Ketegasan Menghadapi Perikanan Tangkap Ilegal Berdampak Positif bagi Perekonomian
Kesejahteraan nelayan juga meningkat. Hal ini dibuktikan dengan pesatnya peningkatan nilai tukar nelayan dibandingkan dengan nilai tukar pekerja subsektor lain yang cenderung merosot.
Oleh
Erika Kurnia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama lima tahun menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti membuat banyak kebijakan untuk melawan perikanan tangkap ilegal yang kerap dilakukan pihak asing. Kebijakan itu dinilai memperbaiki kinerja perekonomian terkait kelautan dan perikanan.
Susi menyampaikan hal tersebut sebagai pengantar acara bedah buku Laut Masa Depan Bangsa: Transformasi Kelautan dan Perikanan 2014-2019 di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Jumat (18/10/2019).
”Negara kita harus berdaulat. Dari 2005, saya sudah teriakkan illegal fishing saat saya hanya pengusaha ikan di kota kecil di Pangandaran, tetapi tidak ada yang mendengar. Nelayan di Pangandaran susah dapat ikan. Ternyata, ada konsensi pada kapal asing untuk menangkap ikan,” kata anggota Kabinet Kerja yang dilantik pada 27 Oktober 2014 ini.
Menurut dia, izin pemerintah kepada kapal asing untuk mencari ikan membuat sumber daya perikanan di laut Indonesia terampas. Dari sekitar 1.300 izin yang dikeluarkan, kapal ikan asing yang beroperasi mencapai 10.000 unit.
Akibat persaingan dengan kapal asing ilegal, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah nelayan turun hingga 50 persen dari 1,6 juta orang tahun 2003 menjadi 868.414 orang tahun 2013. Tidak hanya itu, sebanyak 115 perusahaan pengolah ikan nasional gulung tikar karena tidak mendapat pasokan ikan.
Saat dipilih menjadi menteri oleh Presiden Joko Widodo, Susi menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2014 tentang Moratorium Izin untuk Kapal Eks Asing. Kebijakan itu menjadi cara pemerintah untuk menganalisis dan mengevaluasi 1.132 kapal asing yang diimpor dan menjadi kapal nasional.
Susi untuk pertama kalinya juga membentuk Satuan Tugas (Satgas) 115 guna menanggulangi perikanan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUUF). Fungsi satgas, antara lain, menangkap, menghakimi, dan menenggelamkan kapal pelaku penangkapan ikan ilegal. Sampai saat ini, lebih dari 500 kapal telah ditenggelamkan.
Kebijakan lain yang didorong Susi untuk menjaga kedaulatan perikanan nasional adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Peraturan itu memastikan modal usaha penangkapan ikan 100 persen berasal dari dalam negeri.
”Perpres No 44/2016 menutup perusahaan asing yang punya kapal. Perpres ini jangan sampai direvisi,” ujarnya.
Ditemui pada kesempatan berbeda, ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, menilai kebijakan tersebut meningkatkan kinerja perekonomian terkait perikanan. Hal itu terlihat dari peningkatan volume ekspor perikanan tangkap.
Sepanjang lima tahun terakhir, volume ekspor tercatat naik 4,45 persen menjadi 7,44 persen. Menurut data terbaru BPS, volume ekspor perikanan tangkap Indonesia sepanjang semester I-2019 naik 3,77 persen menjadi 45.125 ton dibandingkan dengan semester I-2018.
Kesejahteraan nelayan juga meningkat. Hal ini dibuktikan dengan pesatnya peningkatan nilai tukar nelayan dibandingkan dengan nilai tukar pekerja subsektor lain yang cenderung merosot. Data BPS mencatat, nilai tukar nelayan akhir 2014 adalah 106,38, lalu naik jadi 114,79 pada Agustus 2019.
”Ditenggelamkannya kapal-kapal asing penangkap ikan ilegal membuat nelayan kita bisa berdaulat. Ditambah lagi ada ajakan agar nelayan tidak pakai alat tangkap yang merusak,” ujarnya.
Namun, Faisal menilai, sumbangsih perikanan dalam produk domestik bruto (PDB) sektor pertanian masih lebih rendah daripada PDB pertanian tahun 2018 yang mencapai 9,5 persen. Sumbangan subsektor perikanan untuk PDB juga stagnan di bawah 3 persen. Padahal, dua pertiga wilayah Indonesia adalah laut.
Tingkatkan kesejahteraan
Dalam acara tersebut, Susi menyampaikan harapan kepada pemerintahan selanjutnya agar meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil, termasuk nelayan.
”Kedaulatan sudah terasa, yang perlu diutamakan berikutnya adalah kesejahteraan agar kekayaan terdistribusi secara adil. Sebagai contoh, dalam hal kepemilikan kapal, dari 7.600 kapal besar yang ada, 70 persen dimiliki orang Sumatera, jadi belum merata,” tuturnya.
Harapan itu, menurut dia, perlu dilakukan dengan mewujudkan kebijakan yang afirmatif. ”Perlu memastikan kebijakan afirmasi bisa diterapkan untuk mengeskalasi kapasitas masyarakat yang tidak mampu,” ucapnya.