Persetujuan Pemerintah Menjadi Tameng Kesewenangan Investor Asing
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Indonesia masih berisiko mengalami perkara sengketa antara investor dan pemerintah meskipun negara anggota perundingan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) sepakat untuk menunda pembahasan mekanisme sengketa tersebut.
Sebagai langkah antisipasi, Indonesia akan menuntut investor asing untuk mendapatkan persetujuan pemerintah sebelum memperkarakan kasus itu ke tingkat internasional. Namun, penanam modal asing berpotensi menyelewengkan penggunaan mekanisme sengketa antara investor dan pemerintah (Investor State Dispute Settlement/ISDS).
"Berdasarkan masukan dari sejumlah CSO (civil society organization), Indonesia sepakat tidak memasukkan mekanisme ISDS dalam bab investasi dokumen perundingan RCEP. Indonesia sensitif dengan isu ISDS ini," kata Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo dalam konferensi pers terkait perkembangan perundingan RCEP, di Jakarta, Selasa (22/10/2019).
Dalam konteks sistem regulasi, Iman berpendapat, Indonesia belum siap dan belum stabil dalam menghadapi ISDS. Belum sinkronnya aturan di tingkat pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat menjadi celah gugatan oleh investor asing.
Penundaan pembahasan ISDS dalam RCEP berlaku hingga lima tahun setelah penerepan perjanjian internasional tersebut di setiap negara anggota. Nantinya, ISDS akan masuk dalam tinjauan umum yang dibahas bersama. Artinya, pada lima tahun pertama penerapan, RCEP tidak memayungi mekanisme ISDS.
Apabila ada penanam modal asing dari negara anggota RCEP yang ingin menggugat Indonesia melalui mekanisme ISDS, investor tersebut mesti mendapatkan izin dari pemerintah. Penyelesaian sengketa diusahakan tuntas di dalam negeri. Menurut Iman, strategi ini menjadi benteng pertahanan Indonesia agar investor asing tak sembarangan menggunakan mekanisme ISDS.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani mengapresiasi penundaan pembahasan ISDS dalam RCEP.
"Indonesia cenderung berada di posisi negara penerima investasi. Akibatnya, risiko Indonesia dituntut dengan mekanisme ISDS lebih besar. Karena itu, kami selaku pelaku usaha dan industri di Indonesia mengusulkan, ada mekanisme konsultasi intensif yang bersifat business-to-government atau government-to-government sebelum investor asing menyengketakan isunya lewat ISDS," katanya saat dihubungi, Selasa.
Meskipun demikian, Shinta mengingatkan, dokumen perundingan RCEP mesti memberikan kepastian hukum bagi investor asing jika terjadi sengketa penanaman modal. Contohnya, mekanisme penyelesaian sengketa di tingkat ASEAN atau Bilateral Investment Treaty (BIT).
Berdasarkan studi yang dihimpun Kadin Indonesia Bidang Hubungan Internasional, ISDS mengancam stabilitas perekonomian negara sehingga sejumlah perjanjian internasional merevisi mekanisme tersebut.
Misalnya, Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Serikat atau AS, Meksiko, dan Kanada (USMCA-FTA). Dalam dokumen perjanjian perdagangan itu, AS dan Kanada sepakat menghilangkan mekanisme ISDS dan menggantinya menjadi mekanisme persidangan nasional untuk menyelesaikan sengketa investasi asing.
Negara perunding RCEP terdiri dari, sepuluh anggota ASEAN, Selandia Baru, Australia, India, China, Jepang, dan Korea Selatan. Kementerian Perdagangan memprediksi, gabungan kekuatan negara-negara dalam RCEP ini mencapai 32,2 persen dari ekonomi global.
Lampu merah
Secara total, terdapat 225 pasangan bilateral dalam RCEP yang mencakup perundingan barang, jasa, dan investasi. Sebanyak 185 pasangan bilateral sudah mencapai kesepakatan dan tergolong mendapatkan lampu hijau. Adapun sebanyak 52 pasangan bilateral berpotensi disepakati dan mendapatkan lampu kuning.
Akan tetapi, terdapat delapan pasangan bilateral yang mendapatkan lampu merah. "Pada kelompok ini, masih ada kesenjangan yang lebar antara kedua belah pihak untuk mencapai kepuasan masing-masing. Paling banyak membahas perundingan barang," kata Iman.
Dalam hal perundingan barang, tarif preferensial yang berlaku antara masing-masing pasangan bilateral negara perunding RCEP melalui perjanjian perdagangan yang sudah ada. Iman menyatakan, dalam hal ini, tidak dapat diambil angka rata-rata.
Dari sisi kelengkapan komponen teks dokumen, terdapat 22 bab, termasuk preambule, yang tergolong mencapai kesepakatan dan tiga bab yang tergolong sepakat secara teknis. Masih ada empat lampiran (annexes) yang tengah dirampungkan.
Rencananya, pada awal November 2019, hasil RCEP akan dilaporkan kepada menteri perdagangan di masing-masing negara dan selanjutnya diumumkan oleh kepala pemerintahan negara. Kementerian Perdagangan menargetkan, penandatanganan yang menandai selesainya seluruh proses perundingan RCEP berlangsung pada November 2020.