Harga Komoditas Perkebunan Rakyat Tak Kunjung Pulih
Harga komoditas perkebunan rakyat, khususnya lada, karet, dan kopra, di tingkat petani di Kalimantan Barat masih terpuruk. Kondisi ini membuat petani tertekan, terlebih lagi biaya produksi tetap tinggi.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS – Harga komoditas perkebunan rakyat, khususnya lada, karet, dan kopra, di tingkat petani di Kalimantan Barat masih terpuruk. Kondisi ini membuat petani terpukul, terlebih lagi biaya produksi tetap tinggi. Pemerintah daerah menyebut kondisi ini terjadi akibat panjangnya mata rantai perniagaan komoditas-komoditas tersebut.
Petani lada di perbatasan Indonesia-Malaysia di Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalbar, Thomas (45), Selasa (22/10/2019), menuturkan, saat ini harga lada masih anjlok. Semula, lada putih mencapai Rp 180.000 per kilogram (kg), kini hanya Rp 40.000 per kg. Adapun lada hitam semula Rp 140.000 per kg menjadi Rp 20.000 per kg.
Menurut informasi dari sejumlah pembeli, ini efek dari kondisi pasar global. Soalnya, (harga) di Malaysia juga anjlok.
“Harga mulai turun sejak 2017. Setelah itu, perlahan anjlok sampai harga terendahnya tahun ini. Menurut informasi dari sejumlah pembeli, ini efek dari kondisi pasar global. Soalnya, (harga) di Malaysia juga anjlok,” kata Thomas.
Kondisi itu, dikatakan Thomas, sangat memukul petani. Di sisi lain, biaya pemeliharaan tanaman tetap tinggi. Untuk biaya pestisida sekitar Rp 500.000 per bulan dan biaya pupuk sekitar Rp 2 juta tiap kali panen.
“Belum lagi membayar gaji warga yang membantu saya memelihara kebun lada. Untuk upah mencangkul dan menyemprot pestisida Rp 70.000 per hari. Belum lagi upah untuk menjaga tanaman Rp 50.000 per malam,” kata Thomas.
Lada masih menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat di perbatasan Kalbar-Malaysia. Thomas bisa membiayai anaknya hingga lulus pendidikan bidan dari bertani komoditas itu. Saat ini anaknya yang masih di bangku SMP dan kuliah juga dibiayai dari hasil pertanian lada.
Thomas dan petani lada di daerah itu menikmati harga lada pada 2015 dan 2016 yang sangat tinggi. Saat itu, lada putih bisa mencapai Rp 200.000 per kg dan lada hitam Rp 100.000 per kg. “Sayang, pada akhirnya juga anjlok harganya,” ujar Thomas.
Thomas berharap, pemerintah bisa mengatasi harga lada yang anjlok. Apalagi, akses jalan perbatasan yang sudah terbuka saat ini seharusnya dapat mendukung harga komoditas yang baik. “Saya tidak ada pilihan lagi, tetap bertahan menjadi petani lada,” ujarnya.
Harga karet di sini masih Rp 5.000–Rp 6.000 per kg. Belum ada perbaikan.
Komoditas andalan lain yang tak kunjung membaik harganya di Kalbar adalah karet. Komoditas itu bahkan sudah 10 tahun terakhir harganya anjlok. Harga karet di tingkat petani di sejumlah wilayah saat ini ada yang mencapai Rp 6.000 per kg. Sebelum anjlok, harganya Rp 10.000-Rp 20.000 per kg.
“Harga karet di sini masih Rp 5.000–Rp 6.000 per kg. Belum ada perbaikan. Terkadang pernah Rp 7.000 per kg, tetapi tidak bertahan lama, setelah itu anjlok lagi,” ujar petani karet di Kabupaten Ketapang, Florianus (45).
Florianus mengaku sudah cukup lama tidak menyadap karet karena harga yang rendah itu. Pohon karetnya juga banyak yang ditebangi karena sudah tidak bisa diharapkan lagi. Kini, dia beralih bekerja di perusahaan perkebunan sawit. Hal itu dilakukan untuk tetap bisa membiayai pendidikan anaknya.
Di wilayah pesisir Kabupaten Kubu Raya, para petani juga masih mengeluhkan rendahnya harga kopra. Harga kopra di daerah itu selama hampir dua tahun terakhir anjlok dari Rp 8.000 per kg menjadi Rp 3.000 per kg.
Jika merujuk pada data Badan Pusat Statistik Kalbar, nilai tukar petani (NTP) subsektor tanaman perkebunan rakyat Kalbar pada September 2019 sebesar 88,45. Nilai itu meningkat 0,14 persen dibandingkan sebulan sebelumnya. Meskipun meningkat, NTP masih berada di bawah 100.
Artinya, kenaikan harga hasil produksi petani relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya. Pendapatan petani turun menjadi lebih kecil dari pengeluarannya. Harga komoditas salah satu pemicunya. Anjloknya harga komoditas pertanian rakyat ini bahkan memicu demonstrasi pada peringatan Hari Tani, September lalu.
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalbar Florentinus Anum mengatakan, harga di tingkat pabrik sebetulnya tidak anjlok. Menurut dia, anjloknya harga di tingkat petani disebabkan tata niaga atau rantai pasok yang panjang. Sebagai contoh, untuk karet, distribusi dari petani masih melalui perantaraan tengkulak. Tengkulak membebankan biaya transportasi kepada petani sehingga harga yang diterapkan rendah.
Pemerintah sudah berupaya untuk memperpendek tata niaga dengan cara memperkuat kelembagaan petani. “Petani membentuk kelompok. Kemudian, hasil tani mereka langsung kerja sama dengan pabrik. Ini terus kami galakkan. Selain itu, diperkuat pula dengan peningkatan mutu hasil panen,” kata Anum.
Sementara itu, Gubernur Kalbar Sutarmidji mengatakan, pihaknya terus berupaya mendorong peran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). BUMDes harus berperan dalam menjembatani permasalahan itu.
BUMDes dapat membeli komoditas rakyat dan langsung menjualnya ke pabrik sehingga memotong rantai distribusi yang selama ini membebani petani. Upaya itu setidaknya bisa sedikit meningkatkan pendapatan petani.