Membandingkan Sanitasi Jakarta dengan Kota Lain
Sanitasi adalah parameter utama menjamin kesehatan masyarakat. Di DKI Jakarta, masih banyak warga yang belum mendapat akses ke sanitasi. Akselerasi program sanitasi dibutuhkan untuk mewujudkan kualitas sanitasi warga.
Menyandang julukan sebagai kota metropolitan tidak otomatis membuat warga DKI Jakarta juga hidup dalam fasilitas sanitasi yang mewah. Ada sebagian warga Ibu Kota yang belum memiliki akses sanitasi layak.
Publikasi Statistik Indonesia 2019 mencatat, terdapat 2,74 juta rumah tangga di DKI Jakarta. Dari jumlah tersebut, 90,73 persen atau 2,49 juta rumah tangga sudah memiliki akses terhadap sanitasi layak. Selebihnya masih menggunakan sanitasi tidak layak.
Data Sanitasi Total Berbasis Masyarakat yang diakses pada 17 Oktober 2019 memberikan gambaran lebih jelas akses rumah tangga di DKI Jakarta terhadap fasilitas tempat buang air besar di tempat tinggal masing-masing.
Setidaknya masih terdapat 258.322 rumah tangga di Jakarta yang masih menggunakan fasilitas bersama, MCK umum, bahkan belum memiliki sanitasi layak. Rinciannya, ada 144.436 keluarga masih menumpang jamban dan 113.886 keluarga masih buang air sembarangan.
Baca juga : Hidup ”Berkawan” Tinja
Fasilitas sanitasi layak didefinisikan sebagai fasilitas higienis yang meliputi sedikitnya empat jenis toilet atau jamban. Pertama, toilet siram secara manual atau otomatis atau kakus yang terhubung ke saluran pembuangan.
Selanjutnya, jamban yang berventilasi dan jamban dengan lempengan atau pijakan. Terakhir, toilet atau kakus kompos. Sementara sanitasi tak layak menunjukkan kondisi toilet atau jamban tanpa saluran khusus pembuangan dan praktik buang air besar sembarangan.
Khusus wilayah DKI Jakarta, 95,32 persen rumah tangga telah memiliki tempat pembuangan akhir tinja, antara lain memiliki tangki septik. Sisanya 4,68 persen belum memiliki kejelasan pengelolaan limbah.
Kondisi tersebut menunjukkan masih adanya problem pengelolaan sanitasi, utamanya rumah tangga yang buang air besar sembarangan dan kondisi jamban tanpa tangki septik. Akibatnya, warga rentan terkena penyakit seputar gangguan sanitasi, seperti diare dan gangguan pencernaan. Selain itu, ancaman pencemaran lingkungan dapat terjadi akibat belum maksimalnya pengelolaan sanitasi kota.
Baca juga : Mimpi Jakarta Keluar dari Masalah Jamban
Tata ruang
Persoalan lingkungan menjadi bagian dari pengelolaan dan rencana tata ruang wilayah suatu daerah. Rencana tata ruang wilayah (RTRW) memuat arahan pemanfaatan ruang dibuat untuk mendukung terwujudnya ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
Sejak tahun 1965 sampai sekarang sudah dibuat empat produk rencana tata ruang yang isinya aturan-aturan pakem bagaimana memanfaatkan ruang di ibu kota negara ini. Setiap produk mempunyai arahan ruang sendiri dan berbeda antarproduk aturan.
Seperti soal arah perkembangan permukiman dan lingkungan. Rencana Induk Djakarta 1965-1985, permukiman kota dikembangkan secara sektoral sesuai dengan fungsi lahan. Rencana permukiman direncanakan dengan memperhatikan peruntukan wilayah, kepadatan penduduk, luas wilayah, fasilitas lingkungan, serta keamanan dan kebersihan.
Upaya menjaga keberlanjutan lingkungan Jakarta baru disebut dalam produk kedua (RUTR 2005) dengan menonjolkan fungsi daerah resapan air. Ketentuan mengenai ruang terbuka hijau juga menjadi perhatian, tapi baru dikenalkan dalam produk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2030.
Baca : Pelajaran dari Keruntuhan Batavia
Pengembangan manajemen sanitasi yang dilakukan oleh DKI Jakarta tertuang dalam dokumen Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah DKI Jakarta 2017-2022.Selain itu, ada pula Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, khususnya pada bagian perwujudan sistem dan jaringan utilitas perkotaan.
Setidaknya ada empat upaya DKI Jakarta hingga 2030 untuk mengoptimalkan manajemen sanitasi. Pertama, memperluas pelayanan pengelolaan air limbah melalui pengembangan sistem terpusat di kawasan permukiman, pusat bisnis, industri, dan pelabuhan.
Kedua, memperluas pelayanan pengelolaan air limbah dengan sistem modular di luar central zone. Ketiga, peningkatan kapasitas instalasi pengolahan lumpur tinja dan terakhir pembangunan baru instalasi pengolahan lumpur tinja.
Tak hanya itu, sebagai langkah konservasi sumber daya air yang rentan tercemar limbah domestik, termasuk lumpur tinja, DKI Jakarta akan melakukan pemisahan sistem saluran buangan secara bertahap dan perluasan sistem pengolahan limbah komunal.
Jepang
Gambaran kondisi sanitasi di DKI Jakarta berbeda dengan banyak kota besar di Jepang, seperti Sendai, Tokyo, Kobe, Kumamoto, Hiroshima, dan Fukuoka. Manajemen sanitasi masuk dalam program besar water supply and sanitation yang diturunkan dari rancangan besar pengembangan manajemen bencana.
Berdasarkan dokumen Resilient Water Supply and Sanitation Services: The Case of Japan oleh Bank Dunia dan Global Facility for Disaster Reduction and Recovery, total ada lima poin utama yang diterapkan Jepang agar layanan sanitasi dapat terlaksana secara berkelanjutan.
Masih terdapat 258.322 rumah tangga di Jakarta yang masih menggunakan fasilitas bersama, MCK umum, bahkan belum memiliki sanitasi layak.
Pertama, kerangka hukum dan kelembagaan yang memuat struktur organisasi hingga koordinasi antarbidang. Kedua, perencanaan sistem dengan detail, seperti pengelolaan sanitasi prabencana hingga pascabencana.
Ketiga, pemilihan desain dan bahan teknik bermutu yang bertujuan agar perencanaan berulang untuk optimalisasi layanan sanitasi berjalan teratur. Berikutnya, manajemen aset seluruh jaringan layanan meliputi sarana mitigasi dan kontrol kerusakan sistem sanitasi.
Terakhir, perumusan program kontinjensi berkelanjutan. Poin terakhir ini memasukkan unsur bisnis ke dalam perencanaan jaringan sanitasi hingga pengoperasian kantor pusat serta melatih dan membangun sistem komunikasi darurat hingga ke masyarakat.
Singapura
Negara lain yang sukses dalam manajemen sanitasi adalah Singapura. Metamorfosis Singapura dari negara dengan sanitasi buruk menjadi salah satu negara terbersih di dunia menjadi model tepat untuk diadopsi oleh Indonesia. Menurut laporan World Toilet Organization, sekitar tahun 1960, Singapura adalah kota tercemar dengan praktik buang air besar sembarangan merajalela. Setidaknya butuh waktu 10 tahun untuk melakukan transformasi besar dengan cara mengembangkan deep tunnel sewerage system dan penyediaan perumahan publik.
Selain itu, industri pengolahan air limbah ditingkatkan secara signifikan, termasuk menjadi pelopor daur ulang air bekas menjadi air minum dan air industri. Proses pembersihan lingkungan melalui manajemen sanitasi mampu mencegah banyak penyakit.
Keberhasilan Singapura dapat dituangkan dalam beberapa indikator, seperti yang terdapat dalam Integrated Water Resources Management of ASEAN, yaitu aturan sanitasi perkotaan dan perdesaan, serta sistem pembuangan limbah. Selanjutnya, manajemen air limbah dan air bersih dilakukan secara ketat di bawah pengawasan serta optimalisasi layanan.
Tujuan utama seluruh sistem tersebut adalah menjamin kehidupan masyarakat Singapura bebas penyakit dan sehat. Dengan memfokuskan pencegahan penyakit dan penyediaan air bersih serta sanitasi, Singapura mampu berkembang pesat dengan sumber daya manusia yang sehat dan produktif.
Akselerasi
Sudah saatnya manajemen sanitasi menjadi isu prioritas wilayah perkotaan, termasuk Jakarta. Jika diakumulasi, seluruh upaya peningkatan sanitasi dapat mengurangi risiko kesehatan warga, meminimalkan kerusakan lingkungan, serta secara tak langsung akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Riset Water and Sanitation Program menyebutkan, pada 2006 sanitasi buruk di Indonesia menyebabkan penurunan kesejahteraan warga senilai 1,2 miliar dollar AS per tahun dan kehilangan lahan produktif sekitar 96 juta dollar AS.
Upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan masyarakat meningkatkan sanitasi lingkungan harus terus didorong. Menyediakan akses pada sanitasi melalui Kebijakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) harus lebih diperluas jangkauannya.
Selain itu, pelaksanaan Perda Nomor 1 Tahun 2018 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2017-2022, yang juga memuat program-program sanitasi, perlu diakselerasi lebih maksimal.
Pembangunan sanitasi merupakan bagian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang ingin memastikan semua orang memiliki kamar kecil yang layak dan tidak ada lagi praktik buang air besar sembarangan pada tahun 2030.
Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, target akses universal pada 2019 adalah 100 persen akses sanitasi layak. Hal ini perlu dilakukan karena ketersediaan layanan sanitasi layak merupakan bagian dari hak atas kesehatan dan standar hidup layak sebagai hak asasi manusia. (LITBANG KOMPAS)