Sumba Timur yang kering bisa memenuhi kebutuhan pangannya jika membudidayakan tanaman sesuai iklimnya. Sorgum yang dulu dibudidayakan warga merupakan salah satu jawabannya.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
Hingga 1980-an, masyarakat desa di pedalaman Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, masih bisa berswadaya dengan aneka sumber pangan, salah satunya sorgum yang dalam bahasa lokal disebut sebagai watar hammu, artinya biji-bijian baik. Penyeragaman budidaya dan konsumsi beras membuat mereka kini bergantung pada pangan dari luar pulau.
Kini, jangankan memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, untuk pakan babi pun mereka harus membeli polar (pollard) atau dedak gandum impor. Adapun untuk kebutuhan pangan sehari-hari, masyarakat harus membeli beras dari kota, selain juga bergantung pada bantuan rastra (beras sejahtera).
Sebagai contoh, keluarga Ince Njurumana (24), Kepala Dusun Djangfa Meha, Desa Meurumba, yang terdiri dari lima orang, harus membeli beras rata-rata 50 kilogram (kg) per dua minggu atau 100 kg per bulan. Dengan harga beras di desa mencapai Rp 11.000 per kg, itu berarti tiap bulan dia harus mengeluarkan uang minimal Rp 1,1 juta hanya untuk membeli beras.
”Hasil panen padi warga tidak pernah cukup. Bahkan, semakin ke sini, hasilnya makin kurang karena sering gagal panen. Hujan tak menentu dan hama juga banyak. Musim panen lalu kami bahkan gagal panen,” kata Kepala Desa Meurumba, Kecamatan Kahaungu Eti, Sumba Timur, Balla Nggiku (60).
Hasil panen padi warga tidak pernah cukup. Bahkan, semakin ke sini, hasilnya makin kurang karena sering gagal panen. Hujan tak menentu dan hama juga banyak. Musim panen lalu kami bahkan gagal panen.
Kepala Dusun Djangfa Meha, Desa Meurumba, Ince Njurumana (24) menuturkan, hasil panen padi biasanya hanya cukup untuk makan tiga bulan. Selebihnya warga harus membeli beras, selain mendapatkan bantuan beras sejahtera (dulu bernama beras miskin) dari pemerintah.
Lahan sawah warga Desa Meurumba dan Meuramba memang terbatas, rata-rata kurang dari 0,5 hektar per keluarga. Bahkan, banyak warga yang tidak memiliki sawah.
Meski tidak punya sawah, pada masa lalu masyarakat Desa Meuramba dan Meurumba, sebagaimana dan desa-desa lain di Pulau Sumba, sebenarnya bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. ”Sampai tahun 1980-an, kami cukup makan dari hasil ladang sendiri. Waktu itu, kami masih tanam padi ladang, watar willi (sorgum), uhu kani (jewawut), dan macam-macam umbi,” kata Yusuf Umburutung (57), warga Desa Mauramba.
Selain biji-bijian, warga Sumba Timur dulu juga mengonsumsi beragam jenis umbi, di antaranya litang, ganyong, luwa, ubi jalar, singkong, dan keladi. Umbi yang masih dibudidayakan di antaranya singkong dan ubi jalar, tetapi lebih banyak untuk pakan ternak. ”Setelah hanya makan beras, akhirnya kami sekarang kekurangan pangan, jadi harus beli dari luar,” tutur Balla Nggiku.
Sumba Timur yang kering dengan hari hujan terbatas sebenarnya kurang cocok ditanami padi sawah. Perubahan pola konsumsi warga ke beras memicu defisit pangan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumba Timur pada 2016, produksi beras lokal untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras warga Sumba Timur hanya 32,5 persen dari total konsumsi 125.427 ton.
Perubahan iklim
Defisit beras di Sumba Timur ini diperkirakan semakin parah pada tahun-tahun mendatang, seiring terjadinya perubahan iklim. Riset oleh peneliti iklim dari Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Amsari dan tim (2019), menunjukkan, hasil uji tren hari kering berturutan pada rentang 1981-2018 cenderung naik 2-4 hari per sepuluh tahun di Rambangaru, pesisir timur Sumba Timur. Jadi, secara signifikan, terjadi peningkatan kekeringan di Sumba Timur.
”Hari kering berturutan yang meningkat secara umum terjadi di bagian selatan Indonesia, terutama di NTT. Fenomena ini konsisten dengan proyeksi perubahan iklim di masa mendatang, bahwa daerah yang kering akan cenderung menjadi semakin kering,” kata Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto.
Perubahan iklim diketahui akan menjadi tantangan besar di masa depan dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan. Berdasarkan kajian Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) bersama Kementerian Pertanian serta BMKG yang dirilis pada Januari 2018, tanaman padi sangat rentan perubahan iklim.
Sementara studi Aldrian dan tim (2015) menunjukkan, keterlambatan hujan selama satu bulan karena perubahan iklim dapat menurunkan produksi beras sebanyak 65 persen di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Adapun di Bali, produksi padi telah menurun sebesar 20 persen dalam 20 tahun terakhir karena perubahan iklim.
Dengan terus bertambahnya pengonsumsi beras, sementara lahan sawah penghasil lumbung padi di Jawa dan Bali terus menyusut, upaya pemenuhan pangan ke depan makin sulit jika hanya ditumpukan pada beras.
Sumba dan NTT umumnya menjadi contoh nyata bahaya penyeragaman pangan menjadi beras. Secara alami, lahan-lahan yang cocok untuk tanaman padi di wilayah ini sangat terbatas. Meski demikian, NTT sebenarnya memiliki beragam potensi sumber pangan lain dan secara turun-temurun telah dibudidayakan warga, di antaranya sorgum.
Berbeda dengan tanaman padi, secara alami sorgum tumbuh baik di iklim yang kering dengan air terbatas. Marcia Pabendon, peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Serelia Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, menyebutkan, daerah NTT yang beriklim kering seharusnya bisa mencukupi pangan jika mengembangkan sorgum.
Dia mencontohkan Flores Timur, khususnya Desa Likotuden, yang sukses mencukupi kebutuhan pangan dengan kembali ke sorgum. Diinisiasi oleh Maria Loreta, desa yang dulu juga kekurangan pangan kini bisa surplus dan menjual sebagian budidaya sorgumnya hingga ke luar kota.
Tak hanya memenuhi kebutuhan pangan, sorgum yang memiliki kandungan protein tinggi dan beragam nutrisi baik ini telah menjadi salah satu tumpuan untuk mengatasi gizi buruk dan tengkes (stunting) atau gangguan tumbuh kembang karena kurang gizi kronis di Flores Timur.
Menurut Pabendon, sorgum merupakan tanaman yang butuh cahaya matahari 9-12 jam sehari sehingga cocok untuk wilayah ini. Sorgum punya efisiensi fotosintensis tinggi sehingga optimal di tanah dengan sumber hara dan air terbatas.
Selain disebut watar willi yang artinya jagung tinggi, masyarakat di Sumba Timur menyebut sorgum sebagai watar hammu atau biji-bijian yang baik. Itu disebabkan tanaman ini tetap berproduksi dan memberikan panen yang baik ketika tanaman-tanaman lain sulit menghasilkan.