Liga Champions Eropa telah menjadi arena pertarungan antarklub terelite di dunia. Jika sebagian besar pemain hanya bisa bermimpi hingga tua untuk bisa merasakannya, anak-anak muda ini tidak perlu menunggu terlalu lama.
Oleh
HERPIUN DEWANTO PUTRO
·5 menit baca
Ansu Fati, ketika masih berusia 5-6 tahun, gemar bermain bola bersama teman-temannya di sebuah tanah tak berumput di Guinea-Bissau, sebuah negara kecil di Afrika. Meski kakinya hanya beralaskan sandal, Fati kecil cukup lincah membawa bola dan melewati teman-temannya yang bertubuh lebih besar.
Sepak bola menjadi sahabat terbaik baginya saat melewati masa kecil di lingkungan miskin. Apalagi, ia juga ditinggalkan sosok sang ayah, Bori Fati, yang terpaksa mencari uang ke Portugal dan hingga berakhir ke Sevilla, Spanyol. Di Sevilla, Bori menjadi sopir dan bisa mendapat penghasilan yang lumayan untuk memboyong keluarganya ke Spanyol.
Nasib Fati mulai membaik ketika ia menyusul ayahnya saat berusia tujuh tahun, atau tahun 2009-2010. Bori kemudian mendaftarkan Fati di sekolah sepak bola gratis bernama Peloteros. Tidak butuh waktu lama bagi Fati untuk membuat para pelatihnya tercengang. Kemampuannya bermain sebagai anggota tim merupakan bakat yang jarang ditemukan pada anak-anak lain seusianya.
Setelah pindah ke Spanyol, Fati hanya butuh satu tahun untuk berpindah ke akademi yang lebih serius, yakni Sevilla. Pada tahun 2010, ia kemudian bergabung di La Masia, akademi kondang milik Barcelona, dan menjadi salah satu murid termuda yang pernah berlatih di sana.
”Sejak pertama kali datang, ia sudah tampak berbeda. Ia adalah tipe pemain yang menemukan sepak bola,” kata Pelatih Fati di La Masia, Marc Serra.
Tidak hanya Serra yang merasakan hal itu, juga para pelatih La Masia lainnya. Wajar jika Fati kemudian dipanggil untuk memperkuat tim senior Barcelona dan menjalani debut di Liga Spanyol awal musim ini. Pada laga keduanya melawan Osasuna, Fati mencetak gol perdananya dan menjadi pencetak gol termuda sepanjang sejarah klub.
Penampilan gemilang di Liga Spanyol itu meyakinkan Pelatih Barcelona Ernesto Valverde untuk memainkan Fati sebagai pemain inti pada laga Liga Champions melawan Borussia Dortmund, 18 September 2019. Ia tetap tampil bagus, tetapi belum bisa mencetak gol perdananya di Eropa.
Valverde sebenarnya heran melihat Fati. ”Menjadi pemain Barcelona itu tidak mudah. Sungguh tidak normal seorang pemain bisa mencetak gol dengan sekali sentuhan, memberikan assist dengan sentuhan keduanya, dan hampir mencetak gol dengan sentuhan ketiganya,” kata Valverde seperti dikutip Marca.
Seperti yang dikatakan Valverde, tidak mudah bermain untuk Barcelona karena di situlah tempat berkumpulnya para bintang di Eropa. Sulit dipercaya seorang anak dari keluarga sederhana bisa sekejap berada satu tim dengan para pemain, seperti Luis Suarez, Antoine Griezmann, Gerard Pique, Sergio Busquets, dan Lionel Messi.
”Saya menyukainya dan saya akan membantunya,” ujar Messi dikutip laman Barcelona.
Tongkat estafet
Dengan membantu Fati, Messi sedang berlari menghampiri Fati untuk menyerahkan tongkat estafet sebagai awal dari regenerasi yang tetap harus berjalan. Messi sudah berusia 32 tahun dan tidak lama lagi harus meninggalkan lapangan. Oleh karena itu, ia senang memiliki adik yang kelak bisa menjadi tumpuan klub.
Prinsip yang sama diterapkan bintang Juventus, Cristiano Ronaldo, terhadap sensasi baru lainnya dari Atletico Madrid, Joao Felix (19). Jika relasi Messi dan Fati terjadi di dalam satu klub, relasi Ronaldo dan Felix terjadi karena kecintaan terhadap negara mereka, yakni Portugal. Ronaldo ingin Felix tampil sebagai bintang baru Portugal ketika dirinya sudah pensiun.
Ketika direkrut Atletico dari Benfica pada musim ini, Felix langsung disebut-sebut sebagai penerus Ronaldo.
”Apakah dia bisa mengulang kesuksesan saya di Spanyol? Saya sangat percaya dia bisa. Dia masih punya banyak potensi untuk dikembangkan,” kata Ronaldo dikutip Mundo Deportivo.
Namun, Felix justru gelisah jika publik terburu-buru menyebutnya sebagai penerus Ronaldo karena ia tidak mau berada di bawah bayang-bayang orang lain.
”Ronaldo adalah Ronaldo dan saya ingin menjadi diri sendiri. Saya di sini sedang menulis kisah saya sendiri,” ujarnya.
Sikap itu ia ungkapkan menjelang laga Liga Champions antara Juventus dan Atletico pada pertengahan September lalu di Stadion Wanda Metropolitano. Laga ini sangat dinantikan karena dua bintang Portugal yang berbeda generasi akan berhadapan untuk pertama kalinya dalam kompetisi resmi.
Belum ada pembuktian berarti dan Ronaldo ataupun Felix tidak mencetak gol dalam laga yang berakhir imbang 2-2 itu. Setelah laga usai, Ronaldo menghampiri Felix dan mengelus kepalanya.
Sayangnya, Felix harus beristirahat karena mengalami cedera pergelangan kaki pada laga akhir pekan lalu saat melawan Valencia di ajang Liga Spanyol. Ia diperkirakan absen selama dua pekan dan melewatkan laga Liga Champions melawan Bayer Leverkusen, Selasa (22/10/2019) malam WIB. Setidaknya, ia masih sangat muda dan punya banyak kesempatan pada laga-laga lainnya.
Peran akademi
Sensasi yang dihadirkan Fati, Felix, ataupun para pemain muda lainnya di Liga Champions ini tidak bisa dilepaskan dari peran akademi-akademi sepak bola di Eropa. Hampir semua klub besar di Eropa memiliki akademi yang mampu memoles seorang anak seperti Fati menjadi seorang legenda.
Dari La Masia tempat Fati berlatih, telah lahir nama-nama seperti Cesc Fabregas, Carles Puyol, Pep Guardiola, Andres Iniesta, dan Messi. Akademi itu menganut prinsip bahwa kepribadian merupakan faktor utama dari seorang pemain.
”Selain itu, murid harus bisa menghormati tiga pilar penting, yaitu penguasaan bola, posisi bola, dan bagaimana menekan setelah kehilangan bola. Inilah cara kami memahami sepak bola,” kata Kepala Pelatih La Masia, Marc Carmona, dikutip The Guardian.
Pembentukan karakter juga terjadi di Akademi Ajax, Belanda, yang tidak kalah tersohor karena banyak melahirkan legenda seperti Johan Cruyff, Marco van Basten, Frank Rijkaard, hingga para bintang muda era modern seperti Matthijs de Ligt. Ajax sampai saat ini menjadi sasaran utama bagi klub-klub utama jika ingin mencari pemain muda berbakat.
Tantangan terbesar para bintang muda itu sebenarnya baru dimulai setelah lulus dari akademi dan bergabung dengan klub. Mereka harus bisa fokus mengembangkan diri dan menghindar dari efek buruk popularitas. Jika gagal menghadapi tantangan itu, menjadi penakluk Eropa atau dunia hanya akan menjadi mimpi belaka. (AP/AFP/REUTERS)