Korupsi dan Ancaman Apatisme Warga Medan
”Hattrick” wali kotanya masuk penjara karena kasus korupsi saat masih menjabat ditengarai bakal menurunkan kepercayaan warga Medan yang bakal muncul dalam Pilkada Serentak 2020.

Petugas mengawal Wali Kota Medan, Sumatera Utara, Dzulmi Eldin, untuk menjalani pemeriksaan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi Kuningan, Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Lagi-lagi publik di Medan hanya bisa tertegun malu saat mengetahui Wali Kota Medan Dzulmi Eldin terkena operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi, Selasa (15/10/2019) pekan lalu. Eldin mengikuti jejak dua pendahulunya yang juga tersandera korupsi, yakni Wali Kota Medan Abdillah (2000-2008) dan Rahudman Harahap (2010-2013).
Kota metropolitan sejak abad ke-18 yang tumbuh karena investasi perkebunan tingkat dunia itu—meminjam istilah sepak bola—wali kotanya hattrick, tiga kali berturut-turut masuk penjara karena kasus korupsi saat masih menjabat. Kondisi ini ditengarai akan semakin menurunkan kepercayaan warga Medan yang disinyalir bakal muncul dalam pemilihan kepala daerah serentak yang digelar pada 2020 nanti.
Kasus pertama muncul pada tahun 2007-2008. Pengadilan tindak pidana korupsi memvonis Abdillah, Wali Kota Medan dua periode hingga 2008 itu (seharusnya sampai 2010), lima tahun penjara. Ia juga wajib membayar denda Rp 250 juta dan uang pengganti kerugian negara Rp 17,826 miliar. Abdillah dinilai majelis hakim bersalah dalam proyek pengadaan mobil pemadam kebakaran dan penggunaan dana APBD.
Dalam persidangan, majelis menyatakan dana APBD yang digunakan Abdillah yang tidak sesuai aturan mencapai miliaran rupiah tiap tahun. Pada tahun 2002 mencapai Rp 1,198 miliar, Rp 11,517 miliar (2003), Rp 9,314 miliar (2004), Rp 3,472 miliar (2005), dan Rp 1,418 miliar (2006) (Kompas, 29/9/2008).
Selain digunakan untuk dirinya sendiri, uang-uang itu juga diberikan kepada banyak orang, antara lain kepala Kejaksaan Negeri Medan, danrem setempat, mantan anggota DPR dari F-PDIP, Kepala Polres Medan, KP3 Belawan, hingga Partai Demokrat Medan.
Baca juga : Wali Kota Medan Ditangkap, Akhyar Meminta Pelayanan Publik Berjalan seperti Biasa

Wali Kota Medan Abdilah dikawal petugas kepolisian setelah menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (22/9). Abdilah menjadi terdakwa terkait kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran dan di vonis penjara selama lima tahun.
Kasus itu juga melibatkan Wakil Wali Kota Medan Ramli Lubis. Ia divonis empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Ramli terbukti melakukan tindakan korupsi atas pengadaan kendaraan pemadam kebakaran merek Morita senilai Rp 1 miliar dan menyelewengkan APBD Kota Medan periode 2002-2006 senilai Rp 5,9 miliar.
Ia juga diminta mengembalikan uang negara yang dikorupsi total Rp 6,9 miliar itu. Jika tidak mampu, Ramli menggantinya dengan tambahan hukuman penjara dua tahun. Tidak hanya itu, Ramli juga tersangkut kasus tukar guling kebun binatang Kota Medan.

Mantan Sekda dan Wakil Wali Kota Medan Ramli Lubis menghadiri sidang perdana dugaan korupsi dalam tukar guling kasus kebun binatang Medan di PN Medan, Selasa (9/11). Ramli menuduh Abdillah seharusnya yang menjadi terdakwa.
Abdillah lalu digantikan Rahudman Harahap, mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan yang memenangi Pilkada Medan tahun 2010. Rahudman berpasangan dengan Dzulmi Eldin, Sekretaris Daerah Kota Medan yang pernah menjadi Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan.
Mulai merosot
Pasangan yang diusung Partai Demokrat dan Golkar itu memenangi pilkada dengan perolehan 65,88 persen di putaran kedua. Namun, catatan KPU Kota Medan saat itu, partisipasi pemilih dalam pilkada 2010 hanya 38,2 persen.
Angka partisipasi pemilihnya turun dibandingkan Pilkada 2005 yang memilih Abdillah-Ramli yang mencapai 54,7 persen. Warga Medan mulai tidak percaya dengan kepemimpinan berikut birokrasi yang menjalankan Kota Medan.
Ketidakpercayaan itu semakin terbukti. Tiga tahun menjabat sebagai wali kota, Rahudman ditahan Kejaksaan Sumut karena kasusnya di Tapanuli Selatan. Ia didakwa melakukan korupsi dana tunjangan penghasilan aparatur pemerintah desa senilai Rp 2,07 miliar. Ia dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan serta membayar uang pengganti Rp 480 juta.

Wali Kota Medan Rahudman Harahap mengikuti sidang sebagai terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, Jumat (3/5). Rahudman didakwa mengorupsi dana Tunjangan Penghasilan Aparatur Desa Rp 1,5 miliar tahun 2004-2005 di Kabupaten Tapanuli Selatan saat dia menjabat sekretaris daerah.
Sempat dibebaskan oleh Pengadilan Tipikor Medan atas kasus itu, ia lalu diganjar pidana 5 tahun penjara dan pidana tambahan berupa denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan dari Mahkamah Agung. Ia juga harus mengganti Rp 480.495.500 subsider satu tahun kurungan. Vonis lebih berat daripada tuntutan jaksa. Rahudman lalu dieksekusi Tim Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Rumah Tahanan Tanjung Gusta, Medan.
Eldin, sebagai wakil wali kota, pun menggantikan Rahudman menjadi wali kota lalu maju dalam Pilkada 2015 berpasangan dengan Akhyar Nasution, politisi PDI-P. Mereka diusung Partai Golkar, PDI-P, PKS, PAN, PKPI, Nasdem, dan PBB.

Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho (tengah) menyerahkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Penonaktifan Wali Kota Medan Rahudman Harahap kepada Wakil Wali Kota Medan Dzulmi Eldin di kantor Gubernur Sumut, Medan, Rabu (15/5). Rahudman dinonaktifkan karena berstatus terdakwa dalam kasus korupsi dana Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintah Desa Rp 1,5 miliar.
Kasus korupsi yang membayang di dua wali kota sebelumnya semakin memengaruhi pemilih dalam pilkada. Meskipun pasangan Eldin-Akhyar memenangi 71,72 persen suara dari 507.351 suara sah yang masuk, angka suara yang masuk hanya 25,58 persen dari jumlah pemilih, yakni 1,98 juta.
Hampir 75 persen warga Medan tidak menggunakan hak pilihnya. Jadi sebenarnya Eldin-dan Akhyar hanya dipilih oleh sekitar 18 persen warga Medan.
Waktu itu pasangan yang menantang Eldin-Akhyar adalah Ramadhan Pohan-Eddie Kusuma yang diusung Partai Demokrat, Gerindra, dan Hanura. Namun, belakangan Ramadhan Pohan juga tersandung kasus penipuan pelunasan uang pinjaman miliaran rupiah yang digunakan untuk kampanyenya di Pilkada Medan itu.
Dalam percakapan dengan Kompas, Wakil Wali Kota Medan Akhyar Nasution mengatakan, bersama wali kota pihaknya terus berusaha menaikkan kepercayaan warga Medan. Alih-alih menyelesaikan masa jabatannya dengan selamat, di tengah memimpin Kota Medan, Eldin justru dicokok KPK saat menerima ”setoran”.
Baca juga : Dzulmi Eldin Menambah Panjang Korupsi di Medan

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo bersama Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi menyaksikan penandatanganan komitmen pencegahan korupsi para kepala daerah di Sumut di Medan, Rabu (14/5/2019).
Tidak jera
Pengamat anggaran Sumatera Utara, Elfanda Ananda, mengatakan, apa yang terjadi di Medan menunjukkan kasus-kasus korupsi yang terdahulu ternyata tidak memberikan efek jera dan tidak memberikan pembelajaran pada wali kota selanjutnya. Pembelanjaan anggaran yang sesuka hati selalu membawa ke arah korupsi.
Kasus-kasus korupsi yang terdahulu ternyata tidak memberikan efek jera dan tidak memberikan pembelajaran. (Elfanda Ananda)
Hal ini juga menunjukkan tata kelola keuangan daerah yang tidak berubah. Meskipun berbagai pelaporan secara elektronik dilakukan, budaya ”setoran” tetap berlangsung. Sistem yang dibangun ternyata belum berhasil memperbaiki keadaan dan hanya formalitas belaka. Di belakang semua penandatanganan komitmen pemberantasan korupsi, semua pihak masih ”bermain”.
Baca juga : Perbaikan Tata Kelola Pemerintahan Daerah Tutup Celah Korupsi

Sejumlah ruangan di Kantor Wali Kota Medan tampak disegel Komisi Pemberantasan Korupsi, di Medan, Rabu (16/10/2019). Wali Kota Medan Dzulmi Eldin dan enam pejabat lainnya ditangkap KPK terkait dugaan korupsi.
Tak terungkap
Namun, lanjut Elfanda, ada hal yang tidak terungkap dalam praktik korupsi di Medan, yakni keterlibatan banyak pihak yang tidak tersentuh. Wali kota bukan satu-satunya pelaku, namun berkaitan dengan latar belakang politik, sejarah pilkada, dan siapa yang terlibat dalam proyek-proyek APBD. ”Pelakunya sebenarnya itu-itu saja,” kata Elfanda.
Hal yang tidak terungkap dalam praktik korupsi di Medan, yakni keterlibatan banyak pihak yang tidak tersentuh.
Pelaku-pelaku di belakang wali kota itu yang selama ini tidak tersentuh. ”Jika hendak melakukan pembersihan, KPK harus mengungkap hal itu,” kata Elfanda. Partai politik juga harus ikut bertanggung jawab jika ada kadernya yang terlibat korupsi.
Elfanda juga melihat ada unsur ”rakus” dalam pelaksanaan proyek-proyek APBD di Medan yang diperkirakan mencapai Rp 3 triliun per tahun. Margin kontraktor sebenarnya sudah jelas, yakni sekitar 15 persen dengan komponen pajak 5 persen.
Meski demikian, sering kali proses-proses pemenangan proyek memotong lebih dari 50 persen nilai proyek sehingga yang diaplikasikan dalam proyek hanya 50 persen. Bahkan, sebelum proyek disetujui DPRD, proyek sudah ada pemiliknya sehingga tender hanyalah formalitas.
”Pemenang tender sudah seperti arisan saja,” kata Elfanda. Sangat sulit pihak baru memenangi tender karena tender sudah dikuasai pemain-pemain lama.
Elfanda mengatakan, operasi tangkap tangan terhadap Eldin semakin menurunkan kepercayaan publik Medan pada pemerintah kota. Sementara pemilu Kota Medan akan digelar 2020 nanti. Sejumlah nama sudah bermunculan. Akankah tahun depan warga Medan akan memilih, apatis, atau mendukung wali kota bertindak benar?

Petugas di gudang logistik KPU Medan, Lapangan Udara Soewondo, sedang mengemas kotak suara untuk dikirimkan ke Panitia Pemungutan Suara di kelurahan-kelurahan Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (15/4/2019).
Ahli hukum tata negara Universitas Sumatera Utara, Mirza Nasution, mengatakan, sebenarnya warga Medan sudah tidak antusias dalam Pilkada 2010 dan terus merosot pada pilkada 2015. Korupsi di Medan telah memunculkan apatisme sekaligus trauma.
Korupsi di Medan telah memunculkan apatisme sekaligus trauma.
Mirza mengatakan, sejak awal warga Medan tidak antusias dengan kandidat yang muncul hingga muncul anggapan siapa pun yang terpilih ujung-ujungnya akan sama, terjerat kasus korupsi. Regulasi pilkada memberikan kesempatan warga untuk memilih, tetapi jika kandidat yang ditawarkan tidak memenuhi aspirasi rakyat, tentu dibutuhkan pendekatan khusus agar warga kembali percaya pada pemerintah.
Dalam hal ini, posisi partai politik strategis untuk menentukan kandidat yang diusulkan. Tanpa perlakuan khusus untuk menghadirkan kandidat yang bisa ”membersihkan” Kota Medan, rantai korupsi tidak akan terputus dan apatisme warga akan semakin mengemuka.
Baca juga : Memutus Mata Rantai Korupsi di Sumut