Jalan Berbayar Diterapkan di Jalur Ganjil-Genap Pada 2021
Rekayasa lalu lintas untuk mengendalikan kemacetan terus dilakukan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana memberlakukan jalan berbayar pada 2021 setelah kajian mengenai hal ini selesai.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menargetkan penerapan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP) di seluruh jalur ganjil-genap pada 2021. Penerapan ini dilakukan setelah kajian mengenai sistem ini selesai pada Maret 2020. Atas perbuatannya, tersangka terancam pidana maksimal 15 tahun sesuai Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo masih mengkaji ulang sistem ERP, sekaligus melengkapi dokumen pendukungnya. Permintaan kaji ulang pengadaan barang dan jasa proyek ERP itu merupakan opini hukum (legal opinion) dari Kejaksaan Agung. Dia berharap, kajian itu bisa selesai pada triwulan 1-2020.
"Setelah kaji ulang, kami lengkapi dokumen, termasuk di dalamnya ada regulasi yang harus disesuaikan. Setelah itu, baru masuk lelang. Kami akan kejar 2021 (mulai bisa diterapkan)," ujar Syafrin, Senin (21/10/2019) di Gedung DPRD DKI Jakarta.
Dalam Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta 2020, Dinas Perhubungan DKI melalui Unit Pengelola Sistem Jalan Berbayar Elektronik pun telah mengajukan sejumlah program terkait kajian ulang proyek ERP dengan total anggaran sebesar Rp 1,814 miliar.
Program-program tersebut meliputi kajian ulang kelayakan (feasibility) studi ERP sebesar Rp 699,5 juta, kajian analisis dampak lingkungan dan manajemen rekayasa lalu lintas ERP sebesar Rp 703,1 juta, serta kajian perencanaan fisik ERP sebesar Rp 411,6 juta.
Konstruksi hukum
Setelah kajian selesai, Syafrin menjelaskan, proses lelang akan diatur ulang berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dengan begitu, proses lelang bisa berjalan dengan konstruksi hukum yang benar.
Pemerintah DKI juga tengah menyusun konstruksi hukum sebagai dasar penarikan retribusi dari sistem ERP. Skema retribusi ini mengacu pada tiga landasan hukum, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen Rekayasa Lalu Lintas, PP Nomor 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing.
"Berbeda dengan proses sebelumnya, kan, tarif layanan lewat skema BLUD (Badan Layanan Umum Daerah). Nah, ke depan, untuk ERP itu, tarifnya retribusi. Konstruksi hukumnya itu dulu yang ingin kami dudukkan," kata Syafrin.
Agar tak menabrak aturan hukum yang ada, Pemerintah DKI juga mengkaji ulang Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2015 tentang Transportasi. Perda yang sebelumnya mengatur soal ERP tersebut akan masuk dalam skala prioritas di program legislasi daerah (prolegda) tahun depan.
Setelah aturan hukum selesai, Syafrin mengatakan, sistem ERP mulai diterapkan terlebih dahulu di 25 ruas jalan ganjil-genap. "Untuk sementara tentu yang kami identifikasi adalah koridor yang saat ini sudah menjadi koridor ganjil-genap," ucapnya.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, saat wawancara khusus dengan Harian Kompas di kantornya, Balai Kota Jakarta, Kamis (17/10/2019), mengatakan, pengadaan proyek ERP harus didasarkan pada konstruksi hukum yang benar agar tidak bermasalah di kemudian hari.
"Governance-nya harus dibereskan dulu supaya tidak menimbulkan masalah karena nilainya cukup besar, melibatkan begitu banyak orang, dan menggunakan teknologi. Kalau governance-nya enggak beres, repot kita," ujar Anies. Anies menambahkan, sistem ERP juga akan menggunakan teknologi yang serba canggih. Salah satunya, sistem tersebut bisa mendeteksi muatan dari kendaraan berat, seperti truk.