Belajar dari Kabinet Kerja Jilid I
Lima tahun lalu sebelum mengumumkan kabinet, Joko Widodo menyampaikan arah kepemimpinannya selama tahun 2014-2019 dalam pidato pelantikan sebagai Presiden pada 20 Oktober 2014.
Presiden Joko Widodo dan wakilnya, Ma’ruf Amin, telah angkat sauh dengan awak kapal baru dalam Kabinet Kerja Jilid II. Dengan pengalaman menakhodai bangsa lima tahun terakhir, Jokowi tentu sudah paham tantangan berat yang bisa menghadang di depan. Belajar dari perjalanan kabinet sebelumnya menjadi bekal yang penting.
Lima tahun lalu sebelum mengumumkan kabinet, Joko Widodo menyampaikan arah kepemimpinannya selama tahun 2014-2019 dalam pidato pelantikan sebagai Presiden pada 20 Oktober 2014. Di hadapan para wakil rakyat dan tokoh bangsa, Presiden mengajak semua pihak untuk bekerja keras menjadikan Indonesia negara berdaya saing di tingkat global. Secara khusus, untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim pemerintahannya tidak akan ”memunggungi” laut.
Enam hari berselang, Presiden Jokowi didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla mengumumkan nama menteri Kabinet Kerja di halaman Istana Negara. Susunan kabinet selesai lebih cepat dari batas waktu 14 hari kerja yang diamanatkan undang-undang. Sehari setelah diumumkan, yaitu pada 27 Oktober 2019, para menteri dilantik.
Susunan kabinet tersebut, terutama pembentukan kementerian koordinator, menerjemahkan fokus pemerintahan Jokowi-JK.
Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014, Kabinet Kerja periode 2014-2019 terdiri dari 34 menteri yang bertugas di empat kementerian koordinator (kemenko) dan 30 kementerian teknis. Empat kemenko yaitu Kemenko Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam); Kemenko Perekonomian, Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK); dan Kemenko Kemaritiman. Presiden juga mengangkat dua wakil menteri untuk Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Keuangan.
Susunan kabinet tersebut, terutama pembentukan kementerian koordinator, menerjemahkan fokus pemerintahan Jokowi-JK. Dua kemenko, yaitu Kemenko PMK dan Kemenko Kemaritiman, menunjukkan penekanan pada pembangunan manusia dan kemaritiman. Kedua pos koordinasi ini belum pernah ada di kabinet pada pemerintahan setelah reformasi.
Hasil pemetaan dari bangunan kabinet sejak masa Presiden Habibie (1998-1999) hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009), kemenko bidang khusus yang pernah dibentuk di bidang Kesejahteraan Rakyat dan atau Pengentasan Kemiskinan. Pada masa Presiden Habibie ada juga Kemenko bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara. Sementara itu, bidang perekonomian dan polhukam relatif menjadi kemenko yang tetap.
Visi dan misi Presiden Jokowi untuk mengembalikan Indonesia menjadi negara maritim menjadi tanggung jawab Kemenko Kemaritiman. Tidak hanya bidang kelautan dan perikanan, pembangunan sumber daya alam dan perhubungan yang berorientasi pada kemaritiman ada dalam target kerja kemenko ini.
Dua kemenko, yaitu Kemenko PMK dan Kemenko Kemaritiman, menunjukkan penekanan pada pembangunan manusia dan kemaritiman.
Sementara itu, Kemenko PMK menjadi komandan untuk mempercepat pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas. Setidaknya delapan kementerian yang ada di bawah koordinasinya mengurusi manusia Indonesia dari aspek agama, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, pemuda dan olahraga, serta yang berada di desa, daerah tertinggal, dan transmigrasi.
Selain maritim dan pembangunan manusia yang digawangi dua kemenko tersebut, pemerintahan Jokowi-JK juga fokus pada pembangunan infrastuktur dan perbaikan ekonomi demi kesejahteraan.
Dengan pembangunan infrastuktur yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas rakyat, tak ayal jika sejumlah kementerian, seperti Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Menko Perekonomian, dan Kementerian Keuangan, menjadi kementerian yang memegang peran kunci dalam agenda pemerintah ini.
Otak-atik menteri
Untuk memastikan target pemerintahannya tercapai, presiden dan wakil presiden lazim melakukan penyesuaian tim kerja, termasuk pemilihan sosok menteri dan perombakan kabinet. Pada kementerian-kementerian kunci, sejumlah pos sempat dirombak.
Kemenko Kemaritiman dan Kementerian PPN dirombak hingga dua kali. Sementara Kementerian PUPR, Kemenko Perekonomian, dan Kementerian Keuangan dirombak sekali. Hanya Kementerian Kelautan yang dipertahankan untuk dijabat oleh satu nama.
Satu contohnya adalah posisi menteri koordinator kemaritiman. Saat pelantikan kabinet, posisi ini dijabat D Indroyono Soesilo yang memiliki latar belakang sebagai Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Belum ada setahun, ia digantikan oleh Rizal Ramli yang dahulu pernah menjabat menteri di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
Untuk memastikan target pemerintahannya tercapai, presiden dan wakil presiden lazim melakukan penyesuaian tim kerja.
Setahun kemudian, Presiden Jokowi memberhentikan Rizal Ramli. Setelah itu hingga akhir periode kerja kabinet, jabatan Menko Kemaritiman disandang Luhut Binsar Pandjaitan, purnawirawan jenderal TNI yang sebelumnya diminta Jokowi memegang posisi Menko Polhukam dan sempat menjadi Kepala Staf Kepresidenan.
Dilihat dari latar belakang menteri yang menjabat kementerian tersebut, dua kali Presiden Jokowi memilih sosok profesional yang bukan berasal dari partai. Sosok yang mapan memimpin kementerian strategis ini justru berasal dari partai, yaitu Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dari Partai Golkar.
Latar belakang menteri dari partai atau non-partai (biasa disebut profesional) memang selalu mengemuka dalam konteks transaksi politik. Pada periode pertama pemerintahannya, Jokowi memberikan porsi lebih banyak bagi sosok profesional (non-partai) untuk menduduki kursi menteri. Sebanyak 21 menteri (62 persen) berasal dari non-partai, sementara 13 menteri (38 persen) berasal dari partai.
Saat pelantikan Kabinet Kerja, menteri dari partai berasal dari lima partai koalisi, masing-masing PDIP (4), PKB (3), Partai Nasdem (3), Partai Hanura (2), dan PPP (1). Daftar ini bertambah dua dengan masuknya Partai Golkar hingga akhir masa kerja dan PAN yang sempat bergabung di tengah babak.
Latar belakang menteri dari partai atau non-partai (biasa disebut profesional) memang selalu mengemuka dalam konteks transaksi politik.
Perubahan posisi menteri dari partai menunjukkan dinamika politik menjadi salah satu faktor penentu terjadinya perombakan. Pada reshuffle pertama, Partai Golkar mendapatkan satu kursi dan Partai Nasdem kehilangan satu kursi menteri.
Partai Golkar mendapatkan tambahan kursi lagi di perombakan kedua mengambil jatah kursi Partai Hanura. Partai Golkar kembali mendapatkan satu kursi saat Khofifah Indar Parawansa dari PKB mengundurkan diri karena maju pada Pilkada 2018.
Dari sisi jumlah perwakilan partai, tercatat kursi menteri dari PKB, Partai Nasdem, dan Partai Hanura masing-masing berkurang satu. Ketiganya terakumulasi menjadi tiga kursi untuk Partai Golkar.
Partai Golkar yang awalnya tidak berkoalisi dengan pemerintah, di akhir periode pemerintahan Presiden Jokowi-JK menjadi salah satu partai yang kuat di kabinet. Sementara PAN memutuskan untuk hanya bergabung di tengah babak, yaitu pada Juli 2016 hingga Januari 2018.
Di antara langkah bongkar-pasang kabinet hingga enam kali, di luar pelantikan, selain persoalan kebutuhan akan sosok yang kompeten di bidangnya dan dinamika politik yang tidak bisa diabaikan, Presiden memberikan perhatian khusus untuk sosok perempuan.
Dari sisi keterwakilan perempuan, kabinet pada masa Jokowi-JK memberikan ruang yang lebih luas bagi perempuan. Tercatat, jumlah perempuan di Kabinet Kerja Jilid I saat pelantikan sebanyak delapan orang (23,5 persen) dari total menteri.
Tidak hanya kuantitas, menteri perempuan juga ditempatkan di bidang yang strategis. Sebut saja Retno LP Marsudi yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, Rini M Soemarno menjabat Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Siti Nurbaya Bakar sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Susi Pudjiastuti menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan. Menyusul kemudian pada 27 Juli 2016, Sri Mulyani dilantik menjadi Menteri Keuangan menggantikan Bambang Brodjonegoro.
Persentase menteri perempuan melesat dari proporsi di kabinet sebelumnya. Pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), proporsi menteri perempuan hanya 11,8 persen pada periode pertama dan 14,7 persen di periode kedua. Sementara di masa Presiden Megawati Soekarnoputri, porsi perempuan tidak lebih dari 7 persen.
Capaian kabinet
Dengan tim kerja yang sudah terbentuk, para menteri kemudian memiliki tugas untuk menerjemahkan misi pemimpin. Tolok ukur keberhasilan dalam menjalankan tugas salah satunya dapat dilihat dari kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah di bidang-bidang pokok seperti ekonomi, penegakan hukum, politik dan keamanan, serta kesejahteraan sosial.
Evaluasi terhadap kinerja pemerintah coba dipotret Litbang Kompas secara berkala melalui Survei Kepemimpinan Nasional terhadap 1.200 responden di seluruh Indonesia. Survei yang dilakukan sejak Januari 2015 hingga Oktober 2019 ini menunjukkan bahwa kinerja pemerintah pada tahun akhir masa jabatan tidak lebih baik dibanding tahun ketiga dan keempat pemerintahan.
Di bidang ekonomi, kepuasan pada Oktober 2017 merupakan yang tertinggi selama lima tahun ini, yaitu sebesar 55,1 persen. Pada Oktober 2019, kepuasan turun menjadi 49,8 persen. Sama halnya dengan kepuasan di bidang politik dan keamanan, pada Oktober 2017 kepuasan publik merupakan yang tertinggi, yaitu sebesar 76,4 persen, lalu turun menjadi 64,3 persen pada Oktober 2019.
Dilihat dari komposisi kabinet, tahun 2017 merupakan tahun tidak terjadi reshuffle. Perombakan kabinet terjadi tiga kali pada kurun 2015-2016, yaitu pada 12 Agustus 2015 saat Presiden merombak 6 pos kementerian, pada 27 Juli 2016 pada 11 pos kementerian, dan pada 14 Oktober 2016 pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Secara umum, kabinet lebih stabil tahun 2017.
Pencapaian yang baik juga terekam pada periode penelitian April 2018 di bidang penegakan hukum dan kesejahteraan sosial. Upaya pemerintah dalam penegakan hukum diapresiasi positif oleh 66 persen publik dan kesejahteraan sosial oleh 74,1 persen. Kedua angka tersebut merupakan pencapaian terbaik di masing-masing bidang.
Dilihat dari komposisi kabinet, tahun 2017 merupakan tahun di mana tidak terjadi reshuffle.
Sayangnya, angka tersebut tidak bisa dipertahankan. Kepuasan terus menurun hingga pada akhir periode. Kepuasan di bidang penegakan hukum turun menjadi 49,1 persen dan kesejahteraan sosial turun pula menjadi 59,4 persen. Di waktu yang bersamaan pada medio akhir 2018, Kabinet Kerja Jilid I tidak luput tercoreng aib korupsi. Dua menteri tersangkut kasus korupsi di babak akhir pemerintahan.
Menteri Sosial saat itu Idrus Marham ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada 23 Agustus 2018 dan divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta pada 23 April 2019 karena menerima suap Rp 2,25 miliar dari pengusaha Johannes Kotjo dalam proyek pembangkit listrik PLTU Riau-1. Pada 18 September 2019, KPK juga menetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi sebagai tersangka dalam kasus korupsi dana hibah dari pemerintah untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia.
Belajar dari Kabinet Kerja periode 2014-2019, Presiden Jokowi tidak anti terhadap perubahan di dalam timnya. Orientasi pada hasil dan pemenuhan target kerja tampak mendominasi manajemen kabinet. Semangat dan cara kerja ini akan dilanjutkan pada periode kedua Presiden Jokowi.
Dalam pidato pelantikan sebagai Presiden RI untuk periode 2019-2024, Jokowi dengan tegas menyatakan, ”Jangan lagi kerja kita berorientasi proses, tapi harus berorientasi pada hasil-hasil yang nyata. Saya sering ingatkan ke para menteri, tugas kita bukan hanya membuat dan melaksanakan kebijakan, tetapi tugas kita adalah membuat masyarakat menikmati pelayanan, menikmati hasil pembangunan.” (Arita Nugraheni/Sugihandari/Litbang Kompas)