Memperkuat Posisi Komnas Perempuan
Medio Oktober 2019, Panitia Seleksi Anggota Paripurna Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan Periode 2020-2014 melakukan uji publik terhadap 47 calon anggota komisi tersebut.
Medio Oktober 2019, Panitia Seleksi Anggota Paripurna Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan Periode 2020-2014 melakukan uji publik terhadap 47 calon anggota komisi tersebut. Dari calon itu, nanti panitia seleksi akan menetapkan 30 nama, yang kemudian akan dipilih 15 nama.
Dengan harapan, 15 komisioner yang akan terpilih nanti mewakili perempuan-perempuan di Tanah Air dalam menyuarakan hak asasi perempuan, serta tampil menjalankan peran dan tugas Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 tentang Komnas Perempuan, anggota komisi paripurna Komnas Perempuan harus diisi oleh tokoh-tokoh yang aktif memperjuangkan hak asasi manusia/memajukan kepentingan perempuan; mengakui adanya masalah ketimpangan jender; menghargai pluralitas agama dan ras/etnisitas dan peka terhadap perbedaan kelas ekonomi; serta peduli terhadap upaya pencegahan dan penghapusan segala bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan Indonesia.
Di luar itu, Komnas Perempuan periode mendatang juga harus diisi sosok yang tahan banting dalam menghadapi berbagai tekanan dari masyarakat yang masih lekat dengan budaya patriarki, terutama dari kalangan korservatif/fundamentalis yang belakangan ini menguat di tengah masyarakat.
Komnas Perempuan periode mendatang juga harus diisi oleh sosok yang tahan banting dalam menghadapi berbagai tekanan dari masyarakat.
Tak hanya itu, ke depan juga dibutuhkan sosok komisioner yang tidak hanya mampu berbicara ke publik dan organisasi masyarakat sipil, tetapi juga memiliki kapasitas dan keberanian sehingga mampu tampil berkomunikasi dengan pemerintah dan pemangku kebijakan. Sosok seperti itu sangat penting untuk menjembatani komunikasi Komnas Perempuan dan lembaga pemerintah.
Sebab, kenyataan di lapangan hingga kini, keberadaan Komnas Perempuan masih saja dipandang sebelah mata oleh lembaga pemerintah, dan lebih dianggap sebagai ”lembaga swadaya masyarakat”. Selama ini, Komnas Perempuan tidak selalu bahkan jarang dilibatkan dalam berbagai kegiatan pemerintah. Dalam pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual oleh tim pemerintah, misalnya, awalnya Komnas Perempuan tidak dilibatkan, baru belakangan diajak bergabung.
Mengingat dinamika persoalan perempuan yang akan dihadapi pada tahun-tahun mendatang semakin berat, sosok komisioner pun harus dari berbagai latar belakang. Tidak hanya didominasi oleh aktivis, tetapi juga latar belakang profesi lain, seperti dokter dan ahli hukum, termasuk dari kalangan birokrat.
Hadirnya sosok-sosok komisioner Komnas Perempuan yang sesuai kebutuhan Komnas Perempuan mendatang terungkap dalam Uji Publik Calon Komnas Perempuan yang berlangsung pada 14-15 Oktober 2019 di Jakarta.
”Komnas Perempuan menjadi lembaga hak asasi manusia yang paling progresif yang saat ini dimiliki Indonesia. Tetapi sayangnya, di saat yang sama kewenangannya terbatas. Sangat ironis,” ujar Veryanto Sitohang, Dewan Pengawas Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Medan, saat mengikuti uji publik hari kedua.
Penguatan lembaga
Dari sisi organisasi, semenjak berdiri tahun 1998 hingga kini, kepemimpinan Komnas Perempuan telah berlangsung lima periode, yakni periode 1998-2001, periode 2001-2004, periode 2004-2009, periode 2009-2014, dan periode 2014-2019.
Dari perjalanan selama 21 tahun, berbagai tantangan dihadapi Komnas Perempuan, termasuk posisi dan status Komnas Perempuan. Komnas Perempuan dibentuk pada 9 Oktober 1998 dengan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 yang ditandatangani Presiden BJ Habibie, dikuatkan dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 tertanggal 18 oktober 2005. Namun, landasan hukum yang hanya perpres membuat Komnas Perempuan tidak memiliki kekuatan seperti lembaga negara lain.
”Namanya Komnas Perempuan seharusnya tidak hanya khusus kekerasan karena hak-hak perempuan tidak hanya korban kekerasan. Karena itu, menurut saya, hendaknya kedudukan kelembagaannya ditingkatkan. Selama ini, secara kelembagaan, Komnas Perempuan sebetulnya bukan komnas karena hanya diatur perpres, sedangkan yang lain dengan undang-undang,” ujar Soelistyowati Soegondo, aktivis perempuan yang juga mantan anggota Komnas HAM.
Hendaknya kedudukan kelembagaannya ditingkatkan. Selama ini, secara kelembagaan, Komnas Perempuan sebetulnya bukan komnas karena hanya diatur perpres, sedangkan yang lain dengan undang-undang.
Ia mencontohkan, Komnas HAM awal mula ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komnas HAM, tetapi pada 1999 kedudukan Komnas HAM dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 karena kebutuhan organisasi tersebut.
Terlepas dari itu, kehadiran komisioner yang baru juga diharapkan akan semakin menguatkan Komnas Perempuan. Sebab, lembaga yang telah berusia 21 tahun ini menjadi tumpuan harapan bagi para perempuan-perempuan untuk menyuarakan dan memperjuangkan hak asasi manusia perempuan.
Sejumlah aktivis perempuan yang pernah menjadi komisioner pada periode pertama (1998-2001), seperti Rita Serena Kolibonso (Wakil Ketua) dan Nursyahbani Katjasungkana (anggota), juga menaruh harapan kepada calon komisioner Komnas Perempuan mendatang.
Menurut Rita, tantangan Komnas Perempuan ke depan semakin besar dan beragam, terutama terkait multikultur dan problem perempuan dari kelompok marginal/minoritas. ”Persoalan ini menuntut komisioner yang punya perspektif kuat dan mampu memahaminya. Belum lagi soal konflik sumber daya alam yang memerlukan analisis dengan perspektif keadilan bagi perempuan dari Komnas Perempuan,” katanya.
Tantangan Komnas Perempuan ke depan semakin besar dan beragam, terutama terkait multikultur dan problem perempuan dari kelompok marginal/minoritas.
Tak hanya itu, peran tim pencari fakta Komnas Perempuan terutama dalam menggali permasalahan dari kasus-kasus yang dialami korban diskriminasi, hukuman mati, dan bencana alam.
”Saya berharap komisioner yang akan datang lebih banyak melakukan advokasi kebijakan, tidak hanya soal kekerasan dan diskriminasi dalam bentuk kasat mata, tapi juga yang implisit, serta melakukan penindakan masyarakat untuk terciptanya zero tolerance society,” ujar Nursyahbani.
Rumah perempuan
Seiring perjalanan waktu, Komnas Perempuan yang sejarah kelahirannya berawal dari tragedi kekerasan seksual, terutama dialami oleh perempuan etnis Tionghoa, dalam kerusuhan Mei 1998 di sejumlah kota besar di Indonesia telah menjadi wadah dan rumah perjuangan kaum perempuan terutama untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat.
Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2019, pada 2018 jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan meningkat sebesar 14 persen dibanding tahun sebelumnya, yaitu dari 348.466 kasus menjadi 406.178 kasus. Bahkan, kekerasan terhadap perempuan semakin kompleks dan beragam, terjadi di lintas ruang, baik di ranah domestik, publik, maupun negara.
Kekerasan terhadap perempuan semakin kompleks dan beragam, terjadi di lintas ruang, baik di ranah domestik, publik, maupun negara.
Kekerasan seksual terjadi di ranah domestik dan komunitas/ publik mencapai 5.509 kasus. Bahkan, kekerasan seksual di ranah domestik pada tingkat yang mengkhawatirkan, menyusul terjadinya 1.071 kasus inses.
Kekerasan seksual beragam polanya, dengan modus yang ekstrem, dan dampaknya pada korban, namun tidak berbanding dengan ketersediaan hukum yang ada. Karena itulah, Komnas Perempuan merekomendasikan agar DPR dan pemerintah yang baru segera mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang batal disahkan pada periode 2014-2019.
Dengan situasi dan dinamika terutama kekerasan terhadap perempuan yang terus berkembang, sudah selayaknya publik menaruh harapan kepada pansel maupun anggota Paripurna Komnas Perempuan untuk memilih sosok-sosok komisioner yang sesuai kebutuhan Komnas Perempuan di masa mendatang. Semoga.