Kebakaran Hutan Turut Memicu Angin Kencang di Batu
Kebakaran hutan di Gunung Arjuna diduga turut memicu terjadinya bencana angin kencang di Desa Sumberbrantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, pada Minggu (20/10) malam.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebakaran hutan di Gunung Arjuna diduga turut memicu terjadinya bencana angin kencang di Desa Sumberbrantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, pada Minggu (20/10) malam. Bencana angin kencang ini menyebabkan satu orang meninggal, beberapa orang luka-luka, dan sekitar 550 orang mengungsi.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Agus Wibowo, di Jakarta, Senin (21/10/2019), mengatakan, angin kencang mulai melanda Desa Sumberbrantas sejak Sabtu (19/10) malam sekitar pukul 23.30. Angin masih berembus kenjang hingga sepanjang Minggu.
Banyak pohon tumbang yang mengganggu akses jalan raya dan mengancam beberapa bangunan rumah maupun dan fasilitas umum. ”Hingga saat ini listrik masih padam dan mengganggu jaringan komunikasi,” kata Agus.
Akibat angin kencang ini, menurut Agus, satu warga Desa Sumberbrantas, yaitu Sodiq (66), meninggal karena tertimpa pohon pinus. Sejumlah warga juga diketahui mengalami luka-luka dan beberapa bangunan mengalami kerusakan. Pendataan rinci mengenai dampak bencana ini masih dilakukan.
Mengubah angin
Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologik, dan Geofisika (BMKG) Siswanto mengatakan, bencana angin kencang yang melanda Desa Sumberbrantas ini bersifat lokal. Pada saat kejadian, kecepatan angin di Kota Malang hanya sekitar 22 knot, jauh lebih rendah dibandingkan dengan pekan sebelumnya yang mencapai 32 knot.
Menurut Siswanto, data ini menunjukkan, angin kencang hanya terjadi di Sumberbrantas, yang merupakan wilayah dengan kontur pegunungan. ”Dalam dua hari terakhir terjadi kebakaran cukup luas di bagian yang lebih tinggi, yaitu di Gunung Arjuna. Hal itu dapat memicu aliran angin lembah atau aliran angin dari lembah ke arah gunung, yang lebih kuat dari biasanya sehingga membawa debu pasir terangkat ke bagian atas,” ujarnya.
Angin lembah biasanya terjadi siang hari saat bagian dataran yang lebih luas dan lebih rendah mendapat pemanasan matahari yang cukup. ”Namun, bencana kali ini terjadi karena angin lebih kencang di malam hari. Jadi, diduga kebakaran hutan lahan di bagian gunung yang lebih tinggi turut memicu kejadian bencana lokal angin kencang ini,” katanya.
Menurut Siwanto, dalam skala tertentu, tekanan udara permukaan berbanding terbalik dengan suhu udara permukaan. Suhu yang lebih panas akibat kebakaran yang melanda dalam waktu yang cukup lama, akan menurunkan tekanan udara permukaan sehingga udara mengalir ke wilayah dengan suhu lebih panas tersebut.
Di areal pegunungan seperti di wilayah Batu hingga arah Mojokerto yang lebih rendah, sirkulasi udara lokal cenderung bergerak turun atau disebut dengan angin gunung. Akan tetapi, pada saat bencana, kawasan yang lebih tinggi menjadi lebih panas karena kebakaran. Akibatnya, sirkulasi angin lokal itu berbalik sehingga menyebabkan angin lembah menjadi lebih kuat dari biasanya. ”Pada topografi tertentu, oleh pengaruh bentuk lereng dan permukaan pegunungan, angin lembah itu dapat membentuk pusaran pusaran angin pada area dan skala yang lebih kecil,” ungkapnya.