Demi mengatasi ketertinggalan infrastruktur, peran swasta diharapkan meningkat, tetapi menarik swasta bukan hal gampang. Pembagian risiko mesti terukur dan jelas, selain imbal hasil yang masuk akal.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
Kerja sama pemerintah dengan badan usaha atau KPBU bukanlah barang baru. Lima tahun terakhir, skema itu kerap disuarakan pemerintah. Sebab, perlu dana besar untuk mengatasi ketertinggalan infrastruktur.
Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), stok kapital infrastruktur Indonesia tahun 2017 mencapai 42,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Meski naik, persentase itu masih jauh dari rata-rata internasional, yakni 70 persen dari PDB.
Stok infrastruktur Indonesia juga tertinggal dibandingkan dengan India yang 58 persen, China 76 persen, atau Afrika Selatan yang sudah mencapai 87 persen. Padahal, salah satu prasyarat jadi negara maju adalah ketersediaan infrastruktur, seperti di Jepang yang mencapai 179 persen.
Peringkat kinerja infrastruktur logistik Indonesia juga terhitung rendah. Pada 2018, Bank Dunia mencatat, peringkat kinerja infrastruktur logistik Indonesia di urutan ke-46, di bawah Malaysia (41), Vietnam (39), dan Thailand (32).
Peringkat kinerja infrastruktur logistik Indonesia juga terhitung rendah.
Akibatnya, persentase biaya logistik di Indonesia relatif tinggi, yakni 24 persen dari PDB. Sementara di Vietnam 20 persen, Thailand 15 persen, serta Malaysia dan Filipina 13 persen. Adapun persentase biaya logistik negara maju, seperti Jepang, adalah 8 persen.
Demi mengatasi ketertinggalan itu, peran swasta diharapkan meningkat. Namun, menarik swasta bukan hal gampang. Pembagian risiko mesti terukur dan jelas, selain menjanjikan imbal hasil yang masuk akal.
Pada tahap awal, penyiapan proyek mesti dilakukan sampai detail. Menurut konsultan dari Ernst & Young, Sahala Situmorang, ketika terlibat dalam penyiapan proyek jalur kereta Makassar-Parepare, detail proyek dibicarakan sampai mengenai pembagian tanggung jawab jika terjadi kecelakaan di masa mendatang.
”Pengalaman kami sebaiknya didetailkan sedari awal dan jelas. Lalu, mesti dilihat benchmark di tempat lain seperti apa,” kata Sahala.
Penyiapan yang panjang juga terjadi di proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan. Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) Edwin Syahruzad mengatakan, proses penyiapan proyek SPAM Umbulan cukup rumit karena melibatkan lima kabupaten/kota yang masing-masing memiliki kepentingan sendiri.
Dengan demikian, penandatanganan perjanjian pembiayaan proyek (financial close) SPAM Umbulan menjadi puncak semua kepentingan dapat terakomodasi.
Panjangnya proses penyiapan proyek KPBU juga dialami dalam proses penyiapan dan lelang proyek preservasi jalan nontol di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Saat ini, proyek berskema pembayaran atas ketersediaan layanan (availability payment) yang sudah dilelang adalah proyek preservasi jalan di Sumatera Selatan.
”Untuk KPBU di nontol, kami harus cermat dan hati-hati karena ini pertama kali. Yang penting bagi investor adalah pembagian risikonya terukur, selain margin,” kata Direktur Pengembangan Jaringan Jalan Kementerian PUPR Rachman Arief Dienaputra.
Meski demikian, lanjut Arief, ternyata ada faktor lain yang juga menjadi pertimbangan, yakni keamanan. Misalnya, proyek KPBU untuk pembangunan jalan nontol di Trans-Papua ruas Mamugu-Nduga. Setelah terjadi insiden pembunuhan pekerja konstruksi di sana, proyek tersebut akan dialihkan ke pembangunan ruas lain di Trans-Papua.
Dalam konteks investasi, kurangnya infrastruktur menjadi satu faktor utama penghalang investasi. Meski demikian, masih ada faktor lain, di antaranya korupsi, birokrasi yang tidak efisien, dan akses pembiayaan. Maka, pembangunan infrastruktur mesti diikuti perbaikan di sektor lainnya. (NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR)