhan politik yang dimunculkan oleh pihak-pihak yang tidak terserap ke kekuasaan pada periode pertama lalu. Kegaduhan tersebut mengganggu pemerintah dalam mengimplementasikan program-programnya.
Namun, Airlangga menilai, langkah tersebut mengandung risiko yang besar. Sebab, sangat mungkin terjadi, langkah tersebut hanya memindahkan kegaduhan politik ke dalam lingkaran kekuasaan.
”Ketika kekuatan yang selama ini di luar itu diakomodasi, belum tentu harmoni yang tercipta, tetapi malah kegaduhan,” kata Airlangga.
Baca juga: Tanpa Oposisi, Indonesia Akan Menjadi Negara ”Kekeluargaan”
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana pun melihat, kerja Kabinet Kerja Jilid II berpotensi tak optimal karena mengakomodasi terlalu banyak kepentingan. Koalisi yang diisi oleh pihak-pihak dengan visi dan misi yang berbeda jelas akan menimbulkan sejumlah pertentangan.
Selain itu, tidak bisa dimungkiri bahwa kabinet juga berisi beberapa tokoh yang memiliki kans kuat untuk ikut berkontestasi dalam Pemilu 2024. Mereka cenderung akan mengambil kesempatan baik untuk dirinya maupun partai untuk bisa bertarung habis-habisan lima tahun mendatang.
”Oleh karena itu, diperlukan ketegasan Presiden Jokowi untuk memastikan bahwa anggota kabinetnya akan bekerja sesuai koridor program serta visi dan misinya,” kata Aditya.
Profesional
Selain merekrut sejumlah tokoh dari partai politik, Presiden Joko Widodo juga memberikan ruang lebih luas kepada kalangan profesional. Hingga Selasa malam, tercatat sudah ada 20 calon menteri dari kalangan profesional, enam di antaranya mantan menterinya selama lima tahun terakhir.
Mereka adalah Sri Mulyani, Basuki Hadimuljono, Budi Karya Sumadi, Sofyan Djalil, Bambang Brodjonegoro, Luhut Binsar Pandjaitan, dan Pratikno. Di samping itu, ada pula sejumlah mantan kepala lembaga dan staf khusus presiden, yaitu Moeldoko, Nico Harjanto, dan Teten Masduki.
Baca juga: Antisipasi Dampak dari Restrukturisasi Kementerian
Sesuai dengan janji Presiden Jokowi pada masa awal keterpilihannya, ia akan menghadirkan sejumlah wajah baru, berusia muda, dan kompeten di bidangnya masing-masing untuk menjadi menteri. Untuk itu, dipilih pendiri Go-Jek Nadiem Makarim, pendiri Mahaka Group Erick Thohir, Komisaris Utama Net Media TV Wishnutama Kusubandio, Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Bahlil Lahadalia, dan Kepala RSPAD Gatot Soebroto Terawan Agus Putranto.
Selain itu, sejumlah kalangan yang memiliki rekam jejak memimpin lembaga negara juga diundang Presiden. Mereka adalah Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, dan mantan Wakil Panglima TNI Jenderal (Purn) Fachrul Razi.
Baca juga: Tim Tujuh Bantu Presiden, Sinyal Tito Masuk Kabinet Menguat
Aditya Perdana mengatakan, kehadiran sejumlah tokoh profesional itu memberikan pesan yang kuat. Presiden Jokowi ingin menunjukkan, melalui kepemimpinan orang-orang tersebut, kabinet bisa bekerja efektif dan efisien.
Beberapa mantan menteri yang dipertahankan pun, seperti Basuki Hadimuljono dan Sri Mulyani, menunjukkan perhatian khusus Presiden pada pembangunan infrastruktur dan stabilitas ekonomi.