Pekerjaan Rumah Tersisa Kemenhub, Mewujudkan Indonesia Sentris
Kementerian Perhubungan masih meninggalkan pekerjaan rumah (PR) setelah berakhirnya Kabinet Kerja Jilid 1. PR itu adalah mewujudkan pembangunan dalam persepektif Indonesia sentris.
Oleh
Erika Kurnia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Perhubungan masih meninggalkan pekerjaan rumah setelah berakhirnya masa Kabinet Kerja Jilid 1 pemerintahan Presiden Joko Widodo - Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pekerjaan rumah tersebut adalah upaya mewujudkan pembangunan dalam perspektif Indonesia sentris.
Tugas utama Kementerian Perhubungan dalam menyelesaikan pekerjaan rumah (PR) tersebut utamanya adalah meningkatkan konektivitas udara dan laut untuk menjangkau berbagai wilayah Indonesia.
"Visi misi kami, yang juga harapan Presiden Joko Widodo, satu, yaitu konektivitas. Bicara konektivitas, kami masih banyak PR," kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam pertemuan dengan wartawan di Jakarta, Sabtu (19/10/2019). Acara itu diikuti seluruh direktur jenderal dan staf ahli menteri di Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Dalam lima tahun terakhir, infrastruktur transportasi banyak difokuskan ke daerah terdepan, terluar, dan tertinggal.
Pekerjaan Indonesia sentris, yaitu meningkatkan konektivitas dengan menyebar pembangunan ke luar Jawa, menurut Budi, tidaklah mudah. Dalam lima tahun terakhir, infrastruktur transportasi banyak difokuskan ke daerah terdepan, terluar, dan tertinggal.
"Untuk konektivitas nasional, kita harus punya lebih banyak bandara dan mengelolanya lebih maksimal. Untuk angkutan laut, kita juga masih harus menyelesaikan beberapa pelabuhan. Tol laut harus kita tingkatkan agar dapat langsung membantu ekspor," tutur Budi.
Dalam lima tahun ke depan, Kemenhub akan menambah bandara di wilayah Papua. Bandara itu akan didirikan di Kabupaten Manokwari, Fakfak, Raja Ampat, dan Sorong.
Sejak 2015 hingga akhir 2019, sebanyak 15 bandara di bawah Kemenhub ditargetkan dibangun. Saat ini, sepuluh di antaranya sudah beroperasi seperti bandara Miangas di Sulawesi Utara dan Anambas di Kepulauan Riau.
Selain itu, pemeliharaan dan pengembangan juga akan terus dikerjakan untuk memperbaiki konektivitas. Direktur Jenderal Perhubungan Udara Polana B Pramesti mengatakan, program tersebut banyak difokuskan ke daerah perbatasan, terisolir, dan rawan bencana.
"Program di bandara daerah perbatasan dan daerah bencana penting untuk pemerataan pembangunan, mempermudah evakuasi dan distribusi logistik," ujarnya.
Sejauh ini, Kemenhub sudah memelihara dan mengembangkan 127 bandara di perbatasan, 242 bandara daerah terisolasi, dan 290 bandara di daerah rawan bencana. Pembangunan dan rehabilitasi juga dilakukan di 30 terminal yang telah meningkatkan kapasitas hingga 63 juta penumpang per tahun.
Dalam hal konektivitas laut, program tol laut yang pertama kali dicetuskan di masa pemerintahan awal Joko Widodo telah dibangun 18 trayek, yang didominasi rute ke wilayah timur Indonesia. Pembangunan tol laut yang diintegrasikan dengan moda transportasi logistik dinilai telah berhasil menurunkan biaya kebutuhan pokok.
"Pembangunan tol laut terbukti menurunkan secara drastis beberapa harga kebutuhan pokok, seperti semen yang Rp 80.000 per sak bisa turun Rp 60.000 per sak. Ini akan terus kita lanjutkan," kata Direktur Jenderal Perhubungan Laut Agus H Purnomo.
Menurut data Kemenhub, kemudahan pengiriman barang lewat tol laut menurunkan harga gula pasir sampai 6 persen dan beras sampai 14 persen di Anambas, Kepulauan Riau. Di Fak-Fak, Papua, harga beras turun 14 persen.
Belum efektif
Meski sudah menunjukkan dampak positif, pembangunan tol laut dinilai belum efektif menurunkan harga beberapa komoditas, terutama sektor pertanian. Menurut Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi, hal itu disebabkan muatan balik yang sedikit, khususnya dari wilayah timur Indonesia.
"Muatan balik dari wilayah timur Indonesia hanya sekitar 20 persen dari total muatan dari wilayah barat sehingga harga jualnya mahal. Sebagai contoh, jika sebuah truk berkapasitas 10 ton membawa barang dengan muatan penuh dari Pulau Jawa ke Pulau Papua, muatan yang dibawa kembali hanya 2 ton," katanya beberapa waktu lalu.
Menurutnya, tidak seimbangnya arus muatan barang dalam rantai pasok logistik disebabkan tidak meratanya penyebaran pembangunan. Hal ini tercermin dari kontribusi wilayah barat Indonesia pada PDB nasional. Pulau Jawa menyumbang sekitar 60 persen, diikuti Sumatera sekitar 20 persen dan Kalimantan 8 persen.
"Solusi jangka panjangnya, pemerintah daerah harus mampu meningkatkan volume komoditasnya untuk diangkut transportasi logistik. Caranya dengan menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi atau mengembangkan industri lokal baru," tuturnya.