Pidato Presiden Jokowi 16 Menit, Ketua MPR 50 Menit
Padahal setiap kali prosesi pelantikan presiden, pidato presiden paling dinanti. Sebab dari pidato itu, setidaknya akan tergambar prioritas presiden dalam lima tahun ke depan.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu, Satrio Pangarso Wisanggeni, dan Sharon Patricia
·5 menit baca
Saat prosesi pelantikan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin sebagai Presiden-Wakil Presiden 2019-2024, durasi pidato Presiden Jokowi tak sebanding dengan pidato yang disampaikan Ketua MPR Bambang Soesatyo. Padahal, setiap kali prosesi pelantikan, pidato presiden paling dinanti. Sebab, dari pidato itu, setidaknya akan tergambar prioritas presiden dalam lima tahun ke depan.
Durasi pidato Presiden Jokowi hanya berlangsung sekitar 16 menit, sedangkan pidato demi pidato yang disampaikan oleh Bambang Soesatyo selama prosesi pelantikan memakan waktu hingga 50 menit.
Presiden Jokowi dalam pidato pertamanya setelah dilantik menyampaikan sejumlah program yang akan dilaksanakan selama lima tahun ke depan. Salah satunya target menggapai cita-cita peningkatan ekonomi, yaitu keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah (middle income trap) pada 2045. Indonesia diharapkan telah menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita per tahun sebesar Rp 320 juta atau Rp 27 juta per kapita per bulan.
”Mimpi kita di tahun 2045, produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai 7 triliun dollar AS. Indonesia sudah masuk lima besar ekonomi dunia dengan kemiskinan mendekati nol persen. Kita harus menuju ke sana,” kata Jokowi.
Menurut dia, ketercapaian target tersebut tidak mustahil. Hanya butuh kerja keras dan cepat, serta kerja bangsa yang produktif.
Bangsa Indonesia harus inovatif, menciptakan cara dan nilai baru untuk bisa lepas dari middle income trap. Salah satunya, mengubah orientasi kerja birokrasi, bukan lagi pada proses, melainkan memprioritaskan hasil atau tujuan akhir.
Sebab, selama ini proses kerja birokrasi kerap bertentangan dengan hasil yang dirasakan masyarakat. ”Kalau (birokrat) ditanya, jawabnya program sudah terlaksana Pak. Tetapi, setelah dicek di lapangan, setelah saya tanya ke masyarakat, ternyata masyarakat belum menerima manfaat,” kata Jokowi.
Menurut Jokowi, target untuk keluar dari middle income trap menjadi lebih bisa dilakukan, karena Indonesia tengah berada pada puncak bonus demografi. Jumlah penduduk berusia produktif yang jauh lebih tinggi ketimbang usia tidak produktif menjadi bekal penting untuk keluar dari jebakan tersebut. Akan tetapi, kesempatan itu perlu diiringi dengan pembangunan sumber daya manusia (SDM) serta dukungan ekosistem politik dan ekonomi yang kondusif.
Sebagai langkah konkret, Presiden Jokowi memaparkan lima program yang akan dilaksanakan selama lima tahun ke depan untuk lepas dari middle income trap. Pertama, memprioritaskan pembangunan SDM berkarakter pekerja keras, dinamis, terampil, dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, melanjutkan pembangunan infrastruktur.
”Segala bentuk kendala regulasi harus kita sederhanakan, harus kita potong, harus kita pangkas. Pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang besar, yaitu UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM),” kata Jokowi.
Ia menambahkan, kedua UU tersebut akan menjadi omnibus law atau UU yang dapat merevisi banyak UU sekaligus.
Selain itu, Jokowi berencana menyederhanakan jabatan pimpinan tinggi di instansi pemerintah. Jika saat ini terhadap empat jenjang pejabat eselon, Jokowi hendak memangkasnya menjadi dua tingkat. Sisanya, akan diganti dengan jabatan fungsional yang mengutamakan keahlian dan kompetensi.
Terakhir, transformasi ekonomi. Menurut Jokowi, perlu ada transformasi dari ketergantungan pada sumber daya alam kepada daya saing manufaktur dan jasa modern.
Semua program itu Jokowi sampaikan secara efektif dan efisien selama 16 menit. Sepanjang pidato, ia tidak banyak menambahkan konten di luar gagasan selain pantun empat baris yang ia sampaikan sebagai penutup.
Kesan mandataris MPR
Sementara itu, pidato demi pidato dari Bambang Soesatyo memakan waktu 50 menit, hanya terpotong 10 menit untuk momen pengucapan sumpah jabatan, serta penandatanganan berita acara pelantikan oleh presiden, wakil presiden, dan pimpinan MPR.
Dalam pidatonya, dia membahas banyak hal. Mulai dari apresiasi terhadap kinerja penyelenggara dan pengawas pemilu atas terselenggaranya Pemilu serentak 2019, hingga apresiasi terhadap kinerja Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019 Jokowi-Jusuf Kalla.
Selain itu, dia dua kali memberikan apresiasi khusus bagi Jusuf Kalla dan istri atas sumbangsih mereka terhadap negara selama beberapa tahun terakhir. Bahkan, ia menyiapkan sapaan khusus untuk kedatangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno yang hadir dalam pelantikan. Prabowo-Sandi seperti diketahui merupakan rival Jokowi-Amin di Pemilu Presiden 2019.
”Izinkan kami dari meja pimpinan majelis menyampaikan apresiasi dan penghargaan yang sebesar-besarnya atas ketulusan Bapak Prabowo dan Bapak Sandiaga Uno menerima hasil Pemilu 2019 dengan jiwa yang besar. Ada saatnya kita bertempur, dan ada saatnya kita bersatu kembali. Kata Bapak Prabowo, bersatu itu keren,” ujar Bamsoet.
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Nyarwi Ahmad mengatakan, dalam konteks pelantikan, sudah semestinya Presiden mendapatkan waktu lebih banyak untuk berpidato. Sebab, agenda tersebut merupakan momentum khusus untuk merayakan sekaligus mengikat komitmen pemimpin yang telah dipilih oleh rakyat.
Durasi pidato Bamsoet yang jauh lebih lama ketimbang Jokowi dinilai kontradiktif dengan semangat itu.
”Ada kesan secara implisit bahwa presiden merupakan mandataris MPR. Semestinya tidak begitu, presiden harus diberikan panggung yang lebih luas,” kata dia.
Ada kesan secara implisit bahwa presiden merupakan mandataris MPR. Semestinya tidak begitu, presiden harus diberikan panggung yang lebih luas.
Penguatan demokrasi
Selain berbeda dari sisi durasi, Nyarwi berpendapat, perbedaan mencolok juga tampak pada konten pidato kedua tokoh itu. Dalam konteks pembangunan negara demokrasi, ia mengapresiasi salah satu poin pidato Bamsoet terkait pembagian peran antara negara dan masyarakat dalam pembangunan.
Sementara itu, pidato Jokowi terlihat lebih fokus pada peran negara. Prioritas isu yang dibicarakan Jokowi pun mengarah pada sektor ekonomi saja.
”Padahal, pembangunan ekonomi Indonesia harus dibarengi dengan penguatan sektor lain. Di antaranya penegakan hukum, keberpihakan pada hak asasi manusia (HAM), pemberantasan korupsi,” kata Nyarwi.
Ia menambahkan, penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan korupsi penting untuk menguatkan demokrasi. Sebab, sektor ekonomi dan politik Indonesia masih cenderung dikuasai oligarki.
”Struktur ekonomi yang oligarki itu berpotensi besar untuk dikorupsi, dan persoalan korupsi belum diatasi dengan baik di Indonesia. Jadi, sebenarnya (masyarakat) juga membutuhkan komitmen antikorupsi (dari presiden),” ujar Nyarwi.