Nadiem Diminta Selesaikan Krisis SDM Ekonomi Digital
Harapan besar tertumpu pada Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Pelaku industri mengharapkan Nadiem dapat mengatasi krisis sumber daya manusia dalam ekonomi digital.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan pelaku industri menilai, kebutuhan sumber daya manusia dalam ekonomi digital sudah sangat mendesak. Kehadiran Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan diharapkan mampu menyeimbangkan kebutuhan sumber daya manusia dengan cepatnya pertumbuhan industri.
Nadiem resmi dilantik sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan oleh Presiden Joko Widodo pada Rabu (23/10/2019) di Istana Negara, Jakarta. Pendiri Go-Jek itu akan menjadi tulang punggung pemerintahan Jokowi yang menargetkan percepatan pembangunan sumber daya manusia (SDM) dalam lima tahun ke depan.
Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung mengatakan, Nadiem yang sebelumnya pelaku di industri ekonomi digital memang memberikan harapan revolusi SDM. Selama ini, lembaga pendidikan cenderung tidak adaptif terhadap perubahan kebutuhan industri.
”Selama ini yang menghambat justru perguruan tinggi. Karena institusi yang harusnya mencerdaskan, tetapi kurang bisa bergerak cepat mengadopsi hal baru. Kalau mau ngejar ketertinggalan, Nadiem harus radikal dan mengubah paradigma lama,”tutur Untung.
Menurut Untung, penambahan program studi (prodi) baru harus prediktif dalam menyesuaikan kebutuhan industri. Setidaknya, kualitas SDM tidak tertinggal terlalu jauh dibandingkan dengan kecepatan perkembangan teknologi.
Prodi yang seharusnya sudah ada misalnya pemasaran digital. Kebutuhan SDM pemasaran digital sudah bertahun-tahun, tetapi belum ada prodi khusus yang mempelajari hal tersebut di universitas.
”Sekarang ini sangat sulit cari SDM berkualitas. Belum lagi sering dibajak pemain lain. Mau cari lagi mahal. Yang paling kurang di bidang teknologi, spesifik ke data, infrastruktur, digital marketing juga,” ucapnya.
Keterbatasan itu menyebabkan banyak pelaku industri ekonomi digital memanfaatkan perusahaan pihak ketiga. Hal tersebut membuat kebutuhan biaya meningkat dan kerahasiaan data tidak terjaga.
Untung menambahkan, persoalan ini juga perlu diselesaikan dari pendidikan sekolah menengah atas (SMA). Pelajar SMA perlu diberikan pengetahuan terkait industri yang sedang berkembang. Hal itu untuk menjadi dasar dalam mengambil jurusan di kuliah.
”Di SMA, kan, selama ini hanya terbagi jadi dua bagian. Anak yang ingin gampang kerja dan yang satu lagi belum tahu mau jadi apa. Hasilnya antiklimaks saat masuk kuliah. Mereka jadi tidak punya tujuan besar,” ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Fintech dan Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Adrian Gunadi menyatakan, pekerjaan rumah terbesar bagi pemerintahan dalam lima tahun mendatang adalah pengembangan SDM. Jumlah SDM dalam bidang teknologi masih sangat minim.
”Terutama software developer dan programmer. Padahal, banyak sekali teman-teman WNI kerja di perusahaan teknologi seperti Apple dan Google. Bisa ditariklah agar bisa jadi change of agent,” kata Adrian.
Ia menjelaskan, kebutuhan SDM ini sudah sangat mendesak karena pertumbuhan ekonomi digital begitu pesat. Kecepatan itu wajib didukung dengan peningkatan kualitas SDM. Jika tidak, perusahaan nasional tidak akan mampu bersaing dengan global.
Kebutuhan SDM yang memiliki spesialisasi digital ini akan bertambah setiap tahun. Riset global oleh McKinsey & Company menyebutkan, pada 2030, akan ada 10 juta pekerjaan baru yang muncul karena perkembangan teknologi.
Sebelumnya, Presiden Direktur PT McKinsey Indonesia Phillia Wibowo menyebutkan, salah satu yang harus dikuasai pekerja adalah hard skill. Kemampuan itu bisa berupa menjadi analis data ataupun insinyur data.