Ribuan Kilometer Merekam Keresahan Rimba Terakhir Dayak Tomun
Rival "Palo" Himran dan Estu Pradana rekaman beberapa lagu di dalam hutan Dayak Tomun di Lamandau, Kalimantan Tengah. Tak hanya lagu, mereka juga merekam keresahan alam.
“Waduh, listriknya mati lagi,” keluh Estu Pradana, arranger asal Jakarta di sudut hutan belantara Dayak Tomun di Kubung, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Ia sedang merekam beberapa lagu di dalam hutan. Tak hanya lagu, mereka juga merekam keresahan alam.
Begitulah gambaran kecil kesulitan Estu saat merekam lagu di dalam hutan. Lagu yang dibuat dan direkam itu untuk mengampanyekan kerusakan lingkungan dan harapan hidup lestari.
Estu tidak sendiri, ia ditemani kawan satu band-nya, Rival “Palo” Himran, yang dikenal sebagai pemain bass Steven and Coconut Treez. Sebelumnya mereka memiliki proyek musik yang dikenal dengan "Proyek MAN".
Kali ini, keduanya mencoba membuat musik yang lebih dari sekedar bermusik dan menciptakan lagu. Mereka ikut ambil bagian dalam kampanye anti kerusakan lingkungan.
Keduanya datang dari Jakarta ke Kalimantan Tengah menempuh perjalanan 1.349 kilometer (km) untuk mendengarkan langsung berisik suara alam dari hutan Kubung, yang saat ini dinilai sebagai rimba tersisa di Kabupaten Lamandau. Tersisa dari masifnya alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan dan pertambangan.
Senin (16/9/2019) lalu, Estu dan Palo datang ke Kubung. Untuk ke tempat itu, dari ibu kota Kalteng, Kota Palangkaraya, membutuhkan waktu 15 jam perjalanan. Namun, barisan pohon-pohon besar nan hijau, kicauan burung, tarian ikan-ikan dari dalam sungai, dan aroma jolomu akan membayar lunas kelelahan perjalanan dengan jarak 615,8 km itu.
Di sana mereka diterima oleh R.K Maladi, seorang guru di pedalaman yang juga dikenal sebagai tukang musik di kampungnya. Maladi sempat kebingungan melihat begitu banyak kotak-kotak besi besar yang dibawa kedua pemusik itu.
Semuanya berisi perlengkapan merekam, seperti pelantang suara, audio interface, berbagai jenis kabel, hingga speaker kecil. Peralatan yang belum pernah dilihat Maladi sebelumnya.
Satu malam berlalu dihabiskan untuk mencari tempat merekam. Beberapa orang di desa bersedia meminjamkan rumahnya, gudangnya, bahkan kamarnya untuk menjadi studio sementara.
Akan tetapi, Estu memilih lain. Tak sengaja dirinya dan Palo yang sudah dua kali datang ke hutan itu, melihat pohon atau sejenis jelutung (Dyera costulata) yang tinggi menjulang sekitar 45-50 meter.
“Nah, ini pas nih, akarnya gede banget tuh, udah kaya ruang kecil buat jaga suara,” imbuh Estu yang diikuti anggukan kepala Palo.
“Yakin mau di situ,” sambung Maladi.
Akhirnya, di bawah pohon jolomu mereka memasang alat perekam. Dibantu beberapa warga pedalaman Kubung, mereka mengatur pohon besar itu menjadi lokasi studio rekaman. Ini seperti studio rekaman terbesar, karena memang hanya di kelilingi pohon-pohon besar dan sungai kecil di belakangnya.
Keringat bercucuran saat Estu mencoba memberi instruksi kepada warga sekitar untuk memasang peralatannya. Di bukit kecil di depan pohon besar itu, Palo sibuk mengatur suara beberapa anak-anak desa yang ikut bernyanyi, entah sebagai penyanyi utama atau penyanyi latar.
Setelah studio alam itu selesai, kendala demi kendala datang. Namun, selalu ada solusi. Pertama, listrik yang sulit karena di desa itu belum ada listrik negara. Untung saja ada generator milik sekolah yang boleh dipinjam. “Awalnya ada generator kecil, tapi mati mulu. Ini udah tiga kali ganti generator,” kata Estu.
Sedikitnya terdapat tujuh lagu yang direkam, yakni Hutan Indoi Kito, Posan Pontal, Sungai Dilang, Rayah Muar, Sonang Lomak Bondar, Himat Gonang, dan HHK. Sebagian besar lagu diciptakan Palo dan Maladi.
Salah satu lagu berjudul Hutan Indoi Kito (hutan adalah ibu kita) dalam bahasa dayak Tomun memecah suasana di hutan. Iringan gitar Palo dan gambang atau instrumen ketuk asli Dayak Tomun milik Maladi menyatu di antara daun-daun. Suara jangkrik dan hewan liar lainnya di hutan tak mau kalah, mengiringi musik mereka.
Dalam sehari, Estu dan Palo bisa merekam dua sampai tiga lagu. Lalu, diikuti proses mixing yang juga dilakukan di studio alam itu.
Satu lagu selesai, mereka semua terdiam. Berusaha konsentrasi mendengar lagu gubahan mereka sendiri. Palo ada di sudut di antara pohon berbaring pada hammock. Usai mendengar lagu Hutan Indoi Kito, ia berdiri terlihat air matanya terjatuh.
Maladi berlari masuk ke hutan entah apa yang ia lakukan dibalik hutan. “Saya menangis, saya malu menangis di depan mereka,” ungkap Maladi sambil mengunyah sirih.
Dalam lagu Hutan Indoi Kito, Palo dan Maladi meminta salah satu gadis desa, Tenten (14), untuk menyanyi. Tak disangka suaranya dinilai begitu menyatu dengan alam. “Dia bukan penyanyi profesional, tetapi bisa menyanyi dengan jiwa,” ungkap Palo.
Maladi tak menyangka, banyak lagu yang ia buat bisa direkam dengan peralatan canggih dan menjadi musik yang anggun. Semua lirik lagu dibuat dalam bahasa Dayak Tomun dan Indonesia. “Lagu Posan Pontah itu digunakan saat orang sakit, seperti mantra, ternyata jadinya bagus,” ungkap Maladi.
Uniknya, dua dari empat lagu yang direkam itu diciptakan di hutan yang sama setahun lalu. Maladi, Palo, dan Estu dan beberapa warga desa tidur di hutan, bukan mencari inspirasi, tetapi inspirasi yang mendatangi mereka hingga lagu itu dibuat.
Frekuensi alam
Jadilah empat lagu berhasil direkam lengkap dengan proses mixing. Butuh satu studio lagi untuk membantu Estu menggubah lagu-lagu yang direkam.
Akhirnya, mereka menggunakan gubuk milik ayah Maladi. Di rumah panggung itu Estu berkutat dengan headphone dan laptopnya. Sesekali ia meminta pendapat Palo saat lagunya sudah berhasil di-mixing.
Proses ini membutuhkan waktu lama. Satu lagu bisa dimixing hingga dua hari. Proses paling lama adalah menyatukan suara hutan dengan musik yang dimainkan.
“Alam punya musiknya sendiri, suara berisik di hutan tu justru menjadi kelebihan lagu-lagu ini. Kalau enggak, ngapain saya jauh-jauh ke hutan. Mendingan orangnya aja dibawa ke Jakarta,” ungkap Estu.
Menurut Estu, alam memiliki frekuansi rata-rata dengan pola 4-3-2. Untuk menyatukan suara alam dengan musik, ia menggunakan pola 4-4-0. Dengan frekuensi itu memudahkan lagu tradisional dengan instrumen Dayak Tomun yang nyaris tanpa tempo bisa menyatu.
Alat-alat musik seperti gendang, gambang, gong, dan berbagai macam alat musik tradisional Dayak Tomun lainnya menyatu dengan suara gitar dan peralatan musik modern yang dibawa Estu.
Pola frekuensi, lanjut Estu, menjadi kunci dalam mixing lagu. Saat pola frekuensi dirubah, suaranya bertabrakan. Antara suara jangkrik dan binatan hutan lainnya dengan suara musik tidak menyatu. Bahkan dengan peralatan yang dimiliki, Estu mampu menaikkan dan menurunkan suara hutan.
Ada jeda di mana suara hutan itu dibuat lebih besar, ada saat di mana suaranya senyap. Namun, mereka beriringan dengan sempurna.
Keresahan
Bagi musisi seperti Rival Himran, membuat lagu dengan tema kerusakan alam bukan yang pertama. Pada Project MAN, pria asal Palu (Sulawesi Tengah) ini, bersama Estu, juga sudah membuat musik dan lagu dengan tema yang sama.
Bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah, Save Our Borneo (SOB), serta Justice, Peace, and Integrated Creation (JPIC) Kalteng, mereka menunjukkan bagaimana hutan menjadi sumber kehidupan untuk manusia. Meskipun di satu sisi deforestasi begitu gencar terjadi.
Berdasar data Walhi Kalteng, tutupan hutan di Kalteng turun tiap tahun. Jika tahun 1990 masih 11,05 juta hektar, maka 2014 tinggal 7,8 juta hektar karena dibabat untuk beragam kepentingan. Wilayah Kalteng secara keseluruhan mencapai 15,8 juta ha, di mana 78 persen atau 11,3 juta ha sudah berada pada ijin konsesi, baik yang sudah maupun yang belum beroperasi.
Bagi Palo, musik bisa menuntun dirinya untuk mengambil sikap yang benar. Ia sudah mengalami langsung rusaknya alam di kampung halamannya, di mana bukit-bukit dihancurkan menjadi tambang-tambang, hutan dibabat menjadi perkebunan.
“Pada Project MAN, konten-kontennya bercerita tentang kegelisahan tentang etika serta kerusakan alam, musik seperti ini menuntun saya bersikap benar melihat keresahan itu,” ungkap Palo.
Berbeda dengan Palo, Estu punya alasan sendiri. Berusaha membuat musik yang baik dengan pesan moral adalah tabungan moral untuk anak-anaknya.
“Saya mau suatu saat anak saya mendengar dan melihat karya saya di hutan dan bangga. Saya mau pesan untuk menjaga hutan itu sampai ke telinga semua orang, dan itu saya lakukan untuk keluarga saya,” ungkap Estu.
Ada banyak cara menjaga hutan. Estu dan Palo menunjukkan bahwa itu bisa dilakukan siapapun dengan caranya masing-masing. Tidak harus menjadi warga yang tinggal di kawasan hutan untuk peduli pada keberlanjutan hutan dan seisinya.