Turunnya sumbangan sektor industri terhadap perekonomian perlu jadi bahan mengevaluasi kebijakan. Awal periode kedua Presiden Joko Widodo bisa jadi momentum pembenahan.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Turunnya sumbangan sektor industri terhadap perekonomian perlu jadi bahan mengevaluasi kebijakan. Awal periode kedua Presiden Joko Widodo bisa jadi momentum pembenahan.
Pada tahun 2004, sektor industri pengolahan tercatat menyumbang 28,37 persen terhadap produk domestik bruto atau PDB. Sumbangan sektor ini cenderung turun dan tahun lalu tercatat 21,04 persen. Pada triwulan II-2019, industri pengolahan menyumbang 19,52 persen, turun dibandingkan triwulan II-2014 yang masih tercatat 21,2 persen.
Ada pro kontra terkait tren itu. Sebagian pihak menilainya sebagai gejala deindustrialisasi. Namun, sebagian lain menilai sebaliknya. Sebab, industri tetap tumbuh, meski pertumbuhannya melambat atau di bawah angka pertumbuhan ekonomi.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Mudrajad Kuncoro, dalam Dialog 100 Ekonomi bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta, Kamis pekan lalu menyebutkan, sumbangan industri manufaktur terhadap PDB terus turun. "Pertanyaannya, apakah tahun 2030-2045 perekonomian Indonesia akan berbasis industri atau jasa?" ujarnya.
Sebelumnya, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Hendri Saparini berpendapat, pengakuan jujur mengenai deindustrialisasi akan menjadi awal pembenahan industri di Tanah Air.
Fokus
Menurut Hendri, Indonesia bisa menjadikan praktik-praktik terbaik industrialisasi negara maju sebagai pelajaran. Namun, hal itu tidak lantas Indonesia mengikuti tahap-tahap negara itu secara komplit. Sebab ada perbedaan antara kondisi negara tersebut di masa lalu dan Indonesia saat ini.
Indonesia harus berstrategi, termasuk dalam memilih industri yang mau didorong. Permasalahan makro Indonesia saat ini karena ada kelemahan di sisi suplai sehingga tidak ada pilihan bagi negara ini selain harus berproduksi. "Kalau mau berproduksi, segala kebijakan perdagangan, keuangan, fiskal, dan lainnya harus mendorong kemajuan industri. Saya rasa hal itu yang jadi kunci," kata Hendri.
Menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, pemetaan industri strategis dibutuhkan untuk memfokuskan kebijakan industri nasional. Kebijakan tersebut harus jadi konsensus kementerian dan lembaga terkait.
Gejala yang ada dinilai cukup untuk mengevaluasi kebijakan perindustrian. Ketika industri tak berkembang, artinya ketahanan dan daya saing industri lemah.
Kementerian Perindustrian dalam keterangannya, Sabtu (19/10/2019) menyatakan, industri pengolahan masih jadi motor penggerak ekonomi Indonesia. Selama kurun tahun 2014-2019, industri pengolahan berkontribusi rata-rata 20 persen terhadap PDB nasional.
Kementerian Perindustrian mencatat, realisasi investasi sektor industri pengolahan selama 2015 hingga semester I-2019 mencapai Rp 1.173,5 triliun. Nilai ekspor sektor industri meningkat dari 108,6 miliar dollar AS tahun 2015 jadi 130 miliar dollar AS pada 2018.
Sepanjang Januari-September 2019 ekspor sektor industri tercatat 93,7 miliar dollar AS atau 75,51 persen terhadap total ekspor nasional yang 124,1 miliar dollar AS. Sementara penyerapan tenaga kerja pada Februari 2019 mencapai 18,23 juta orang.
Menurut Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, program Making Indonesia 4.0 yang diluncurkan tahun 2018 diharapkan meningkatkan PDB, kontribusi industri manufaktur terhadap PDB, dan menciptakan lapangan kerja. (CAS)