Selain rekonsiliasi nasional, Jokowi tampaknya harus secepatnya membuat terobosan-terobosan penyelesaian yang tepat karena beberapa persoalan sosial sudah terpetakan cukup jelas.
Oleh
Bambang Setiawan
·4 menit baca
Sejumlah persoalan sosial telah menghadang Joko Widodo-Ma’ruf Amin begitu Komisi Pemilihan Umum pada 21 Mei lalu mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara nasional yang menempatkan mereka sebagai pemenang Pemilu Presiden 2019. Selain rekonsiliasi nasional, Jokowi tampaknya harus secepatnya membuat terobosan-terobosan penyelesaian yang tepat karena beberapa persoalan sosial sudah terpetakan cukup jelas.
Pemilu 2019 memetakan dengan gamblang pembelahan masyarakat ke dalam sejumlah fragmen. Setidaknya fragmentasi itu tecermin dalam segregasi geopolitik, etnisitas, ideologi, pengetahuan, nilai, dan birokrasi.
Apabila tak disikapi dan diselesaikan dengan cerdas, selama periode 2019-2024 mendatang, persoalan segregasi sosial akan menjadi tema utama yang cukup mengganggu jalannya pemerintahan. Sebaliknya, jika dikelola dengan baik, segregasi politik yang berimbas pada pembelahan berbagai dimensi sosial ini dapat meningkatkan ritme pemerintahan sehingga ke depan jalannya pemerintahan lebih dinamis.
Segregasi geopolitik
Setelah Pemilu 2019, aspirasi politik Indonesia secara umum terpecah ke dalam dua satuan geopolitik besar, yaitu jazirah barat yang mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno dan jazirah timur yang mendukung Jokowi-Amin.
Wilayah-wilayah di jazirah barat, seperti Pulau Sumatera, terutama Sumatera Barat, Aceh, Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi, serta Pulau Jawa bagian barat, seperti Jawa Barat dan Banten, menjadi basis yang kuat dari Prabowo-Sandi. Adapun wilayah di Jawa bagian tengah dan timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua, sebagian besar Pulau Kalimantan, dan sebagian besar Pulau Sulawesi menjadi basis bagi Jokowi-Amin.
Di luar itu, ada spot dengan aspirasi berbeda dengan wilayah sekelilingnya, seperti Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara di jazirah timur yang mendukung Prabowo-Sandi. Spot semacam itu juga ditemui di Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Sumatera Utara di jazirah barat yang mendukung Jokowi-Amin.
Segregasi ideologi
Meskipun Jokowi-Amin menang di 21 provinsi serta luar negeri dan hanya menyisakan 13 wilayah yang dimenangi oleh Prabowo-Sandi, dukungan itu tak disertai basis ideologi yang cukup merata. Jokowi-Amin yang didukung partai-partai nasionalis memang menguasai sebagian besar suara dari total 34 provinsi di Indonesia. Namun, kemenangan itu juga menjadi garis penegas bagi basis massa Islam di mayoritas provinsi untuk memilih lawan politiknya.
Hasil survei pascapemilihan (exit poll) Litbang Kompas pada 17 April 2019 mengindikasikan, sebaran dukungan pemilih Islam lebih banyak dikuasai oleh Prabowo-Sandi. Pemeluk agama Islam di 21 daerah lebih banyak yang memilih Prabowo-Sandi, 6 wilayah seimbang, dan hanya 7 provinsi yang memenangkan Jokowi-Amin. Pasangan Jokowi-Amin hanya berhasil menguasai suara umat Islam di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Lampung, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Utara. Situasi ini tentu menjadi tantangan cukup serius bagi pemerintahan Jokowi-Amin mendatang.
Nahdlatul Ulama sebagai basis yang diharapkan mendukung Jokowi-Amin hanya berpengaruh di 12 dari 34 provinsi, terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Bali. Di mayoritas daerah atau sebanyak 20 provinsi, aspirasi warga NU tak dapat dikendalikan untuk mendukung Ma’ruf Amin, yang sebelum resmi sebagai cawapres merupakan Rais Aam Pengurus Besar NU. Ada lebih banyak orang di 20 provinsi tersebut memilih Prabowo-Sandi, yang didukung dua partai Islam, yaitu PKS dan PAN, serta disokong GNPF Ulama, Alumni 212, Front Pembela Islam, dan massa Hizbut Tahrir Indonesia.
Di luar NU, kekuatan Islam Muhammadiyah dan aliran Islam lain juga cukup membatasi ruang gerak Jokowi. Dalam perspektif kewilayahan, cakupan pengaruh Jokowi-Amin yang masih ditopang Muhammadiyah hanya terdapat di enam provinsi: DI Yogyakarta, Jawa Timur, Gorontalo, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Selatan. Adapun di luar NU dan Muhammadiyah, kekuatan Islam yang mendukung Jokowi-Amin terdapat di Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Bali, dan Gorontalo.
Jokowi-Amin sangat populer di kalangan penganut agama non-Islam, yaitu Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Dari 34 provinsi, hanya di NTB kalangan penganut agama non-Islam memilih Prabowo-Sandi, sedangkan di 33 daerah lain, mereka mendukung Jokowi-Amin.
Segregasi etnisitas
Pemilu 2019 makin menegaskan ethnonationalism (nasionalisme etnis) dalam menyikapi pilihan politik. Gambaran ini terlihat sangat ekstrem pada beberapa suku bangsa. Etnis Aceh dan Minangkabau sangat kental dengan pilihan politik mereka yang mendukung Prabowo-Sandi.
Pasangan tersebut juga banyak didukung etnis Palembang, Melayu, Sunda, Betawi, Bugis/Makassar, Banjar, dan Madura. Di sisi lain, etnis Bali dan Tionghoa menjadi pendukung utama Jokowi-Amin, diikuti etnis Jawa, Batak, Dayak, dan Minahasa.
Pembelahan masyarakat berdasarkan etnisitas ini mirip dengan yang terjadi pada masa penetrasi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau persekutuan dagang Belanda awal abad ke-17. Ketika itu, status sosial dan pekerjaan ditentukan berdasarkan etnisitas oleh VOC di Batavia. Percampuran budaya dan etnis selalu dicurigai sebagai tanda-tanda pemberontakan (baca: Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia: Akar-akar kebangsaan Indonesia, 1995).
Dulu, pembelahan sengaja dilakukan oleh sebuah kekuasaan yang berwujud nyata dan kepentingannya jelas. Sebaliknya, sekarang masyarakat seolah dengan sadar berkelompok ke dalam satuan-satuan pilihan sehingga menunjukkan perbedaan mereka dengan kelompok sosial lain.
Situasi ini jelas lebih berbahaya karena mendorong perpecahan dan bukan tidak mungkin akan menisbikan akar-akar kebangsaan yang telah terbentuk dalam kurun cukup panjang. Penyelesaian terhadap masalah ini juga menjadi cukup sulit karena pihak yang paling berkepentingan dengan pembelahan sosial tak tunggal dan tidak kasatmata. Bersambung (Litbang Kompas)